Kamis, 09 September 2010

MEREKA LELAKI BERJIWA EMAS

Ingin bercerita tentang mereka, yang meskipun sekedar lewat dalam laju perjalanan hidupku. Namun menorehkan kesan hikmah yang tak mudah untuk dilupakan. Benih-benih pelajaran yang mungkin tak akan di dapatkan dalam zona ruang pendidikan yang formal.
Di kampungku yang selalu bersenandung saat pagi berembun, hilir mudik masyarakat mengarsir hari-harinya dengan berbagai warna upaya untuk bertahan hidup.

Survive...... Kebanyakan adalah berprofesi sebagai petani. Meskipun dalam kenyataannya petani yang sejatinya punya sawah sendiri lebih sedikit dibanding para buruh taninya.

Yang menjadi juragan hanya segelintir, sementara para buruh sangat berlimpah banyaknya.

Ya..... banyak sekali profesi sebagai buruh tani di kampungku. Biasanya dinamakan -preman-, tapi yang ini bukan preman yang tukang minta duit di jalan-jalan. Preman yang ini melulu kerja disawah dalam kategori apa saja. Yaitu tandur, icir, dadak, ani-ani, dangir, tonjo dan lain-lain. Preman bisa dikatakan sebagai pilihan terakhir setelah segala profesi lain serasa tak mungkin, sebuah predikat yang sama sekali nggak keren namun tetap tersandang dengan sempurna.

Mreman, adalah...sebuah pekerjaan kasar yang bisa dilakukan laki-laki maupun perempuan. Namun beberapa hal ada yang hanya dapat dilakukan oleh gender laki-laki saja, seperti yang ada hubungannya dengan cangkul mencangkul. Ditengah siang yang terik bersama hamparan sawah yang menantang garangnya matahari. Sering aku melewati jalanan kampung dengan kanan kiri area persawahan yang luas. Melihat pemandangan punggung-punggung mengkilat yang terbungkuk dihajar panas penguasa siang. Mereka solah tak perduli, terus saja mengayun cangkul demi sesuap nasi untuk menyambung nafas esok hari......
..............................

Dan, ada juga beberapa profesi lain yang di jadikan alternatif di kampungku. Diantaranya adalah tukang dan kuli bangunan, memproduksi makanan olahan yaitu tape ketan hijau (dengan modal minim dan pemasaran lokal sekitar jombang saja), buruh pabrik, dan ada juga yang beternak ayam broiler (ayam negri).
Temasuk orang tuaku adalah yang mencoba peruntungan pada pekerjaan beternak ayam negri. Alhamdulillah membuahkan hasil hingga kini aku dan suamiku juga mengikuti jejaknya sembari juga berdagang dipasar yang jam kerjanya dari jam 8 pagi sampai 12 siang.

Beternak ayam sama juga dengan profesi lain. Apapun, sebuah profesi pasti ada suka dukanya. Gak mungkin lah dikasih seneng terus... kapan bisa merenung memaknai sebuah syukur terima kasih pada Tuhan kalau kita tidak pernah merasa susah dan jatuh bangun meniti kesuksesan.

Dalam beternak, rotasi dunia peternakan ayam pedaging hanya berkisar 35 hari sudah bisa di panen. Untuk kemudian istirahat sebentar (membersihkan kandang dan menyemprot desinfektan). Setelah itu baru bisa di isi dengan ayam-ayam kecil (DOC) kembali. Nah permasalahan vital bagi kami para peternak adalah membuang sisa metabolisme si ayam yang jumlahnya ratusan itu. Selesai panen harus bersih sesegera mungkin. (Maaf...) tahi-tahi ayam itu harus dibuang. Aku dan suami sungguh tak sanggup untuk melakukannya sendiri. Sungguh tak sanggup.....

