Jumat, 03 Desember 2010

KISS 2 : PASWORD

Ada fenomena menarik dan unik. Namun mungkin bagi sebagian kalangan adalah pemandangan yang ‘eneQ’.
Sebenarnya hanya cerita biasa. Namun aku menganggapnya agak luar biasa. Saat peristiwa-peristiwa itu sudah terlewatkan tiba-tiba saja menjadi moment indah yang rindu untuk mengulang kembali.
Santri di belahan pondok manapun. Tentulah hidup jauh dari orang tua dan sanak saudara. Mau tak mau segala sesuatu harus dilakukan sendiri. Untuk memenuhi semua kebutuhannya. Meniti hari-hari dengan rangkaian keluarga baru yaitu teman senasib, selorong dan seperjuangan yang berasal dari daerah yang berbeda-beda. Bersama sepikul sebeban dalam satu atap. Lalu lalang hilir mudik beraktivitas. Kesemuanya berporos pada satu titik... Ta’allum ulumuddiin.
Setelah hari kian bertambah. Ada ras rindu yang singgah.
“Mbak Sumi.. disambang Ibunya...!” pucuk dicita sambangan pun tiba. Hatipun berbunga.
Untuk buah hati, apapun jadi. Ibunya Sumini yang dari kampung pelosok, sejak jam tiga pagi sudah bangun untuk mempersipkan segala sesuatunya. Dari menanak nasi lebih banyak dari porsi biasanya sampai membuat lauk istimewa yang jarang-jarang pula mereka memakannya. Semua dibungkus, dimasukkan kardus, diikat rapat dengan ravia, ditenteng dengan hati gembira dan naik bus hingga sampai ketempat tujuan.
“Oalah Nduk... kok tambah lemu aee...” sang Ibu mencubit gemas pipi Sumini. Sumini nyengir sambil mengucek matanya.
“Piye sekolahe Nduk..?” bla...bla...bla... formalitas dua kerinduan yang dipertemukan.
.........................
“Belajar sing tenanan yo Nduk...” pesan dan harapan semua orang tua yang memondokkan anaknya. Sumi mengangguk. Ia mencium punggung tangan Ibunya dengan takdhim. Hatinya sumringah memandang kardus yang dibawakan Ibunya.
Setelah mengantar Ibu sampai ke gerbang. Bergegas Sumi mebuka bawaan Ibunya. Beberapa bungkus nasi dengan lauk ayam lodeh kesukaannya, setandan pisang dan beberapa bungkus mie instan. Dan dengan bungkus paten daun pisang, Sumi menata nasi dan lauknya membantuk bundaran datar dengan aroma menggugah selera.
Rezeki tak pernah direncanakan. Datang tanpa diduga. Semua santri yang ada di kamar itu tinggal menunggu kata kunci.
“Mbaaaak...!! monggo sedanten....!!” ucap keras Sumi. Wow... suasana yang asalnya tenang dan teratur langsung berubah drastis.
Bagi anda pembaca yang sudah pernah merasakan menjadi santri pasti sudah bisa membayangkan. Tapi bagi anda yang belum pernah punya pengalaman menjadi santri.... coba anda lihatlah sekumpulan ayam yang tiba-tiba disuguhi segenggam jagung... yaa, kurang lebih seperti itulah pemandangannya... he he.
Satu mulut untuk mendapatkan satu suapan harus berdesakan dorong-mendorong, tarik menarik dengan penuh perjuangan.
“Mbak Sumi... matur suwuuun....”
“Mbak yang ngasih...suwuuun”.....
“Iyo mbak sepurane ra ono lawuhe....” basa basi tulus mengakhiri adegan itu.
“Mbak.... monggo sedanten...!!!” terdengar pasword lagi dari arah pojok. Kaki yang sedianya akan melangkah pergi berbalik cepat menuju asal suara...tapi....
Tak ada apa-apa di pojokan. Cuma ada Sulis si santri jail yang sedang menggaruk kepalanya.
“Hehehe... monggo sedanten bancakan tumo-ku.... hehehe...”
“Huuuuu...” semua kecelee dan menggerutu. sulis tertawa puas. Ide usilnya sukses.
Ada-ada saja,
Aku jadi teringat dawuhnya Yai.. -lauknya orang makan itu Cuma ada 3 : badan sehat, perut lapar dan pikiran tenang- kiranya jika aku boleh menambah. Akan ada satu lagi yang menambah nikmat yaitu... -makan keroyokan-....

Bint@ al-MamBa
Di depan komplek E2
Rumah Lantany

KISS **kisah indah seputar santri**



                                                KISS
                            Kisah Indah Seputar Santri


Banyak yang bilang masa SMA adalah masa yang paling manis, kisah-kisah paling indah, hiasan masa remaja yang paling berkesan dan sejarah yang akan di bingkai dalam kenangan.
Namun jauh disini, disalah sudut bumi yang juga merasakan pembagian adil sorot hangat mentari pagi. Sudut yang jarang dilihat orang. Di dalam gerbang yang laksana benteng kokoh, dimana gembok besinya terlihat seperti belenggu kebebasan, dimana banyak orang menganggapnya penjara suci.
‘PESANTREN’.....pun disana menyimpan berjuta kisah yang indah, pun disana juga ada ukiran kenangan manis, unik dan tak terlalu picisan untuk digubah dalam karya pena.
Aku hanya ingin bercerita tentang apa yang pernah kurasa, betapa pernak-pernik perjalanan di arena pesantren terlalu sayang untuk hanya dikenang.
Aku ingin mendokumentasikan, gambaran irama pesantren tak seperti asumsi sebagian besar masyarakat luar. Banyak petikan hikmah dan pelajaran kehidupan yang dapat diambil. Ada banyak sekali. 
Akhirnya, ada baiknya kukatakan sebagai awal tutur cerita. Bahwa  “menjadi santri itu bukanlah pilihan yang mendatangkan penyesalan .................”. Barokah, tak pernah dapat dihitung dengan teori dan kalkulasi, yang dapat merasakan adalah hati.
                                            
                                                                                 Bint@ el-MamBa
                                                                                  LANGITAN

