Selasa, 14 September 2010

MENJUAL HUJAN

“Aku akan menjual hujan.. dan akan kuganti semua langitku menjadi pelangi” ucapku dengan gempita dan semangat yang mengangkasa.

“Hahahaha... omong besar, pelangi itu mahal Non..” ucap si ganteng itu renyah sekali. Wow.. saat itu biarpun wajahnya beda tipis dengan Bradd Pit. Dalam pengelihatan lensaku menjadi lebih mirip kodok kejepit.

Menjengkelkan sekali....

Sungguh menyesal kenapa dulu pernah menganggapnya arjuna hati. Seharusnya dia tak berhak menertawakan mimpi kami. Para penghuni rumah matahari.

“Meskipun kau menjual hujan. Dan ditambah sepuluh melati cantikmu yang ranum belum tersentuh.... kau tidak akan pernah mampu membeli pelangi...”

“Berisik...!!!”

Aku berlalu pergi meninggalkan segala kata penghancuran itu. Kalau aku tetap mendengarkannya bicara lama-lama, bangunan indah mimpi dan cita-citaku akan retak.

“Lupakan saja, dan bergandengan tangan denganku mencari harapan nyata meski hanya remah roti tanpa mentega. Setidaknya itu nyata....”

Ah... andai saja kau tidak memulainya dengan kata penghancuran pastilah kalimat itu menjadi kalimat terindah yang akan kusambut dengan bunga. Dengan sebingkai bahagia.

Entahlah... hilang semua rasa yang kemarin bertahta. berganti menjadi sebuah pertanyaan besar. Adakah orang macam kamu yang akan menggenggam jemariku..? padahal aku butuh kekuatan, kepercayaan dan untuk memastikan bahwa pelangi yang kuimpikan bukan hanya sekedar bualan yang patut ditertawakan

Siapapun tidak berhak menghancurkan impian ini. Dalam rinai dan perih aku akan terus menggenggamnya. Sebagai satu-satunya penanda bahwa aku masih hidup.





Dalam episode jingga...

Galih tersentak melihat profil pengusaha sukses di sebuah majalah. Wajah itu sepertinya pernah menyapa masa lalunya.

Arimbi wulandari, pemilik PELANGI’S BAKERY yang semakin maju pesat pelanggan dan outlet-outletnya ternyata pernah menjadi penghuni kolong jembatan.

Kamis, 09 September 2010

MEREKA LELAKI BERJIWA EMAS

Ingin bercerita tentang mereka, yang meskipun sekedar lewat dalam laju perjalanan hidupku. Namun menorehkan kesan hikmah yang tak mudah untuk dilupakan. Benih-benih pelajaran yang mungkin tak akan di dapatkan dalam zona ruang pendidikan yang formal.
Di kampungku yang selalu bersenandung saat pagi berembun, hilir mudik masyarakat mengarsir hari-harinya dengan berbagai warna upaya untuk bertahan hidup.

Survive...... Kebanyakan adalah berprofesi sebagai petani. Meskipun dalam kenyataannya petani yang sejatinya punya sawah sendiri lebih sedikit dibanding para buruh taninya.

Yang menjadi juragan hanya segelintir, sementara para buruh sangat berlimpah banyaknya.

Ya..... banyak sekali profesi sebagai buruh tani di kampungku. Biasanya dinamakan -preman-, tapi yang ini bukan preman yang tukang minta duit di jalan-jalan. Preman yang ini melulu kerja disawah dalam kategori apa saja. Yaitu tandur, icir, dadak, ani-ani, dangir, tonjo dan lain-lain. Preman bisa dikatakan sebagai pilihan terakhir setelah segala profesi lain serasa tak mungkin, sebuah predikat yang sama sekali nggak keren namun tetap tersandang dengan sempurna.

Mreman, adalah...sebuah pekerjaan kasar yang bisa dilakukan laki-laki maupun perempuan. Namun beberapa hal ada yang hanya dapat dilakukan oleh gender laki-laki saja, seperti yang ada hubungannya dengan cangkul mencangkul. Ditengah siang yang terik bersama hamparan sawah yang menantang garangnya matahari. Sering aku melewati jalanan kampung dengan kanan kiri area persawahan yang luas. Melihat pemandangan punggung-punggung mengkilat yang terbungkuk dihajar panas penguasa siang. Mereka solah tak perduli, terus saja mengayun cangkul demi sesuap nasi untuk menyambung nafas esok hari......
..............................