Beruntunglah ada lelaki giat bekerja yang mau melakukan apa saja untuk keluarganya. Dia adalah tetanggaku, pak Kasiadi namanya. Dia meu bekerja mengambil tumpukan tahi ayam kering atau basah. Dimasukkan dalam karung-karung untuk kemudian di ambil mobil box dikirim ke daerah Tuban untuk diolah menjadi pupuk. Atau terkadang di angkut ke Kota malang untuk penyubur persawahan dan perkebunan disana. Tahukah kawan berapa harga satu karung hasil kerjanya....? 1500 saja. Ya 1500 rupiah dari pabrik pupuk yang menyuruhnya tanpa meminta bayaran dari pihak kami pemilik ayam.
Berkali-kali kami mencoba memberikan uang sebagai tanda terima kasih, karena hasil kerjanya juga amat sangat membantu kami. Namun jarang sekali dia mau menerimanya.... campur aduk rasanya melihat fakta yang sudah sering mengiringi laju profesi kami tapi tetap saja menyisakan sesak perih di hati... karena kami merasa sungguh terbantu, bagaimana tidak..? untuk mendekati kandang saat kotoran-kotoran itu di bersihkan sudah berasa mual dan ingin mengeluarkan segala yang ada dalam perut.... ya robbby,

“Ayolah diterima pak... ini karena kami juga merasa sangat terbantu....” ucap suamiku.

“Mboten Mas... sampun di upahi dari mobil pabrik.... “ jawab Pak kasiadi dengan lugu.

Dalam proses akad kami memang tidak ada permufakatan jual beli. Karena sama mengerti bahwa jual beli barang najis dan menjijikkan adalah haram hukumnya. Pihak pabrik tidak membeli dan kami tidak menjual. Hanya memberikan ongkos bagi pekerja yang memindahkan tahi ayam itu. Tapi Pak kasiadi selalu merasa berat berat untuk menerimanya... entahlah, aku sungguh tak mengerti...

Dia, pak Kasiadi sudah merasa cukup dengan upah itu.... untuk keluarganya, untuk keluarganya...

Bagaimana menggambarkan perasaan berkali kumelihat itu. Sudah sering terjadi, hingga dalam catatan hati aku menamainya sebagai lelaki berjiwa emas, meski orang kampung sini menjulukinya dengan nama yang kurang enak di cerna indra pendengar... yaitu pak Kasiadi specialis tahi...

Butir kenyataan... siapa yang sanggup meramalnya?
Hamparan alur yang digariskan... siapa mampu mengaturnya ?
Hanya Allah sang penggeggam semesta kan...?

Dunia adalah teka-teki... tak seorang pun sanggup menjawab segala tanya yang ada.
Siapakah yang pernah bercita-cita mempunyai profesi menjadi pengumpul dan penganggkat karung-karung tahi ?... aku yakin pak Kasiadi tak pernah bercita-cita seperti itu. Namun iya memilih karena sudah tak ada lagi yang bisa dipilih, kecuali jalan tak legal sebagai kriminal dan sampah masyarakat. Bukankah dia hebat...??
.............................................................

Sejenak berganti topik cerita.

Masih tentang beberapa lelaki yang tanpa ragu kunamai sebagi para manusia empunya jiwa emas.

Kembali membuka blitz kenangan. Di pesantren LANGITAN widang tuban.
Sebuah tempat yang pernah kusinggahi untuk menimba ilmu.
Terletak tepat di samping jembatan widang yang dibawahnya mengalir sungai bengawan solo.

Jembatan yang cukup kokoh. Kuat dengan postur agak menanjak dan menurun. Nah disitulah aku sering bertemu dengan lelaki-lelaki hebat.
Mereka adalah para tukang becak yang ngepos didepan gerbang ponpes. Siap mengantar santri-santri yang ingin pergi ke pasar Babat (pasar terdekat dari ponpes...)... mereka siap dengan semangat 45. Dengan tantangan terbesar menyusuri tanjakan jembatan widang. Gak mungkin bisa dikayuh dengan kaki paling perkasa sekalipun. Mereka harus mendorong dengan segenap tenaga ekstra, ultra, atau multi powerfull... hoho entah sebutan apa untuk melukiskan perjuangan mereka mendorong becak yang berisi 2 muatan manusia sekaligus.

Kadang aku melirik kebelakang. Melihat ekspresi ngoyo si abang becak.... hadyuuuh bener-bener gak tega. Bener-bener gak tega.... hiks.

Dan tahukah kawan...? barapa imbalan yang harus kami bayar untuk semua payah itu...?

“Untuk santri saya gak matok harga mbak... terserah kemampuan mbak, saya ikhlas demi para pencari ilmu... anak saya juga nyantri disana... “ aduh Tuhan... bagaimana hatiku tidak menangis, bagaimana hatiku tidak tersentuh...??

“Ayolah pak... bapak kan kerja. Sebutlah harganya, biar kita sama-sama enak...” aku dan temanku mencoba nego...