                       KISS 1 : UNTAIAN NADHOM PUJANGGA SHILIHIN


Dulu.........pernah terbesit rasa ngeri ketakutan yang dirasakan hampir semua anak yang ditawari pilihan untuk menempuh pendidikan salaf.
“Takut mbak, hafalannya itu lho iiihhh syeremm..... “
“Mana setiap hari disuruh menghafal terus.......trussssss. boleh nonton TV duuh ngebayangin aja aku sudah pusing........” beberapa asumsi senada banyak yang terdengar nyaring apa iyaaa......... ?
Awalnya aku juga merasakan ketakutan itu sekarang setelah aku menyelam sendiri, berat hanya dipermulaan, Semua kalah oleh niat, saat keraguan berbaur dengan tekat. Bayangkan saja menapaki anak tangga satu demi satu. Bayangkan saja seperti mengupas kelapa menyobek serat demi serat.
Apabila niat sudah terpatri seluruh anggota fisik tinggal mematuhi apa kata hati, Seiring berjalannya asa dengan istiqomah dan tawakkal sebutir pun akan jadi segenggam.
Mayoritas pesantren yang menerapkan konsep salafy biasanya menggunakan sistim hafalan nadhom. Kalam-kalam ilmu yang dirangkai dalam bentuk syair. Agar supaya mudah mendendangkan dalam alunan berirama. Dan menyenangkan menghafalkannya.
Ada nadhom tentang Fiqih, Tajwid,Tauhid, Gramatika arab yang terdiri dari Nahwu, Shorof, Balaghoh, I’lal dan lain sebagainya. Adapun pengarangnya adalah pujangga-pujangga hebat yang sulit dicari bandingannya di zaman sekarang. Mereka adalah alim ulama ’yang mencurahkan segenap pikirannya untuk kemaslahatan islam. Untuk menyebarkan ilmu syari’at tanpa memetik keuntungan sepeserpun dari hasil penjualan penggandaan karyanya. Yang mungkin jika diterapkan sistim royalty niscaya anak cucu mereka akan selalu dibanjiri keuntungan. Namun dapt kita saksikan, kitab-kitab karya mereka terus diterbitkan dari zaman ke zaman. Dipelajari, dikaji tak ubahnya lampu yang tak pernah padam.
Semua yang tersebut di atas adalah cerita dari guruku Syaikhina Abdullah Faqih Al-hajj. Cerita yang tidak hanya cerita. Syeh alim ‘allamah yang karya kitab-kitabnya kami kaji setiap hari bukanlah kaya sembarang orang. Tapi karya orang-orang pilihan dengan IQ yang pasti lebih superior dibandingkan enstein sekalipun. Orang-orang pilihan yang tidak mengharap apapun atas jerih payahnya kecuali mengharap ridho Allah SWT.
Kebiasaan di pondok kami adalah mengadakan ‘lalaran nadhoman’ setiap malam selasa ba’da maghrib. Semua santri berkumpul menurut kelasnya masing-masing. Bermacam irama kami coba dengan alat musik seadanya. Dentingan dari sendok, drum dari wadah galon kosong sampai menggebuk bangku pun jadi.
Hmmm.. kalau dibayangkan sih sepertinya norak. Tapi yang kurasakan... apa mungkin dapat kutemukan band seperti ini di tempat lain...? (hehehe...)
Ada rasa bangga, ada rasa puas. Saat seratus nadhom tadi kudendangkan tanpa membuka catatan sedikitpun. Begitu juga pasti yang dirasa semua teman-temanku. Mengingat bagaimana kemarin kami menghafal satu bait demi satu bait.
Aku semakin kagum memandang mereka senior-seniorku, para Ustadz, dan tentu saja Syaikhina pengasuh pondokku. Di dalam kepala mereka pasti sudah tersimpan berjuta beribu-ribu bait lengkap dengan makna dan keterangannya. Mereka sudah menapaki istiqomah muthola’ah dan ikhlas membagi ilmu dalam bilangan tahun yang tidak sedikit.
Dan perlu kukatakan pada semuanya. Manusia-manusia sekaliber mereka hanya dapat ditemui di sini... di penjara suci.

                                                               Langitan
                                                Catatan kecil di pagi hari

Senin, 29 November 2010

MUTIARA DARI KANGMAS


MUTIARA DARI KANGMAS

Pernahkah terpikir dalam lingkup seberkas gerakan hati. Kemana arah kita membelanjakan uang yang sedang bersarang dalam dompet atau kantong saku..?? untuk sekedar memenuhi kebutuhan primer, sekunder, tersier atau mungkin ekstra lux dalam laju hidup kita... membeli pakaian, sekedar menambah koleksi yang sudah ada. Atau beberapa aksesoris yang sebenarnya bukan kebutuhan mendesak, cemilan, makanan untuk memberi sentuhan seni pada tuntutan lidah yang ingin menari....

Hanya ingin sekedar berbagi kisah tentang -lahirnya sebuah pemahaman baru-

Dulu, aku paling cerewet kalau membeli dan memilih sesuatu. Jika berbelanja ke pasar. Suka putar-putar keliling dulu untuk mencari yang paling pas dengan selera, yang paling berkwalitas tapi murah (mayoritas insting manusia memang ga mau rugi kan.... hehe). Putar-putar sampe capek pun tak masalah. Asalkan sesuai dengan pilihan hati. Apalagi saat kota kecil kami mulai dipersolek oleh penguasa modal. Dengan menjamurnya mini market yang bersih dan dagangan tertata indah, sungguh nyaman untuk berbelanja. rasanya biar punya dompet tipis pun tetep semangat buat jalan-jalan belanja. Memanjakan mata meski tak niat beli wikikiy... :D aku jarang mau membeli dagangan yang tinggal sedikit dan tak memberi keleluasaan untuk memilih dan membandingkan. Entahlah...

Dalam alur yang mempertemukan aku dengan teman hidup. Ternyata suamiku adalah seorang pedagang pakaian. Tepatnya adalah sales pakaian yang memasok kemeja dan celana cowok ke pasar-pasar tradisional. Dia punya banyak teman sesama sales dan pedagang pasar. Dan sanak kerabat dari pihak keluarganya mayoritas juga berprofesi sebagai pedagang berbagai kebutuhan masyarakat.

Kesemuanya tiba-tiba membuat perubahan dalam hidupku. Perubahan tentang kebiasaan dan perenungan dalam memandang sebuah perputaran uang.

Yup... zaman terus berlenggang. Tak peduli pada kaki-kaki ringkih yang berlomba mengejar. Di kota kecilku kini telah dibangun sebuah pusat perbelanjaan yang cukup wah bagi orang-orang kampung. KERATON mall... namanya. Dengan fasilitas eskalator atau tangga berjalan seperti yang sering terlihat di sinetron layar kaca, sungguh memikat konsumen dari penjuru daerah jombang dan sekitarnya. Berduyun berdesakan datang kesana... sungguh keren pokoknya kalau bisa cerita...

“Aku dah pernah ke keraton lho....”
“Baju ini beli di keraton.. suer..”....

Begitupun aku, sempat pengen banget menginjakkan kaki di shoping mall yang baru buka itu. Banyak yang bilang sedang banjir promo karena masih baru dan tempatnya luas, bagus banget... namun suamiku tak memberikan respon yang antusias seperti diriku. Dia hanya mengangguk tanpa tersenyum namun juga tak melarang kemauanku.
Maka berangkatlah kami ke keraton, melihat betapa ramainya sehingga area parkir seolah muntah ke badan jalan raya. Meluber ke depan beberapa toserba di kanan kirinya. Sempat miris juga melihat pemandangan itu. Seolah berbicara tentang perasaan tergilas oleh kekuatan uang. Ya... toserba-toserba mini mendadak jadi senyap tanpa warna. Dan sengaja aku melempar pandang pada pasar legi (pasar tradisional) yang letaknya tak jauh dari keraton. Dapat terlihat perbedaan mencolok dalam keramaian pengunjungnya seperti mendung yang merindukan cerah. Ahh.....