Dan, ada juga beberapa profesi lain yang di jadikan alternatif di kampungku. Diantaranya adalah tukang dan kuli bangunan, memproduksi makanan olahan yaitu tape ketan hijau (dengan modal minim dan pemasaran lokal sekitar jombang saja), buruh pabrik, dan ada juga yang beternak ayam broiler (ayam negri).
Temasuk orang tuaku adalah yang mencoba peruntungan pada pekerjaan beternak ayam negri. Alhamdulillah membuahkan hasil hingga kini aku dan suamiku juga mengikuti jejaknya sembari juga berdagang dipasar yang jam kerjanya dari jam 8 pagi sampai 12 siang.

Beternak ayam sama juga dengan profesi lain. Apapun, sebuah profesi pasti ada suka dukanya. Gak mungkin lah dikasih seneng terus... kapan bisa merenung memaknai sebuah syukur terima kasih pada Tuhan kalau kita tidak pernah merasa susah dan jatuh bangun meniti kesuksesan.

Dalam beternak, rotasi dunia peternakan ayam pedaging hanya berkisar 35 hari sudah bisa di panen. Untuk kemudian istirahat sebentar (membersihkan kandang dan menyemprot desinfektan). Setelah itu baru bisa di isi dengan ayam-ayam kecil (DOC) kembali. Nah permasalahan vital bagi kami para peternak adalah membuang sisa metabolisme si ayam yang jumlahnya ratusan itu. Selesai panen harus bersih sesegera mungkin. (Maaf...) tahi-tahi ayam itu harus dibuang. Aku dan suami sungguh tak sanggup untuk melakukannya sendiri. Sungguh tak sanggup.....

Beruntunglah ada lelaki giat bekerja yang mau melakukan apa saja untuk keluarganya. Dia adalah tetanggaku, pak Kasiadi namanya. Dia meu bekerja mengambil tumpukan tahi ayam kering atau basah. Dimasukkan dalam karung-karung untuk kemudian di ambil mobil box dikirim ke daerah Tuban untuk diolah menjadi pupuk. Atau terkadang di angkut ke Kota malang untuk penyubur persawahan dan perkebunan disana. Tahukah kawan berapa harga satu karung hasil kerjanya....? 1500 saja. Ya 1500 rupiah dari pabrik pupuk yang menyuruhnya tanpa meminta bayaran dari pihak kami pemilik ayam.
Berkali-kali kami mencoba memberikan uang sebagai tanda terima kasih, karena hasil kerjanya juga amat sangat membantu kami. Namun jarang sekali dia mau menerimanya.... campur aduk rasanya melihat fakta yang sudah sering mengiringi laju profesi kami tapi tetap saja menyisakan sesak perih di hati... karena kami merasa sungguh terbantu, bagaimana tidak..? untuk mendekati kandang saat kotoran-kotoran itu di bersihkan sudah berasa mual dan ingin mengeluarkan segala yang ada dalam perut.... ya robbby,

“Ayolah diterima pak... ini karena kami juga merasa sangat terbantu....” ucap suamiku.

“Mboten Mas... sampun di upahi dari mobil pabrik.... “ jawab Pak kasiadi dengan lugu.

Dalam proses akad kami memang tidak ada permufakatan jual beli. Karena sama mengerti bahwa jual beli barang najis dan menjijikkan adalah haram hukumnya. Pihak pabrik tidak membeli dan kami tidak menjual. Hanya memberikan ongkos bagi pekerja yang memindahkan tahi ayam itu. Tapi Pak kasiadi selalu merasa berat berat untuk menerimanya... entahlah, aku sungguh tak mengerti...

Dia, pak Kasiadi sudah merasa cukup dengan upah itu.... untuk keluarganya, untuk keluarganya...

Bagaimana menggambarkan perasaan berkali kumelihat itu. Sudah sering terjadi, hingga dalam catatan hati aku menamainya sebagai lelaki berjiwa emas, meski orang kampung sini menjulukinya dengan nama yang kurang enak di cerna indra pendengar... yaitu pak Kasiadi specialis tahi...

