Selasa, 06 November 2012

Pasang surut sebuah kesadaran.

Saat menjemput Fahri pulang sekolah, ada kejadian yang membuat saya sedikit tertegun. Kebetulan saat itu dia sedang UTS sehingga pulangnya tidak terlalu siang. Karena ujian, maka masing-masing anak yang sudah selesai biasanya keluar ruangan lebih dahulu daripada temannya. Saya menunggu di emperan masjid yang letaknya di dekat kelas 1 Al-fattah (ruangannya Fahri). Emperan tersebut memang biasanya digunakan ibu-ibu para walimurid untuk duduk-duduk menunggu anak mereka keluar dari kelas.

Salah seorang teman sekelas Fahri yang bernama Aidil terlihat berlari keluar kelas, sementara 2 bugurunya mengejar sambil memangiil-manggil namanya.
"Aidil.. Aidil ayo kembali ke kelas dulu, sayang... dikerjakan dulu soalnya!" ajak Bu Umi halus.
"Nggak mau!!" Aidil menjawab cuek sambil tersenyum cengengesan. Namun dibalik senyum itu aku melihat sedikit rasa ketakutan yang berusaha dibuang jauh-jauh (ah, mungkin saya hanya sok tahu..).
'Ayo Aidil, anak bagus.. nanti ditemani Bu Fathin ya ngerjainnya.." bujuk Bu Fathin. Guru yang sedang hamil besar itu terlihat sangat sabar dan telaten menangani kerewelan anak didiknya.

Pada kesempatan lain, Fahri juga pernah cerita bahwa temannya yang lain bernama Ferari ketika ujian tak mau mengerjakan. Kertas ujiannya malah dijadikan kapal-kapalan dan dengan sayik ia mainkan saat teman yang lain sibuk mengerjakan.  

Yang terjadi selanjutnya? meski tidak menyaksikan sendiri hasil rapor sisipannya. Dari kabar-kabar yang terdengar bisa saya simpulkan bahwa nilai Aidil dan Ferari pasti tidak lebih bagus daripada teman-temannya yang mengerjakan.

Saat momen pembagian rapor memang istimewa. Pada momen-momen itulah terselip kebanggaan di hati wali murid ketika mendapati nilai anak-anaknya bagus, apalagi mendapat peringkat yang tinggi. Namun ada juga kebalikannya, ketika mendapati nilai rapor jelek maka akan didera rasa malu dan kesal pada anaknya. Manusiawi sekali bukan fenomena seperti itu? saya sendiri juga tersenyum-senyum senang saat melihat deretan angka pada rapor Fahri. Perjuangan belajarnya menghasilkan nilai rata-rata yang mendekati sempurna 10 tanpa remidi. 

Namun saya tersadarkan oleh diskusi kilat dengan psikolog (Bapak Nawawi) dari yayasan sekolahnya Fahri di MI Mujahidin. Sebelum rapor dibagikan oleh wali kelas, kami dikumpulkan dan diberi waktu 1 jam untuk mendengarkan ceramah psikologi. Inti yang saya catat dalam otak dan hati adalah (karena saat itu saya lupa tidak membawa buku catatan) :

Nilai Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) sering menjadi monster menakutkan bagi orang tua.. termasuk saya (target KKM sekolahan Fahri dinaikkan, yang asalnya tahun lalu 7,5 pada tahun ini menjadi 8). Padahal si anak yang enggak ngerti KKM, enggak ngerti remidi nyantai-nyantai saja menjalaninya.

"Jangan jadikan rasa percaya diri seorang anak hanya tergantung pada angka angka hasil akhir. Hargai mereka dalam prosesnya juga. Memotivasi mereka agar SENANG belajar itu sangat lebih baik daripada suruhan, iming-iming atau ancaman agar mereka MAU belajar".

Beberapa wali murid ada yang mengeluarkan uneg-uneg. Bahwa manusiawi kalau ortu merasa malu saat anaknya kena remidi, ekstremnya lagi kalau sampai tidak naik kelas. Sehingga karena tuntutan KKM (KKM di sekolah Fahri adalah angka delapan untuk semua mata pelajaran) anak-anaknya dipaksa belajar dengan sangat, mengancam dengan serius ketika anak tidak mau belajar. Pak Nawawi menjawab, lebih penting membuat anak senang, semangat belajar bukan karena disuruh, diiming-iming atau diancam. Meskipun hasil nilai rapornya tidak memuaskan. Hasilnya akan terlihat ketika anak berusia 10 tahun ke atas, ia akan lebih antusias terhadap ilmu karena dasarnya sudah senang belajar bukan karena dipaksa orang tua.