Memasuki area pusat perbelanjaan. Mata dimanjakan dengan aneka rupa produk yang tertata indah. Dilantai bawah kebanyakan adalah deretan makanan, cemilan dan wahana permainan anak. Di sela-selanya juga terdapat outlet-outlet mini makanan cepat saji yang bau harum masakannya menyebar menggoda hidung siapa saja.
Kami meneruskan langkah menuju eskalator.....

“Duh.... Mas aku naik tangga saja ah...” dari pada kelihatan kampungannya didepan banyak orang hehe... jadilah kami berpisah sebentar karena masalah alat bantu naik ke lantai atas itu. Sampai di lantai dua. Tak hanya mata yang di manja, bahkan telinga dan kulit pun dibelai dengan alunan musik dan hawa sejuk kipas-kipas yang tak lelah berputar. Dengan langkah ringan namun pasti aku mulai putar-putar di arena fashion...hmmm,, banyak model dari kelas ‘wah’ dan paling murahan dengan bandrol harga yang ternyata ga bisa di tawar... wew, musti tambah jeli nih dalam pilih memilih. Tak begitu peduli pada kangmas yang mengekor langkahku dengan raut enggan. Aku terus berjalan, mencari yang ini yang itu... semua harus seperti yang kumau wehehe..

Kami pulang dengan membawa lelah. Bersama sekantong belanjaan yang ternyata membengkak dari daftar kebutuhan yang terjadwal sebelumnya. Akibat lapar mata yang seolah menuntut dengan kuat untuk dipuaskan.

“Oh Robby....” aku memandang dengan lelah dan secuil sesal. Ternyata banyak barang sebenarnya belum terlalu dibutuhkan. Hanya karena tergoda diskon dan hadiah-hadiah kecil bisa menguras kantong begitu rupa. Kangmas memandangku tanpa ekspresi. Aduh..

“Kita mencari rejeki dengan berdagang dek, aku seneng banget jika banyak orang yang membeli karena itulah pintu rejeki kita............” kangmas diam, apa maksudnya sih...?

“Kalau kita mau membeli dagangan dari teman atau kerabat kita sendiri paling tidak kita sudah membantu datangnya rejeki mereka. Bahkan mereka selalu memberi harga murah untuk persahabatan dan persaudaraan...” glekk.. nyindir nih, aku cemberut. Kangmas meninggalkan tempatku duduk dan menghentikan pembicaraan. Dia memilih bermain dengan anak-anak.

Fyuh... aku jadi teringat pada novel ‘ayat-ayat cinta’ karya kang abik yang kemaren selesai kubaca. Pada salah satu halaman diceritakan Fahri yang membeli 2 buah boneka karena sang penjual menghiba ingin dagangannya laku. Fahri teringat pada masa kecilnya yang berjualan tape bersama sang ayah, betapa bahagia rasa hati saat barang dagangan ada yang membeli.... hingga 2 boneka itu yang mengantarnya pada benang merah dengan Aisya. Sweet, hikmah yang terselip dengan manis.

Hiks, rasanya memang ada yang perlu dibenahi. Memposisikan diri menjadi pihak yang memang butuh pembeli. Bukankah keinginan belanja di tempat-tempat yang ‘wah’ dan keren sama halnya membuat pemilik modal besar tambah makmur dan pemilik modal kecil perlahan tergusur. Logika yang masuk akal kan....

Dan tentang rejeki seperti yang dibicarakan suamiku, kita gak punya wewenang untuk sok ngebantu malaikat mikail membagi rizki pada semesta. Tapi apa salahnya..? dipikir secara logika tetap lebih banyak benarnya. Ah rasanya ada pelangi yang tiba-tiba mewarnai ruang hati. Betapa beruntung aku punya ‘lelaki’ itu. Aku tersenyum memandangnya dari jauh. Ada raut kelegaan melihat rona cemberutku yang masam sudah hilang dari peredaran.. hehehe,

Sejak itu aku berusaha tak lagi cerewet dalam memilih dan membeli sesuatu. Tentang pakaian, jadi lebih sering beli pada teman-teman suami sambil silaturrahmi ke rumah mereka. Dan ternyata membawa point positif aku jadi bertambah teman baru, istri-istri dari teman suamiku. Berikut cerita-cerita baru tentang berbagai warna hidup manusia. Bahkan kami sering dapat harga murah dengan tanpa menawar berbelit-belit.
Terkadang aku mendapati suamiku yang membeli sesuatu yang sebenarnya tidak dia inginkan, hanya karena penjualnya adalah nenek tua yang membawa dagangannya sambil berjalan dari rumah ke rumah.

Inilah sekolah kehidupan, dengan guru paling dekat di sampingku. Layaknya mutiara yang dihadiahkan kepadaku. Indah dan cerah menerangi ruang jiwa yang kadang sering kusut dan kusam. Rasanya aku tak akan menuntut di belikan mutiara asli yang mahal. Hmmm tapi kalau dibelikan sih gak nolak weheheh.. cukuplah aku menjaga yang ini, dalam dekapan waktu.
$%#$%#

Bint@alMamba

Sabtu, 06 November 2010

rumpi hati, sepenggal warta tentang dolly


Suguhan layar kaca.
Saat bertubi-tubi warta tentang bencana. Ada satu berita mengusik indraku.

....demonstrasi para penghuni wisma dan masyarakat gang dolly. Mereka menuntut rencana pemerintah surabaya untuk menutup gang dolly. Karena akan membunuh perekonomian mereka...

Gang dolly. Siapa yang gak kenal ?
Sebenarnya hanya sebuah gang kecil ditengah perkampungan kota surabaya. Mengapa menjadi sangat fenomenal ? tak lain adalah sebuah bisnis prostitusi yang sudah mendapatkan lebel ‘terbesar se-asia tenggara’ haduuh *ngelap kringet nulisnya*
Puluhan wisma ‘siap saji’ berjajar dengan pekerja-pekerja profesional. Banyak pelanggan berdatangan. Masyarakat sekitar kecipratan rejeki dengan menjual rokok, minuman, makanan dan lain-lain.
Terlahir semacam simbiosis mutualisma antara pekerja non formal ini dengan masyarakat sekitar sehingga menjadi seperti pagar besi yang memebrikan sekat perlindungan untuk mereka. Membiarkan tetap ada atas nama perekonomian.
Pemerintah mengupayakan berantas kemungkaran ?
Hohoho gak semudah itu lah Gus Ipul.
Bisa saja Dolly di tutup menjadi malah jadi bumerang seperti pribahasa ‘mati satu tumbuh sepuluh’ 
Berikut petikan beberapa wawancara :
Wawancara dengan PSK dengan wajah dan nama disamarkan. **sayang ya. padahal biasanya orang masuk TV jadi narsis banget tingkahnya hehe**
“Kalau Dolly ditutup kami bisa jatuh melarat. Malah keliaran di pinggir jalan. Kalo dikasih kerjaan lain yang layak pasti mau ganti kerjaan. Lah pemerintah bisa kasih nggak... janji janji saja gak pernah ada kenyataannya..” **nah tuh.. **
Wawancara dengan pemilik wisma.
“Kalau dolly ditutup bakal ada banyak pengangguran yang pasti bedampak buruk bagi kampung kami...”
Wawancara dengan ketua RT.
“Sebenanarnya saya juga setuju dengan rencana ditutupnya bisnis prostitusi ini tapi kan ya kasiyan orang-orang. pasti akan kacau kalau tidak dibarengai jalan keluar yang benar-benar tepat..” **hmmm...**
Wawancara dengan Gus Ipul (wagup jatim, tangan kanan pakde karwo tentunya)
“ Kami sudah siapkan program pelatihan ketrampilan dan menyebar yang nantinya akan dicarikan lapangan kerja di kota-kota wilayah jatim. InsyaAllah “