Butir kenyataan... siapa yang sanggup meramalnya?
Hamparan alur yang digariskan... siapa mampu mengaturnya ?
Hanya Allah sang penggeggam semesta kan...?

Dunia adalah teka-teki... tak seorang pun sanggup menjawab segala tanya yang ada.
Siapakah yang pernah bercita-cita mempunyai profesi menjadi pengumpul dan penganggkat karung-karung tahi ?... aku yakin pak Kasiadi tak pernah bercita-cita seperti itu. Namun iya memilih karena sudah tak ada lagi yang bisa dipilih, kecuali jalan tak legal sebagai kriminal dan sampah masyarakat. Bukankah dia hebat...??
.............................................................

Sejenak berganti topik cerita.

Masih tentang beberapa lelaki yang tanpa ragu kunamai sebagi para manusia empunya jiwa emas.

Kembali membuka blitz kenangan. Di pesantren LANGITAN widang tuban.
Sebuah tempat yang pernah kusinggahi untuk menimba ilmu.
Terletak tepat di samping jembatan widang yang dibawahnya mengalir sungai bengawan solo.

Jembatan yang cukup kokoh. Kuat dengan postur agak menanjak dan menurun. Nah disitulah aku sering bertemu dengan lelaki-lelaki hebat.
Mereka adalah para tukang becak yang ngepos didepan gerbang ponpes. Siap mengantar santri-santri yang ingin pergi ke pasar Babat (pasar terdekat dari ponpes...)... mereka siap dengan semangat 45. Dengan tantangan terbesar menyusuri tanjakan jembatan widang. Gak mungkin bisa dikayuh dengan kaki paling perkasa sekalipun. Mereka harus mendorong dengan segenap tenaga ekstra, ultra, atau multi powerfull... hoho entah sebutan apa untuk melukiskan perjuangan mereka mendorong becak yang berisi 2 muatan manusia sekaligus.

Kadang aku melirik kebelakang. Melihat ekspresi ngoyo si abang becak.... hadyuuuh bener-bener gak tega. Bener-bener gak tega.... hiks.

Dan tahukah kawan...? barapa imbalan yang harus kami bayar untuk semua payah itu...?

“Untuk santri saya gak matok harga mbak... terserah kemampuan mbak, saya ikhlas demi para pencari ilmu... anak saya juga nyantri disana... “ aduh Tuhan... bagaimana hatiku tidak menangis, bagaimana hatiku tidak tersentuh...??

“Ayolah pak... bapak kan kerja. Sebutlah harganya, biar kita sama-sama enak...” aku dan temanku mencoba nego...

“Tak apa Mbak... saya bener-bener rela kok dikasih berapa saja...” ucapnya dengan senyum tulus.

Kami mengulurkan rupiah yang mungkin seharga tenaganya. Waktu pertama mengalami kejadian serupa itu aku benar-benar gak tahu harga umunya. Semoga pantas, itu saja harapanku....

Dan kami tak bisa melupakan kejadian itu. Kejadian yang sering terulang mengringi perjalanan waktu. Berulang namun tak jua membuatku merasa ‘biasa’... masih selau terkagum pada sikap tulus mereka. Padahal banyak teman menceritakan ‘ucap sok tulus’ mereka para abang becak hanya basa basi belaka. Aku gak perduli... aku tetap menangkap sinar tulus itu saat melirik raut payah mereka mendorong becak pada posisi menanjak. Hatiku tak bisa dibohongi dengan semua itu... TIDAK BISA.
...............................

Ya..... mereka adalah para lelaki berjiwa emas yang tercatat dalam hatiku. Yang pernah kulihat melintas dalam alurku.

Padahal pasti masih sangat banyak di ruang negri ini yang luput ke cermati.
Selintas aku ingat teriakan para feminis yang ingin sejajar dengan profesi gender laki-laki. Hmmm... apakah mereka juga mau menuntut profesi seperti itu...? hehehe.. aku tersenyum membayangkannya. Pasti mereka ogah lah yaw....

Kemudian aku mengingat sebuah anjuran islam bagi istri untuk selalu menghadiahkan senyum pada suami. Laknat malaikat bagi istri yang cemberut pada suami. Maka sungguh benarlah islam mengaturnya. Apabila mereka para lelaki benar-benar berjiwa emas. Benar-benar mengerti kompensasi sebuah pernikahan yang tak hanya mengecap manis madu penganten baru tapi juga harus berenang dalam lautan jamu selintas waktu yang akan tertuju. Apabila mereka para lelaki memikul beban dipundaknya dengan sepenuh hati dan raga yang menyanggupi.