Hmm... 
Saya tercenung mengingat tentang 2 teman Fahri yang tak mau mengerjakan soal ujian. Bisa jadi mereka itu berontak karena tekanan ortu yang panik dan berusaha agar anaknya bisa memenuhi target KKM. Dan bisa juga mereka telah mengalami disleksia, kejadian yang saya tahu dari sebuah film (saya pernah mereviewnya DISINI, silahkan dibaca jika berkenan :)). Tidak ada yang tahu dan mau mengerti sehingga memberontak tak mau mengerjakan di kelas. Oh, sungguh jika kejadian itu terjadi pada anak-anak saya, saya pasti akan sedih, sungguh tak ingin guru-gurunya, teman-teman sekelasnya dan juga orang tua teman-temannya memberikan cap atau lebel pada anak saya sebagai anak yang bandel, sebagai anak yang bodoh. Hiks...

Ah, kenapa saya memikirkan anak orang lain? harusnya saya juga merenungkan sendiri tentang anak saya. Benarkan ia merasa senang saat belajar? ketika tak jarang saya juga sering berteriak menyuruh berulang-ulang agar dia mau membaca bukunya. Tak jarang juga melemparkan ancaman saat dia sedang tak ingin. Sebab saya juga termasuk orang tua yang panik dengan adanya target nilai KKM.

Ya, ternyata jika diputar ulang file-file perlakuan saya terhadap anak.. sungguh banyak sekali keegoisan. Saya menyuruhnya belajar bukan hanya agar dia pintar, jujur saja nyelip di hati sekeping perasaan agar saya bisa bangga dan tidak malu. Saat saya keras mengajarinya mengaji bukan hanya ingin agar dia bisa membaca al qur'an sehingga menjadikan agamanya lebih baik. Jujur ada juga  menyempil sebutir perasaan agar jangan sampai ada orang bilang anak saya tidak bisa mengaji, ibunya nggak becus mengajari.

Hiks.. pasang surut kesadaran tentang itu selalu terjadi. Tak hanya saat mendapat pencerahan dari Pak Nawawi. Terkadang juga dari ceramah Kyai yang saya dengar di Radio, dari buku-buku, artikel-artikel saat blogwalking. Banyak sekali yang menginspirasi kesadaran bahwa keegoisan sebagai orang tua itu tidak baik, tidak benar... dan suatu saat akan jadi bumerang yang menyakitkan. 
Saat saya sadar, saya selalu bertekat mengubah diri, berusaha untuk terus belajar menjadi orang tua yang baik, yang tidak egois. Kemudian saya juga meminta maaf pada Fahri,

"Maaf ya, nak.."... saya ucap kata itu saat jeda. Dan tahukah? Anak itu selalu spontan menjawab 'Iya' disertai senyum seolah tak pernah terjadi apa-apa. Betapapun kemarin saya pernah membentak, menyuruhnya dengan keras, kadang kalau kelepasan juga samapi mencubit.. hiks. Beda sekali dengan saya yang meski sudah bisa berkata memaafkan namun sejatinya selalu tersisa kedongkolan hati yang membuat bibir susah untuk tulus tersenyum. Butuh waktu beberapa hari untuk bisa benar-benar memaafkan sembari tersenyum.

Ah, tulisan saya kali ini agaknya nggak jelas arahnya ke utara, selatan atau meliuk-liuk zig zag enggak jelas. Inti dari semuanya adalah.... saya banyak belajar dari masa menemani pendidikan anak-anak saya, Fahri dan Zahra. Tentang mengerem keegoisan dan lain-lain.

Sekaligus saya juga ingin menuliskan ajakan buat para orang tua :  marilah kita mengubah pandangan tentang prestasi pada hasil angka rapor, sebentuk piagam atau sebentuk piala. Sungguh proses perjuangannya juga merupakan prestasi yang harus kita banggakan dan layak kita puji.


***


Mereka, anak-anak saya... Fahri dan Zahra.



Astaghfirullah min qoulin bilaa 'amalin. Semoga bermanfaat :).


*

Tulisan ini diikutkan dalam even persaudaraan blogger nusantara oleh mbak Mubarika Damayanti. Info lengkapnya silahkan klik :

Baby Fatimah, #FFF Cincin Emas dan Persaudaraan Blogger Nusantara


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Komentar kamu adalah penyambung silaturrahmi kita, maka jangan ragu meninggalkan jejak :)

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...