Kenapa..? ini adalah tanyaku. Tak bisa menyumbang jalan keluar apa-apa. Karena mungkin aku bukan penduduk Dolly yang bisa merasakan beratnya bayangan masa depan mereka tanpa bisnis ‘esek-esek’ itu. Jika aku meneriakkan idealisme menurut opiniku. Rasanya tak mampu.
Kenapa..? ini tetap menjadi tanyaku...
Padahal Allah itu ada. Beserta para malaikatnya yang tak pernah mengantuk apalagi tidur tetap membagi rizki pada semua hambanya. Maaf jika aku sok tau, menyatakan betapa piciknya pemikiran dengan meninggalkan dolly dan segala ekosistem saling keterkaitan ekonomi beregam profesi penduduknya dari bisnis haram. Akan membuat mereka putus dari rizki. Bukankan hidup adalah berjuang ? berjuang bertahan hidup adalah kamus pasti semua orang.
Yang mungkin terlupa dicarikan jalan keluar adalah. Kemana nanti para hidung belang berkantong tebal jika mau ‘pipis sembarangan’ hehehe..
Maaf temans, ini sekedar rumpi hati...

Minggu, 03 Oktober 2010

JANJI BIRU *fiksimini*

JANJI BIRU

Akhirnya datang juga masa itu... arena waktu tempat bersatunya rindu kita. setelah sekian lama aku hanya memandangmu dari kejauhan. Menggenggam pilu, melihat bertabur bintang dengan binar megah mengelilingimu.
Cinta... aku tidak bisa menyentuhmu, bahkan sekedar berlenggang mengiring langkahmu. Kecuali nanti setelah janji biru benar-benar ditepati.
Kadang aku muak pada mereka. Makhluk-makhluk yang menjadi penghalang pertemuan kita. Muak.... karena mereka masih saja diberi kesempatan bernafas, menari dan melukis mimpi. Padahal mereka terlalu sering mencaci dan menghitamkan yang putih.
Tertegun dalam jebakan rindu. Bosan dan malas melaksanakan tugasku. Namun demi kasihku padamu kembali kujalani semua ini.
Maka... inilah hari persandingan kita. Rembulan dan matahari... dan biarkan mereka menikmati pesta kehancuran semesta.


111 kata gak kurang gak lebih.
**persandingan rembulan dan matahari hanya terjadi saat kiamat kehancuran segenap isi bumi dan seluruh galaksi.

EMPAT MUSIM DI BELANTARA HATI

EMPAT MUSIM DI BELANTARA HATI

Kadang,..
Jiwaku pongah menantang embun dan semilir.
Hangatnya pagi sepenuhnya adalah karena selimutku sendiri.
Benderangnya siang...
Karena janji matahari dan cinta manisnya padaku.
Pelosok-pelosok nadi menjadi lintasan aura jejaring nafas.
Sebagai teori pasti
.......
Tersandung perih goresan pahit.
Aku mencatat semua protes...
Dalam sajak yang serak..
Dalam linang yang basah.
Menggugat pada semesta yang menjadi tak ramah.
Mencerca diri serupa raga yang payah...
Huft,...
........
Mendapati alur berliku dalam bingkai taqdir.
Memandang jatah yang sudah ditentukan.
Mamatut wajah dalam sebuah perenungan.
Ternyata udara adalah universitas kehidupan.
Petik segala bintang untuk genggaman pengajaran.
.........
Inilah teratai dalam telaga...
Syurga harus kubangun sendiri,
Dengan rakitan syukur dan ikhlas.
Redam segala api....
Dan rantai kesombongan diri.
Ingin menggapai meski dengan tertatih.

PROSA PENCARI JEJAK

PROSA PENCARI JEJAK

Banyak kisah yang menjadi petuah
Tentang sebuah jejak sang penguasa semesta,
Tentang prosa....
Sebuah melodi matahari.
Segenggam cahaya adalah jejak kebradaan-Nya
Tentang teoritis tukang kayu dan furniturenya....
Sentuhan karya akan bicara..
Bahwa ia tidak lahir dengan sendirinya,
Secara kebetulan.
Bahkan fantasi nyata koloni rayap yang buta,
Dengan bangunan gedung super megahnya.
tentang serpihan tulang dan rancangan menara eifel.
Ah... untuk otak cerewetku,..
Penjabaran rumit untuk bukti sebuah jejak.
Demi meniti cinta-Nya.
......
Padahal, senyum dan mimpi ini
Adalah sewarna jejak paling ramah.
Tak pekat dan buram.
....
Tertawalah dengan segala dongeng mbah darwin.



*** terpesona oleh buku harun yahya. yang menjabarkan beragam bukti kekonyolan teori evolusi darwin.
salah satunya perbedaan manusia dan kera paling mudah terletak pada senyum dan mimpi. kera hanya bisa menyeringai meski terlihat seperti senyum, dan dia tak pernah bermimpi kecuali hanya untuk makan.

Selasa, 14 September 2010

MENJUAL HUJAN

“Aku akan menjual hujan.. dan akan kuganti semua langitku menjadi pelangi” ucapku dengan gempita dan semangat yang mengangkasa.

“Hahahaha... omong besar, pelangi itu mahal Non..” ucap si ganteng itu renyah sekali. Wow.. saat itu biarpun wajahnya beda tipis dengan Bradd Pit. Dalam pengelihatan lensaku menjadi lebih mirip kodok kejepit.

Menjengkelkan sekali....

Sungguh menyesal kenapa dulu pernah menganggapnya arjuna hati. Seharusnya dia tak berhak menertawakan mimpi kami. Para penghuni rumah matahari.

“Meskipun kau menjual hujan. Dan ditambah sepuluh melati cantikmu yang ranum belum tersentuh.... kau tidak akan pernah mampu membeli pelangi...”

“Berisik...!!!”

Aku berlalu pergi meninggalkan segala kata penghancuran itu. Kalau aku tetap mendengarkannya bicara lama-lama, bangunan indah mimpi dan cita-citaku akan retak.

“Lupakan saja, dan bergandengan tangan denganku mencari harapan nyata meski hanya remah roti tanpa mentega. Setidaknya itu nyata....”

Ah... andai saja kau tidak memulainya dengan kata penghancuran pastilah kalimat itu menjadi kalimat terindah yang akan kusambut dengan bunga. Dengan sebingkai bahagia.