Namun dalam kenyataan aku juga tidak menutup mata dan juga tidak buta. Bahwa banyak juga lelaki yang tak memenuhi syarat sebagai imam dan pemimpin rumah tangga sejati. Mereka yang memberi nafkah sedikit dan tak cukup untuk sebuah kelayakan tapi menuntut kepatuhan dan memperbudak wanita seenaknya... sungguh itu ada dan nyata. Kontras memang...

Bahkan ada pula yang tak segan memukul, mencaci, menghina... seenak perut. KDRT gaya kampung yang tak pernah terekspos kecuali oleh bisik udara. Bisik udara yang terlalu fakta.

Lebih parah lagi, ada juga lelaki yang memeras hasil keringat istri. Dengan dalih.... ISTRI HARUS NURUT PADA SUAMI..... peraturan manusia manapun mengatakan ini kejam kan..?

Sebuah kekaguman yang kadang disuguhkan pada berbagai warna yang kontras tetap saja layak dinamakan kekaguman.

Mereka yang pernah kulihat dan kuceritakan diatas tetaplah lelaki berjiwa emas.
Sebenarnya bagaimana sih sebuah keseimbangan. Lelaki adalah imam, wanita adalah teman perjuangan. mengapa tak saling bergandengan tangan..?
Teori oh teori.... susah merancangnya dalam lembar kata-kata. Namun lebih susah lagi merealisaikan dalam alam nyata. Saat berjuta problema pelik melanda kadang tak sanggup memoles rupa dengan satu senyum sandiwara untuk pasangan yang ada didepan mata.

Inilah warna kawan... rasai dan lihatlah, bila mungkin kau temukan jawaban... tolong bagi denganku dengan bahasa sederhana yang bisa aku cerna.....
& & & & &

Bint@ almamba
7 juni 2010
Cemut-cemut,,,,,


Footnote:
Tandur : menanam benih padi (biasanya sambil berjalan mundur)
Icir : menyemai benih satu persatu kedalam tanah yang sudahdilubangi dengan alat
Khusus yaitu gejik
Dadak : mencabuti rumput yang ada disela-sela tanaman
Ani-ani : menyiangi padi
Dangir : mencangkul tanah sekitar tanamn agar gembur dan subur kembali
Tonjo : menyiangi daun tebu

Selasa, 07 September 2010

PASWORD PINTU SURGA

Rindu itu tak pernah basi
Kuntum yang terus merekah … sempurna
Saat masih ada bait-bait untuk cinta
Ketika tasbih agungkan namanya
Selalu terbaca
Hawa … yang punya senyum kejora
Tak hanya penghibur lelah
Pun sahabat saat payah
Sungguh …
Ia hadiahkan malaikat kecil
Pemanis yang sangat manis
Perekat yang paling kuat
Pelipur yang terlalu manjur
Sungguh …
Dunia semakin bersolek warna
Pinta hati saat mentari berganti senja
Kembali untuk mengetuk
“Assalamu’alaikum cinta”
Rumahku bukan istana
Namun seumpama surga

* Sebuah pengandaian. Tulisan ini adalah persembahan dari Kangmasku tersayang.