“Tak apa Mbak... saya bener-bener rela kok dikasih berapa saja...” ucapnya dengan senyum tulus.

Kami mengulurkan rupiah yang mungkin seharga tenaganya. Waktu pertama mengalami kejadian serupa itu aku benar-benar gak tahu harga umunya. Semoga pantas, itu saja harapanku....

Dan kami tak bisa melupakan kejadian itu. Kejadian yang sering terulang mengringi perjalanan waktu. Berulang namun tak jua membuatku merasa ‘biasa’... masih selau terkagum pada sikap tulus mereka. Padahal banyak teman menceritakan ‘ucap sok tulus’ mereka para abang becak hanya basa basi belaka. Aku gak perduli... aku tetap menangkap sinar tulus itu saat melirik raut payah mereka mendorong becak pada posisi menanjak. Hatiku tak bisa dibohongi dengan semua itu... TIDAK BISA.
...............................

Ya..... mereka adalah para lelaki berjiwa emas yang tercatat dalam hatiku. Yang pernah kulihat melintas dalam alurku.

Padahal pasti masih sangat banyak di ruang negri ini yang luput ke cermati.
Selintas aku ingat teriakan para feminis yang ingin sejajar dengan profesi gender laki-laki. Hmmm... apakah mereka juga mau menuntut profesi seperti itu...? hehehe.. aku tersenyum membayangkannya. Pasti mereka ogah lah yaw....

Kemudian aku mengingat sebuah anjuran islam bagi istri untuk selalu menghadiahkan senyum pada suami. Laknat malaikat bagi istri yang cemberut pada suami. Maka sungguh benarlah islam mengaturnya. Apabila mereka para lelaki benar-benar berjiwa emas. Benar-benar mengerti kompensasi sebuah pernikahan yang tak hanya mengecap manis madu penganten baru tapi juga harus berenang dalam lautan jamu selintas waktu yang akan tertuju. Apabila mereka para lelaki memikul beban dipundaknya dengan sepenuh hati dan raga yang menyanggupi.

Namun dalam kenyataan aku juga tidak menutup mata dan juga tidak buta. Bahwa banyak juga lelaki yang tak memenuhi syarat sebagai imam dan pemimpin rumah tangga sejati. Mereka yang memberi nafkah sedikit dan tak cukup untuk sebuah kelayakan tapi menuntut kepatuhan dan memperbudak wanita seenaknya... sungguh itu ada dan nyata. Kontras memang...

Bahkan ada pula yang tak segan memukul, mencaci, menghina... seenak perut. KDRT gaya kampung yang tak pernah terekspos kecuali oleh bisik udara. Bisik udara yang terlalu fakta.

Lebih parah lagi, ada juga lelaki yang memeras hasil keringat istri. Dengan dalih.... ISTRI HARUS NURUT PADA SUAMI..... peraturan manusia manapun mengatakan ini kejam kan..?

Sebuah kekaguman yang kadang disuguhkan pada berbagai warna yang kontras tetap saja layak dinamakan kekaguman.

Mereka yang pernah kulihat dan kuceritakan diatas tetaplah lelaki berjiwa emas.
Sebenarnya bagaimana sih sebuah keseimbangan. Lelaki adalah imam, wanita adalah teman perjuangan. mengapa tak saling bergandengan tangan..?
Teori oh teori.... susah merancangnya dalam lembar kata-kata. Namun lebih susah lagi merealisaikan dalam alam nyata. Saat berjuta problema pelik melanda kadang tak sanggup memoles rupa dengan satu senyum sandiwara untuk pasangan yang ada didepan mata.

Inilah warna kawan... rasai dan lihatlah, bila mungkin kau temukan jawaban... tolong bagi denganku dengan bahasa sederhana yang bisa aku cerna.....
& & & & &

Bint@ almamba
7 juni 2010
Cemut-cemut,,,,,


Footnote:
Tandur : menanam benih padi (biasanya sambil berjalan mundur)
Icir : menyemai benih satu persatu kedalam tanah yang sudahdilubangi dengan alat
Khusus yaitu gejik
Dadak : mencabuti rumput yang ada disela-sela tanaman
Ani-ani : menyiangi padi
Dangir : mencangkul tanah sekitar tanamn agar gembur dan subur kembali
Tonjo : menyiangi daun tebu

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Komentar kamu adalah penyambung silaturrahmi kita, maka jangan ragu meninggalkan jejak :)

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...