Entahlah... hilang semua rasa yang kemarin bertahta. berganti menjadi sebuah pertanyaan besar. Adakah orang macam kamu yang akan menggenggam jemariku..? padahal aku butuh kekuatan, kepercayaan dan untuk memastikan bahwa pelangi yang kuimpikan bukan hanya sekedar bualan yang patut ditertawakan

Siapapun tidak berhak menghancurkan impian ini. Dalam rinai dan perih aku akan terus menggenggamnya. Sebagai satu-satunya penanda bahwa aku masih hidup.





Dalam episode jingga...

Galih tersentak melihat profil pengusaha sukses di sebuah majalah. Wajah itu sepertinya pernah menyapa masa lalunya.

Arimbi wulandari, pemilik PELANGI’S BAKERY yang semakin maju pesat pelanggan dan outlet-outletnya ternyata pernah menjadi penghuni kolong jembatan.

Kamis, 09 September 2010

MEREKA LELAKI BERJIWA EMAS

Ingin bercerita tentang mereka, yang meskipun sekedar lewat dalam laju perjalanan hidupku. Namun menorehkan kesan hikmah yang tak mudah untuk dilupakan. Benih-benih pelajaran yang mungkin tak akan di dapatkan dalam zona ruang pendidikan yang formal.
Di kampungku yang selalu bersenandung saat pagi berembun, hilir mudik masyarakat mengarsir hari-harinya dengan berbagai warna upaya untuk bertahan hidup.

Survive...... Kebanyakan adalah berprofesi sebagai petani. Meskipun dalam kenyataannya petani yang sejatinya punya sawah sendiri lebih sedikit dibanding para buruh taninya.

Yang menjadi juragan hanya segelintir, sementara para buruh sangat berlimpah banyaknya.

Ya..... banyak sekali profesi sebagai buruh tani di kampungku. Biasanya dinamakan -preman-, tapi yang ini bukan preman yang tukang minta duit di jalan-jalan. Preman yang ini melulu kerja disawah dalam kategori apa saja. Yaitu tandur, icir, dadak, ani-ani, dangir, tonjo dan lain-lain. Preman bisa dikatakan sebagai pilihan terakhir setelah segala profesi lain serasa tak mungkin, sebuah predikat yang sama sekali nggak keren namun tetap tersandang dengan sempurna.

Mreman, adalah...sebuah pekerjaan kasar yang bisa dilakukan laki-laki maupun perempuan. Namun beberapa hal ada yang hanya dapat dilakukan oleh gender laki-laki saja, seperti yang ada hubungannya dengan cangkul mencangkul. Ditengah siang yang terik bersama hamparan sawah yang menantang garangnya matahari. Sering aku melewati jalanan kampung dengan kanan kiri area persawahan yang luas. Melihat pemandangan punggung-punggung mengkilat yang terbungkuk dihajar panas penguasa siang. Mereka solah tak perduli, terus saja mengayun cangkul demi sesuap nasi untuk menyambung nafas esok hari......
..............................

Dan, ada juga beberapa profesi lain yang di jadikan alternatif di kampungku. Diantaranya adalah tukang dan kuli bangunan, memproduksi makanan olahan yaitu tape ketan hijau (dengan modal minim dan pemasaran lokal sekitar jombang saja), buruh pabrik, dan ada juga yang beternak ayam broiler (ayam negri).
Temasuk orang tuaku adalah yang mencoba peruntungan pada pekerjaan beternak ayam negri. Alhamdulillah membuahkan hasil hingga kini aku dan suamiku juga mengikuti jejaknya sembari juga berdagang dipasar yang jam kerjanya dari jam 8 pagi sampai 12 siang.

Beternak ayam sama juga dengan profesi lain. Apapun, sebuah profesi pasti ada suka dukanya. Gak mungkin lah dikasih seneng terus... kapan bisa merenung memaknai sebuah syukur terima kasih pada Tuhan kalau kita tidak pernah merasa susah dan jatuh bangun meniti kesuksesan.

Dalam beternak, rotasi dunia peternakan ayam pedaging hanya berkisar 35 hari sudah bisa di panen. Untuk kemudian istirahat sebentar (membersihkan kandang dan menyemprot desinfektan). Setelah itu baru bisa di isi dengan ayam-ayam kecil (DOC) kembali. Nah permasalahan vital bagi kami para peternak adalah membuang sisa metabolisme si ayam yang jumlahnya ratusan itu. Selesai panen harus bersih sesegera mungkin. (Maaf...) tahi-tahi ayam itu harus dibuang. Aku dan suami sungguh tak sanggup untuk melakukannya sendiri. Sungguh tak sanggup.....

Beruntunglah ada lelaki giat bekerja yang mau melakukan apa saja untuk keluarganya. Dia adalah tetanggaku, pak Kasiadi namanya. Dia meu bekerja mengambil tumpukan tahi ayam kering atau basah. Dimasukkan dalam karung-karung untuk kemudian di ambil mobil box dikirim ke daerah Tuban untuk diolah menjadi pupuk. Atau terkadang di angkut ke Kota malang untuk penyubur persawahan dan perkebunan disana. Tahukah kawan berapa harga satu karung hasil kerjanya....? 1500 saja. Ya 1500 rupiah dari pabrik pupuk yang menyuruhnya tanpa meminta bayaran dari pihak kami pemilik ayam.
Berkali-kali kami mencoba memberikan uang sebagai tanda terima kasih, karena hasil kerjanya juga amat sangat membantu kami. Namun jarang sekali dia mau menerimanya.... campur aduk rasanya melihat fakta yang sudah sering mengiringi laju profesi kami tapi tetap saja menyisakan sesak perih di hati... karena kami merasa sungguh terbantu, bagaimana tidak..? untuk mendekati kandang saat kotoran-kotoran itu di bersihkan sudah berasa mual dan ingin mengeluarkan segala yang ada dalam perut.... ya robbby,

“Ayolah diterima pak... ini karena kami juga merasa sangat terbantu....” ucap suamiku.

“Mboten Mas... sampun di upahi dari mobil pabrik.... “ jawab Pak kasiadi dengan lugu.

Dalam proses akad kami memang tidak ada permufakatan jual beli. Karena sama mengerti bahwa jual beli barang najis dan menjijikkan adalah haram hukumnya. Pihak pabrik tidak membeli dan kami tidak menjual. Hanya memberikan ongkos bagi pekerja yang memindahkan tahi ayam itu. Tapi Pak kasiadi selalu merasa berat berat untuk menerimanya... entahlah, aku sungguh tak mengerti...

Dia, pak Kasiadi sudah merasa cukup dengan upah itu.... untuk keluarganya, untuk keluarganya...

Bagaimana menggambarkan perasaan berkali kumelihat itu. Sudah sering terjadi, hingga dalam catatan hati aku menamainya sebagai lelaki berjiwa emas, meski orang kampung sini menjulukinya dengan nama yang kurang enak di cerna indra pendengar... yaitu pak Kasiadi specialis tahi...

Butir kenyataan... siapa yang sanggup meramalnya?
Hamparan alur yang digariskan... siapa mampu mengaturnya ?
Hanya Allah sang penggeggam semesta kan...?