Sekar melati, tansah wangi sak njering ati




               Berbicara tentang tulusnya hati, bersihnya jiwa, jua murninya tujuan yang tersimpul dalam niat dan tekad. Siapa yang sanggup melihatnya..? dan alat secanggih apa yang mampu mengukurnya....?
Semua berada dalam lingkaran abstrak, kasat mata. Dan mungkin hanya indra jiwa yang sanggup membacanya...
Beragam profesi tersaji dalam hamparan muka bumi ini. Dalam logikanya, semua orang pasti punya kesempatan untuk memilih. Namun dalam kenyataannya, kadang pilihan-pilihan yang berjajar tidak pernah memberikan peluang.
Profesi menjadi guru. Sudah banyak yang menjalaninya. Entah bagaimana rancangan taqdir dan motif sebelumnya hingga menjadikan mereka terdampar dalam profesi itu. Profesi yang tak menjanjikan finansial yang membuaikan.
Guru... bagiku laksana melati. Selalu menebar harum saat ia kuncup, mekar, maupun kering dan pasi.
Sebagaimana sebuah episode dalam perjalanan alur yang panjang. Alur apalagi jika bukan alur kehidupan. Layak kita dapati manusia-manusia pilihan yang dapat kita sematkan satu predikat indah sebagai guru atau pendidik generasi bangsa. Orang jawa mengatakan.... guru adalah sosok yang bisa digugu dan ditiru. Yaitu harus bisa di percaya kata-katanya dan ditauladani segala tingkah lakunya.
Dalam kenangan yang terdekap.....
Bu Min, begitu beliau biasa dipanggil. Nama lengkapnya adalah Siti Aminah. Hingga saat ini beliau masih selau menyapa ramah dan halus saat kami bertemu. Masih seperti bahas guru taman kanak-kanak pada murid-murid kecilnya. Meski sekarang aku sudah menjadi ibu dari dua balita.
“Wah.. mbak Riris...putranya dah besar-besar...”.....
“Iya Bu Min... “ jawabku penuh haru. Seolah kembali mengecap masa manis menjadi murid kecil beliau di masa lampau.
Beliau Bu Min adalah guru yang sabar namun cekatan. Yang aku pandang hebat karena sebuah peristiwa kecil namun kuanggap sebagai peristiwa luar biasa. Saat beliau dengan tanpa jijik membersihkan ingus leleran pilek anak-anak yang bukan lahir dari kandungan beliau. Dan entah kenapa bagaikan sebuah ‘magic’ banyak anak-anak yang lebih mendengar kata-kata anjuran atau larangan dari Bu Min daripada guru-guru yang lain.... entahlah.
Terbitnya kekaguman tak berhenti kala aku menjadi murid kecilnya saja. Seiring waktu yang terus berjalan pelan namun pasti. Berkurangnya usia satu hari per satu hari.... saat sebuah nestapa menjadi kabar petir di siang hari.
“Putrinya Bu Min mendapat musibah....” aku terkejut.
“Ada apa dengan putri beliau...?”..
“Dia diperkosa.... “ oh Tuhan... kenapa ?, putri Bu min itu masih seusiaku waktu menjadi murid kecil beliau. Tega sekali orang itu....
“Cobaan orang baik... bu min sungguh sabar menghadapi semua ini.....aku tak tahu harus bilang apa... kalau sudah terjadi mau bagaimana...?” jawab pembawa kabar itu padaku. Aku tesedu meski tak bisa mengekspresikan dengan tangis pilu.
Mengapa...? kekaguman tak berhenti di ujung waktu. Saat ada semilir lain yang membawa kisah padaku.
“Saat Bu Min  mengandung putrinya yang terakhir beliau menghadapi cobaan yang sangat berat,.. sungguh..”...
“Cobaan apa... tolong ceritakan padaku..!!”... pintaku.
“Bu Min digunjingkan banyak orang karena hamil.... ya hamilnya Bu Min saat suaminya menderita gangguan jiwa. Sering tertawa sendiri dan berbicara sendiri entah ... mungkin tekanan hidup atau rahasia taqdir yang membuat suami Bu Min seperti itu...”...
“Kenapa harus digunjingkan...?” tanyaku tak faham...
“Ya... kenapa Bu Min bisa hamil sementara suaminya seperti itu... apa mungkin hamil oleh orang lain... begitu gunjingan yang ramai terdengar....”...
“Ooo... kejamnya...” kembali aku tesedu dan tak mampu menagis pilu... oh Tuhan.
“Padahal Bu min yang baru saja diangkat sebagai PNS setelah berpuluh tahun mengajar sekarang menjadi tulang punggung keluarga. Beliau masih menghormati dan mencintai suaminya meski dalam keadaan seperti itu....”....