Dunia adalah teka-teki... tak seorang pun sanggup menjawab segala tanya yang ada.
Siapakah yang pernah bercita-cita mempunyai profesi menjadi pengumpul dan penganggkat karung-karung tahi ?... aku yakin pak Kasiadi tak pernah bercita-cita seperti itu. Namun iya memilih karena sudah tak ada lagi yang bisa dipilih, kecuali jalan tak legal sebagai kriminal dan sampah masyarakat. Bukankah dia hebat...??
.............................................................

Sejenak berganti topik cerita.

Masih tentang beberapa lelaki yang tanpa ragu kunamai sebagi para manusia empunya jiwa emas.

Kembali membuka blitz kenangan. Di pesantren LANGITAN widang tuban.
Sebuah tempat yang pernah kusinggahi untuk menimba ilmu.
Terletak tepat di samping jembatan widang yang dibawahnya mengalir sungai bengawan solo.

Jembatan yang cukup kokoh. Kuat dengan postur agak menanjak dan menurun. Nah disitulah aku sering bertemu dengan lelaki-lelaki hebat.
Mereka adalah para tukang becak yang ngepos didepan gerbang ponpes. Siap mengantar santri-santri yang ingin pergi ke pasar Babat (pasar terdekat dari ponpes...)... mereka siap dengan semangat 45. Dengan tantangan terbesar menyusuri tanjakan jembatan widang. Gak mungkin bisa dikayuh dengan kaki paling perkasa sekalipun. Mereka harus mendorong dengan segenap tenaga ekstra, ultra, atau multi powerfull... hoho entah sebutan apa untuk melukiskan perjuangan mereka mendorong becak yang berisi 2 muatan manusia sekaligus.

Kadang aku melirik kebelakang. Melihat ekspresi ngoyo si abang becak.... hadyuuuh bener-bener gak tega. Bener-bener gak tega.... hiks.

Dan tahukah kawan...? barapa imbalan yang harus kami bayar untuk semua payah itu...?

“Untuk santri saya gak matok harga mbak... terserah kemampuan mbak, saya ikhlas demi para pencari ilmu... anak saya juga nyantri disana... “ aduh Tuhan... bagaimana hatiku tidak menangis, bagaimana hatiku tidak tersentuh...??

“Ayolah pak... bapak kan kerja. Sebutlah harganya, biar kita sama-sama enak...” aku dan temanku mencoba nego...

“Tak apa Mbak... saya bener-bener rela kok dikasih berapa saja...” ucapnya dengan senyum tulus.

Kami mengulurkan rupiah yang mungkin seharga tenaganya. Waktu pertama mengalami kejadian serupa itu aku benar-benar gak tahu harga umunya. Semoga pantas, itu saja harapanku....

Dan kami tak bisa melupakan kejadian itu. Kejadian yang sering terulang mengringi perjalanan waktu. Berulang namun tak jua membuatku merasa ‘biasa’... masih selau terkagum pada sikap tulus mereka. Padahal banyak teman menceritakan ‘ucap sok tulus’ mereka para abang becak hanya basa basi belaka. Aku gak perduli... aku tetap menangkap sinar tulus itu saat melirik raut payah mereka mendorong becak pada posisi menanjak. Hatiku tak bisa dibohongi dengan semua itu... TIDAK BISA.
...............................

Ya..... mereka adalah para lelaki berjiwa emas yang tercatat dalam hatiku. Yang pernah kulihat melintas dalam alurku.

Padahal pasti masih sangat banyak di ruang negri ini yang luput ke cermati.
Selintas aku ingat teriakan para feminis yang ingin sejajar dengan profesi gender laki-laki. Hmmm... apakah mereka juga mau menuntut profesi seperti itu...? hehehe.. aku tersenyum membayangkannya. Pasti mereka ogah lah yaw....

Kemudian aku mengingat sebuah anjuran islam bagi istri untuk selalu menghadiahkan senyum pada suami. Laknat malaikat bagi istri yang cemberut pada suami. Maka sungguh benarlah islam mengaturnya. Apabila mereka para lelaki benar-benar berjiwa emas. Benar-benar mengerti kompensasi sebuah pernikahan yang tak hanya mengecap manis madu penganten baru tapi juga harus berenang dalam lautan jamu selintas waktu yang akan tertuju. Apabila mereka para lelaki memikul beban dipundaknya dengan sepenuh hati dan raga yang menyanggupi.

Namun dalam kenyataan aku juga tidak menutup mata dan juga tidak buta. Bahwa banyak juga lelaki yang tak memenuhi syarat sebagai imam dan pemimpin rumah tangga sejati. Mereka yang memberi nafkah sedikit dan tak cukup untuk sebuah kelayakan tapi menuntut kepatuhan dan memperbudak wanita seenaknya... sungguh itu ada dan nyata. Kontras memang...

Bahkan ada pula yang tak segan memukul, mencaci, menghina... seenak perut. KDRT gaya kampung yang tak pernah terekspos kecuali oleh bisik udara. Bisik udara yang terlalu fakta.

Lebih parah lagi, ada juga lelaki yang memeras hasil keringat istri. Dengan dalih.... ISTRI HARUS NURUT PADA SUAMI..... peraturan manusia manapun mengatakan ini kejam kan..?

Sebuah kekaguman yang kadang disuguhkan pada berbagai warna yang kontras tetap saja layak dinamakan kekaguman.

Mereka yang pernah kulihat dan kuceritakan diatas tetaplah lelaki berjiwa emas.
Sebenarnya bagaimana sih sebuah keseimbangan. Lelaki adalah imam, wanita adalah teman perjuangan. mengapa tak saling bergandengan tangan..?
Teori oh teori.... susah merancangnya dalam lembar kata-kata. Namun lebih susah lagi merealisaikan dalam alam nyata. Saat berjuta problema pelik melanda kadang tak sanggup memoles rupa dengan satu senyum sandiwara untuk pasangan yang ada didepan mata.

Inilah warna kawan... rasai dan lihatlah, bila mungkin kau temukan jawaban... tolong bagi denganku dengan bahasa sederhana yang bisa aku cerna.....
& & & & &

Bint@ almamba
7 juni 2010
Cemut-cemut,,,,,


Footnote:
Tandur : menanam benih padi (biasanya sambil berjalan mundur)
Icir : menyemai benih satu persatu kedalam tanah yang sudahdilubangi dengan alat
Khusus yaitu gejik
Dadak : mencabuti rumput yang ada disela-sela tanaman
Ani-ani : menyiangi padi
Dangir : mencangkul tanah sekitar tanamn agar gembur dan subur kembali
Tonjo : menyiangi daun tebu

Selasa, 07 September 2010

PASWORD PINTU SURGA

Rindu itu tak pernah basi
Kuntum yang terus merekah … sempurna
Saat masih ada bait-bait untuk cinta
Ketika tasbih agungkan namanya
Selalu terbaca
Hawa … yang punya senyum kejora
Tak hanya penghibur lelah
Pun sahabat saat payah
Sungguh …
Ia hadiahkan malaikat kecil
Pemanis yang sangat manis
Perekat yang paling kuat
Pelipur yang terlalu manjur
Sungguh …
Dunia semakin bersolek warna
Pinta hati saat mentari berganti senja
Kembali untuk mengetuk
“Assalamu’alaikum cinta”
Rumahku bukan istana
Namun seumpama surga

* Sebuah pengandaian. Tulisan ini adalah persembahan dari Kangmasku tersayang.

Sekar melati, tansah wangi sak njering ati




               Berbicara tentang tulusnya hati, bersihnya jiwa, jua murninya tujuan yang tersimpul dalam niat dan tekad. Siapa yang sanggup melihatnya..? dan alat secanggih apa yang mampu mengukurnya....?
Semua berada dalam lingkaran abstrak, kasat mata. Dan mungkin hanya indra jiwa yang sanggup membacanya...
Beragam profesi tersaji dalam hamparan muka bumi ini. Dalam logikanya, semua orang pasti punya kesempatan untuk memilih. Namun dalam kenyataannya, kadang pilihan-pilihan yang berjajar tidak pernah memberikan peluang.
Profesi menjadi guru. Sudah banyak yang menjalaninya. Entah bagaimana rancangan taqdir dan motif sebelumnya hingga menjadikan mereka terdampar dalam profesi itu. Profesi yang tak menjanjikan finansial yang membuaikan.
Guru... bagiku laksana melati. Selalu menebar harum saat ia kuncup, mekar, maupun kering dan pasi.
Sebagaimana sebuah episode dalam perjalanan alur yang panjang. Alur apalagi jika bukan alur kehidupan. Layak kita dapati manusia-manusia pilihan yang dapat kita sematkan satu predikat indah sebagai guru atau pendidik generasi bangsa. Orang jawa mengatakan.... guru adalah sosok yang bisa digugu dan ditiru. Yaitu harus bisa di percaya kata-katanya dan ditauladani segala tingkah lakunya.
Dalam kenangan yang terdekap.....
Bu Min, begitu beliau biasa dipanggil. Nama lengkapnya adalah Siti Aminah. Hingga saat ini beliau masih selau menyapa ramah dan halus saat kami bertemu. Masih seperti bahas guru taman kanak-kanak pada murid-murid kecilnya. Meski sekarang aku sudah menjadi ibu dari dua balita.
“Wah.. mbak Riris...putranya dah besar-besar...”.....
“Iya Bu Min... “ jawabku penuh haru. Seolah kembali mengecap masa manis menjadi murid kecil beliau di masa lampau.
Beliau Bu Min adalah guru yang sabar namun cekatan. Yang aku pandang hebat karena sebuah peristiwa kecil namun kuanggap sebagai peristiwa luar biasa. Saat beliau dengan tanpa jijik membersihkan ingus leleran pilek anak-anak yang bukan lahir dari kandungan beliau. Dan entah kenapa bagaikan sebuah ‘magic’ banyak anak-anak yang lebih mendengar kata-kata anjuran atau larangan dari Bu Min daripada guru-guru yang lain.... entahlah.
Terbitnya kekaguman tak berhenti kala aku menjadi murid kecilnya saja. Seiring waktu yang terus berjalan pelan namun pasti. Berkurangnya usia satu hari per satu hari.... saat sebuah nestapa menjadi kabar petir di siang hari.
“Putrinya Bu Min mendapat musibah....” aku terkejut.
“Ada apa dengan putri beliau...?”..
“Dia diperkosa.... “ oh Tuhan... kenapa ?, putri Bu min itu masih seusiaku waktu menjadi murid kecil beliau. Tega sekali orang itu....
“Cobaan orang baik... bu min sungguh sabar menghadapi semua ini.....aku tak tahu harus bilang apa... kalau sudah terjadi mau bagaimana...?” jawab pembawa kabar itu padaku. Aku tesedu meski tak bisa mengekspresikan dengan tangis pilu.
Mengapa...? kekaguman tak berhenti di ujung waktu. Saat ada semilir lain yang membawa kisah padaku.
“Saat Bu Min  mengandung putrinya yang terakhir beliau menghadapi cobaan yang sangat berat,.. sungguh..”...
“Cobaan apa... tolong ceritakan padaku..!!”... pintaku.
“Bu Min digunjingkan banyak orang karena hamil.... ya hamilnya Bu Min saat suaminya menderita gangguan jiwa. Sering tertawa sendiri dan berbicara sendiri entah ... mungkin tekanan hidup atau rahasia taqdir yang membuat suami Bu Min seperti itu...”...
“Kenapa harus digunjingkan...?” tanyaku tak faham...
“Ya... kenapa Bu Min bisa hamil sementara suaminya seperti itu... apa mungkin hamil oleh orang lain... begitu gunjingan yang ramai terdengar....”...
“Ooo... kejamnya...” kembali aku tesedu dan tak mampu menagis pilu... oh Tuhan.
“Padahal Bu min yang baru saja diangkat sebagai PNS setelah berpuluh tahun mengajar sekarang menjadi tulang punggung keluarga. Beliau masih menghormati dan mencintai suaminya meski dalam keadaan seperti itu....”....
“Meski getir beliau menghadapi gunjingan itu dengan bijak... dan waktu yang membuktikan kesucian beliau... “...
 Bu Min yang berwajah damai dan tak pernah sekalipun terlukis kesedihan dalam pengelihatan kanak-kanakku seolah tetap seperti itu dalam mata dewasaku. Ternyata penuh badai dalam kehidupannya. Aku harus banyak belajar untuk mempunyai jiwa baja seperti Bu Min. Beliau masih menjadi Bu Min berwajah damai di usia senjanya. Tetap berjalan kaki saat pagi berangkat ke gedung taman kanak-kanak tua, satu-satunya di kampung kami.
Guru oh guru.... pengajar segala ilmu kehidupan. Tak hanya terpaku pada orang yang lebih tua dari usiaku sebagai pencari ilmu.
Kadang kudapati kalimat hikmah juga terlahir dari seorang anak kecil dengan mata beningnya. Dengan bahasa apa adanya, jujur tanpa rekayasa....
Saat aku meniti hari di sebuah pondok pesantren salaf. Pernah kudapati kenyataan akan sebuah tradisi yang membuatku jengkel dan menggerutu. Yaitu tradisi antri... antri mandi, mencuci, sekedar lewat bancik (pijakan kaki berjajar membentuk lintasan jalan yang menghubungkan gedung satu dan yang lain di area pesantren...), bahkan seperti meminjam barang-barang pribadi seperti sisir, sendok dan piring. Semua tak luput dari antrian. Dan untuk antrian pinjam inilah yang mebuatku menahan sabar berkali-kali... ya satu yang minjam buntutnya bisa panjang sekali. Di pinjam yang lain lagi, berpindah tangan ... dipinjam yang lain...  begitulah antri yang sebenarnya bisa dinamakan fenomena goshop dengan dalil ‘ullimaa ridhouhu (diketahui pasti keridhoan pemiliknya...) terlanjur membudaya.
Dari antri pinjam yang panjang terlalu sering barang-barangku akhirnya hilang tanpa tahu pengantri nomer berapa yang bisa dimintai pertanggung jawaban... aduh jengkelnya...
Dengan muka kusut kusandarkan punggung di teras kamar.