“Meski getir beliau menghadapi gunjingan itu dengan bijak... dan waktu yang membuktikan kesucian beliau... “...
 Bu Min yang berwajah damai dan tak pernah sekalipun terlukis kesedihan dalam pengelihatan kanak-kanakku seolah tetap seperti itu dalam mata dewasaku. Ternyata penuh badai dalam kehidupannya. Aku harus banyak belajar untuk mempunyai jiwa baja seperti Bu Min. Beliau masih menjadi Bu Min berwajah damai di usia senjanya. Tetap berjalan kaki saat pagi berangkat ke gedung taman kanak-kanak tua, satu-satunya di kampung kami.
Guru oh guru.... pengajar segala ilmu kehidupan. Tak hanya terpaku pada orang yang lebih tua dari usiaku sebagai pencari ilmu.
Kadang kudapati kalimat hikmah juga terlahir dari seorang anak kecil dengan mata beningnya. Dengan bahasa apa adanya, jujur tanpa rekayasa....
Saat aku meniti hari di sebuah pondok pesantren salaf. Pernah kudapati kenyataan akan sebuah tradisi yang membuatku jengkel dan menggerutu. Yaitu tradisi antri... antri mandi, mencuci, sekedar lewat bancik (pijakan kaki berjajar membentuk lintasan jalan yang menghubungkan gedung satu dan yang lain di area pesantren...), bahkan seperti meminjam barang-barang pribadi seperti sisir, sendok dan piring. Semua tak luput dari antrian. Dan untuk antrian pinjam inilah yang mebuatku menahan sabar berkali-kali... ya satu yang minjam buntutnya bisa panjang sekali. Di pinjam yang lain lagi, berpindah tangan ... dipinjam yang lain...  begitulah antri yang sebenarnya bisa dinamakan fenomena goshop dengan dalil ‘ullimaa ridhouhu (diketahui pasti keridhoan pemiliknya...) terlanjur membudaya.
Dari antri pinjam yang panjang terlalu sering barang-barangku akhirnya hilang tanpa tahu pengantri nomer berapa yang bisa dimintai pertanggung jawaban... aduh jengkelnya...
Dengan muka kusut kusandarkan punggung di teras kamar.
“Mbak kenapa ?... bete banget sepertinya...” sapa santri kecil tetangga kamarku, Imas Nasibah.
“Bete banget dek.. banyak barang ilang... musti beli lagi dan beli lagi... padahal mbak udah berusaha primpen tapi tetep aja banyak yang ilang... gara-gara antrian... huhh..” curhatku kesal...
“Santai aja Mbak.. segitu aja..” hiburnya ringan. ‘Ah dia masih bocah kecil mana ngerti kalo ortu dirumah kerja banting tulang agar bisa kirim uang sangu anaknya di pesantren’ kilah hatiku
“Anak santri mah semua serba antri... kalo di pondok lum ada barang yang hilang atau kena gatalan... ilmunya lum bisa mantap mbak..hehehe... belajar sabar dan memaafkan biar jadi santri sejati....” apa...?? enak benar dia berkalam. Tapi apa tadi.... belajar sabar dan memaafkan biar jadi santri sejati... wow kata yang bijak sekali. Rasanya tertohok hati ini mendengarnya. Aku memang terlalu memanjakan emosi dan susah bersabar dan memaafkan.
Meskipun dari bibir mungil santri yang lebih junior. Tapi kata-katanya patut kujadikan pijakan berpikir dalam menyikapi arus antrian yang selalu kuanggap menjengkelkan. Terimakasih Dek Imas, andai dapat bertemu dirimu lagi kini....
Begitu banyak yang kukagumi tentang segala yang mengajarkan serpihan ilmu memaknai kehidupan. Tak hanya sosok ragawi bernama manusia. Pun semua makhluk tuhan yang terhampar di muka bumi ini juga bisa kita jadikan guru. Tentu saja dengan pencermatan indra jiwa yang sederhana.
Meski aku jarang bisa melihat pelangi dengan spektrum mejikuhibiniu-nya. Aku tau bahwa ia terbit selepas hujan dan mendung bahkan mungkin guntur dan juga badai. Ya... kenapa Tuhan menyembunyikan matahari dibalik awan kelabu....., mengapa Awan pecah menjadi hujan dan badai, tak peduli pada bumi yang merindu matahari. Sungguh jawabnya merekah saat hujan usai. Saat garis-garis indah mengarsir langit dengan lengkung cantiknya... dia pelangi yang mengabarkan pada udara akan jawaban segala pertanyaan...