“Mbak kenapa ?... bete banget sepertinya...” sapa santri kecil tetangga kamarku, Imas Nasibah.
“Bete banget dek.. banyak barang ilang... musti beli lagi dan beli lagi... padahal mbak udah berusaha primpen tapi tetep aja banyak yang ilang... gara-gara antrian... huhh..” curhatku kesal...
“Santai aja Mbak.. segitu aja..” hiburnya ringan. ‘Ah dia masih bocah kecil mana ngerti kalo ortu dirumah kerja banting tulang agar bisa kirim uang sangu anaknya di pesantren’ kilah hatiku
“Anak santri mah semua serba antri... kalo di pondok lum ada barang yang hilang atau kena gatalan... ilmunya lum bisa mantap mbak..hehehe... belajar sabar dan memaafkan biar jadi santri sejati....” apa...?? enak benar dia berkalam. Tapi apa tadi.... belajar sabar dan memaafkan biar jadi santri sejati... wow kata yang bijak sekali. Rasanya tertohok hati ini mendengarnya. Aku memang terlalu memanjakan emosi dan susah bersabar dan memaafkan.
Meskipun dari bibir mungil santri yang lebih junior. Tapi kata-katanya patut kujadikan pijakan berpikir dalam menyikapi arus antrian yang selalu kuanggap menjengkelkan. Terimakasih Dek Imas, andai dapat bertemu dirimu lagi kini....
Begitu banyak yang kukagumi tentang segala yang mengajarkan serpihan ilmu memaknai kehidupan. Tak hanya sosok ragawi bernama manusia. Pun semua makhluk tuhan yang terhampar di muka bumi ini juga bisa kita jadikan guru. Tentu saja dengan pencermatan indra jiwa yang sederhana.
Meski aku jarang bisa melihat pelangi dengan spektrum mejikuhibiniu-nya. Aku tau bahwa ia terbit selepas hujan dan mendung bahkan mungkin guntur dan juga badai. Ya... kenapa Tuhan menyembunyikan matahari dibalik awan kelabu....., mengapa Awan pecah menjadi hujan dan badai, tak peduli pada bumi yang merindu matahari. Sungguh jawabnya merekah saat hujan usai. Saat garis-garis indah mengarsir langit dengan lengkung cantiknya... dia pelangi yang mengabarkan pada udara akan jawaban segala pertanyaan...
Mengapa Tuhan meyembunyikan kebahagiaan, kemenangan, kesuksesan dan semacamnya tapi malah menghadirkan kegagalan, kekalahan, bahkan keterpurukan. Sungguh jika kita terus bertahan mengahadapinya dengan tegar. Pelangi keberhasilan akan datang menyapa pada akhirnya... begitu nasehat guru pelangi yang kusematkan dalam imaji hati.
Dan terlalu banyak fakta alam yang layak dinamakan guru. Yang mana mereka tak pernah menggurui namun kujadikan kiasan pelajaran nurani yang kucerna dalam logika imaji sendiri. Biarlah... siapa yang akan protes..??
Seperti saat ku melihat proses metamorfosa kupu-kupu. Yang bersusah payah keluar dari kepompong... perjuangannya merupakan kebutuhan agar bila saatnya ia akan menjadi indah. Ia akan indah... kerena telah dibuktikan dengan eksperimen. Membantu calon kupu-kupu keluar dari kepompong dengan cara menyobeknya malah membuatnya cacat, sayap indahnya tak bisa tumbuh dengan sempurna. Yah perjuangan itu perlu untuk dapat merasakan dan menghargai kesuksesan.
Guru,... kembali lagi pada masa pesantrenku. Seperti sebuah miniatur negri yang penuh uji untuk sebuah nyali dan prestasi. Pun disana banyak sosok guru yang mencuri pucuk-pucuk kekagumanku.
Tak perlu disebutkan satu persatu. Guru-guru di pesantren tempatku berteduh dulu (PONPES LANGITAN WIDANG TUBAN) adalah berasal dari santri-santri yang sudah lama mondok hingga diminta Kyai (pengasuh) untuk membantu mengajar santri-santri junior dan mengamalkan segala ilmu yang telah dipelajari selama ini.
Ketawadhu’an santri pada gurunya adalah alasan kuat mereka-mereka bisa bertahan di ponpes hingga usia yang mungkin tergolong tidak muda lagi. Mereka terus mengabdi, bahkan tak jarang mereka dipertemukan jodohnya dengan sesama santri senior yang juga diminta menjadi guru. Hingga..... untuk ridho guru dan perjuangan dakwah, maka dalam urusan pasangan hidup  pun mereka -sam’an wa tho’atan- kepada Kyainya.
Sungguh tak ada jaminan finansial dalam pilihan menjadi asatidz asatidzah di pesantren. Karena bisyaroh atau gaji yang diberikan hanya rupiah yang nominalnya tidak sampai 3 lembar uang bergambar mawar merah per bulannya. Ya.. nominal itu bukan gaji impian yang indah. Sebuah ilmu ketawadhu’an mengesampingkan urusan dunia yang lain-lain.
Bagi Ustadz yang sudah menikah dan punya tanggungan keluarga dipinjamkan sepetak rumah dilingkungan pesantren. Namun mereka harus putar otak untuk memenuhi kebutuhan hidup. Banyak dari mereka yang memilih berdagang di sekitar lingkungan pesantren. Ada yang berdagang makanan dan kerupuk. Yang punya cukup modal ada yang mendirikan wartel dan warnet. Ada juga yang menjual jasa penyampulan kulit kitab-kitab agar lebih awet, penulisan kaligrafi dan lain sebagainya.
Dan bahkan ada yang susah dijelaskan dengan logika tentang hikmah tersembunyi sikap taat pada guru.... seorang ustadz sering mendapatkan proyek membuat rancangan gambar pola bangunan masjid layaknya arsitek handal. Padahal beliau tidak pernah sekolah atau kuliah jurusan arsitektur. Hanya berbekal diklat tentang arsitektur yang pernah di adakan di pesantren beberapa tahun yang lampau... subhanallah kan..
Guru bagiku adalah melati. Mewangi sedalam imaji dan sepenuh puji dalam do’a-do’a hati. Setitik asaku ingin menjadi seorang guru, tak diijinkan oleh takdirku selain menjadi guru dari anak-anakku.
# #  #  # # #

Sekuntum do’aku untuk beribu melatiku....
Bint@ al-MamBa
20 juni 2010


Footnote: 

Sekar melati, tansah wangi sak njering ati : bunga melati, selalu harum dalam sepenuh hati
Primpen : teliti
Gatalan : hanya sebuah fenomena penyakit kulit yang mudah menular ke seluruh penghuni     pesantren dimasa lalu, pada masa ini semua lebih higinis dengan segala fasilitas yang semakin diperbaiki.
sam’an wa tho’atan : mendengar dan mentaati...





LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...