Mengapa Tuhan meyembunyikan kebahagiaan, kemenangan, kesuksesan dan semacamnya tapi malah menghadirkan kegagalan, kekalahan, bahkan keterpurukan. Sungguh jika kita terus bertahan mengahadapinya dengan tegar. Pelangi keberhasilan akan datang menyapa pada akhirnya... begitu nasehat guru pelangi yang kusematkan dalam imaji hati.
Dan terlalu banyak fakta alam yang layak dinamakan guru. Yang mana mereka tak pernah menggurui namun kujadikan kiasan pelajaran nurani yang kucerna dalam logika imaji sendiri. Biarlah... siapa yang akan protes..??
Seperti saat ku melihat proses metamorfosa kupu-kupu. Yang bersusah payah keluar dari kepompong... perjuangannya merupakan kebutuhan agar bila saatnya ia akan menjadi indah. Ia akan indah... kerena telah dibuktikan dengan eksperimen. Membantu calon kupu-kupu keluar dari kepompong dengan cara menyobeknya malah membuatnya cacat, sayap indahnya tak bisa tumbuh dengan sempurna. Yah perjuangan itu perlu untuk dapat merasakan dan menghargai kesuksesan.
Guru,... kembali lagi pada masa pesantrenku. Seperti sebuah miniatur negri yang penuh uji untuk sebuah nyali dan prestasi. Pun disana banyak sosok guru yang mencuri pucuk-pucuk kekagumanku.
Tak perlu disebutkan satu persatu. Guru-guru di pesantren tempatku berteduh dulu (PONPES LANGITAN WIDANG TUBAN) adalah berasal dari santri-santri yang sudah lama mondok hingga diminta Kyai (pengasuh) untuk membantu mengajar santri-santri junior dan mengamalkan segala ilmu yang telah dipelajari selama ini.
Ketawadhu’an santri pada gurunya adalah alasan kuat mereka-mereka bisa bertahan di ponpes hingga usia yang mungkin tergolong tidak muda lagi. Mereka terus mengabdi, bahkan tak jarang mereka dipertemukan jodohnya dengan sesama santri senior yang juga diminta menjadi guru. Hingga..... untuk ridho guru dan perjuangan dakwah, maka dalam urusan pasangan hidup  pun mereka -sam’an wa tho’atan- kepada Kyainya.
Sungguh tak ada jaminan finansial dalam pilihan menjadi asatidz asatidzah di pesantren. Karena bisyaroh atau gaji yang diberikan hanya rupiah yang nominalnya tidak sampai 3 lembar uang bergambar mawar merah per bulannya. Ya.. nominal itu bukan gaji impian yang indah. Sebuah ilmu ketawadhu’an mengesampingkan urusan dunia yang lain-lain.
Bagi Ustadz yang sudah menikah dan punya tanggungan keluarga dipinjamkan sepetak rumah dilingkungan pesantren. Namun mereka harus putar otak untuk memenuhi kebutuhan hidup. Banyak dari mereka yang memilih berdagang di sekitar lingkungan pesantren. Ada yang berdagang makanan dan kerupuk. Yang punya cukup modal ada yang mendirikan wartel dan warnet. Ada juga yang menjual jasa penyampulan kulit kitab-kitab agar lebih awet, penulisan kaligrafi dan lain sebagainya.
Dan bahkan ada yang susah dijelaskan dengan logika tentang hikmah tersembunyi sikap taat pada guru.... seorang ustadz sering mendapatkan proyek membuat rancangan gambar pola bangunan masjid layaknya arsitek handal. Padahal beliau tidak pernah sekolah atau kuliah jurusan arsitektur. Hanya berbekal diklat tentang arsitektur yang pernah di adakan di pesantren beberapa tahun yang lampau... subhanallah kan..
Guru bagiku adalah melati. Mewangi sedalam imaji dan sepenuh puji dalam do’a-do’a hati. Setitik asaku ingin menjadi seorang guru, tak diijinkan oleh takdirku selain menjadi guru dari anak-anakku.
# #  #  # # #

Sekuntum do’aku untuk beribu melatiku....
Bint@ al-MamBa
20 juni 2010


Footnote: 

Sekar melati, tansah wangi sak njering ati : bunga melati, selalu harum dalam sepenuh hati
Primpen : teliti
Gatalan : hanya sebuah fenomena penyakit kulit yang mudah menular ke seluruh penghuni     pesantren dimasa lalu, pada masa ini semua lebih higinis dengan segala fasilitas yang semakin diperbaiki.
sam’an wa tho’atan : mendengar dan mentaati...





LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...