Senin, 26 September 2011

WAJAH MERAH


 Cerpenku yang masuk di buku antologi cerpen festival bulan purnama majapahit. Diterbitkan oleh dewan kesenian mojokerto hanya 100 eks dan tidak diperjual belikan.
Silahkan dibaca bila berkenan dan berminat mencari refrensi berupa karya cerita pendek... 
:)







WAJAH MERAH

Siapakah sosok didepanku itu…? Sepertinya tak asing… wajah yang sangat ku kenal.
Wui…tak salah lagi. Itu dia kan!!! Orang yang sering diundang kemana-mana pada acara kawinan, khitanan dan perayaan hari-hari besar Islam. Bahkan sekali waktu dia juga diundang seminar anak kuliahan. Wow, benar-benar hebat ya..
Ahh … keningku terasa berkerut. Ku belum juga ingat siapa ya namanya?
Hmm… Haji… Haji… siapa ya? Ah salah. Kyai Haji … siapa ya? Haji, Karena dia sudah pergi ke tanah suci. Dan, Kyai … aku tak tau siapa yang menjulukinya begitu. Seingatku dia sendiri yang menambah julukan ‘terhormat’ itu dalam setiap ceramahnya, he he he lucu ya…
Uughh.. ku belum ingat juga. Siapa dia? Aha..!! ya ya ya … Dia itu juga seorang calon wakil rakyat. Kata orang-orang disebut Caleg. Fotonya banyak dipasang dimana-mana, di pohon-pohon, di tiang listrik dan bahkan ada juga di spanduk besar yang berdiri diperempatan jalan, weleh weleh..
Tak habis pikir. Berapa uang yang dicurahkan untuk semua itu. Kata orang-orang tidak akan sebanding dengan gaji jabatan yang diperebutkan. Lalu… buat apa dimodali dengan begitu ‘ngotot’? Ya, kata orang-orang lagi ‘ceperan’ nya yang membuat semua jadi ngiler.
He he he … wajah itu tersenyum, memasang tampang semanis mungkin. Merangkai kalimat demi kalimat seindah mungkin. Dia mengurai panjang lebar tentang fadhilah shalat, zakat, puasa, menyantuni anak yatim dan menolong orang fakir. Padahal … terkadang saat dia pulang dari berceramah larut malam, dalam pulas tidur ia mengabaikan shubuhnya. Dengan tenang mengigau “Tuhan… mengertilah sekarang aku sangat ngantuk!!!”. Dan saat pengemis mengetuk pintu nuraninya. Hanya koin nominal terbawah ia berikan pada tangan menadah yang terpaksa membungkus harga diri di dalam kantong yang perih.
Oh… dia sungguh gigih merealisasikan cita-citanya. Yang entahlah, bisa dikatakan sebagai cita-cita, mimpi atau obsesi yang merajai hati. Kebun dan sawah ia gadaikan. Bahkan hampir saja rumah. Kalau saja …
“Jangan Bah … nanti kalau pemilihannya kalah, bisa habis kita …”
“Tapi banyak dukungan buat kita Mi … tinggal jalan sedikit lagi… kalau sukses kan umi juga ikut seneng”.
“Iya kalo jadi, kalau meleset dan Abah kalah, kita bisa Qiamat. Mau tinggal dimana? Kita bisa jadi gelandangan. Aku nggak bisa bayangkan Bah …” Teriakan tak begitu keras itu tiba-tiba berubah menjadi tangisan menghiba..
Ah... Dia sungguh fokus pada satu tujuan di depannya. Seperti berada di atas angin.
Banyak orang mendukungnya. Tapi tak lupa dengan tanda petiknya. “Tak ada yang gratis!!” Semua ada kalkulasinya. Semakin keras suara berkoar teriakkan dukungannya. Maka semakin tebal pula amplop yang harus disiapkan. Dukungan moril banyak. Materiil pun tak sedikit. Sekali lagi dengan tanda petiknya. Imbal jasa “minyak pelicin” bisnis kutil, bila terpilih kelak.
Hingga hari itu tiba.
Si Abah menghiasi malam-malamnya dengan tahajud. Dia suruh Ummi dan seluruh anak-anaknya melakukan hal yang sama. Do’a, dzikir, sholawat, apa saja … seolah mengomando. “Ayo kita keroyok Tuhan..!!!” he he he pedenya.
Berjalan dengan tegap ke sebuah TPS. Dia akan jadi pusat perhatian hari itu. Senyum tersemat sungguh ramahnya.
Quick count marak dilayar kaca. Hitungan cepat oleh beberapa LSM biasanya dekat dari kata tepat.
Berlapis masyarakat. Mulai dari buruh tani sampai saudagar tahu. Dan ABG sampai nenek-nenek lincah. Semua boleh menyalurkan aspirasi. Ada yang menamakan pesta demokrasi. Tapi ada juga yang berkomentar “pesta kok nggak ada makannya …” Lho..?
Jarum detik seperti berjalan di tempat. Semua tegang berkonsentrasi pada hitungan. Apalagi calon-calon yang bersangkutan, panitia KPPS, saksi-saksi, kesemuanya fokus tak mau kecolongan setitikpun kecurangan.
…. Sepuluh … sembilan … delapan … tujuh … enam … lima … empat … tiga … dua … satu… Gubrakkkhghg. Kenyataan menghempas roket yang terlanjur melesat di ketinggian.
“Kita hancur Mi … kita kalah Mi … kita rugi besar Mi …” kata-kata itu hanya disambut dengan tangis.
Lutut terasa bergetar. Boleh dikata dunia berhenti berputar.
Fenomena … layar kaca mendapat bahan empuk untuk disajikan dalam berita.
Lihat saja …
“Ada caleg yang terguncang jiwanya mencoba gantung diri dengan tanpa busana …”
Hiyyy ngeri …
Ada lagi,
“RSJ persiapkan beberapa ruang VIP untuk mengantisipasi lonjakan caleg yang gagal dan berubah mental …”
He he he, pintar sekali mengintai peluang mengejar rupiah.
Ada juga,
“Bantuan pada sebuah organisasi di tarik kembali karena si caleg tidak mendapat suara yang di minta …”
Makin aneh saja …
Si Abah masih tenggelam dalam kebisuan sejak peristiwa itu. Menghitung satu persatu yang telah ia gadaikan. Dengan apa menebusnya? Belum lagi urusan muka. Yang bingung akan diletakkan dimana.
Oooh … meski aku belum ingat secara pasti. Aku sungguh kasihan padanya. Dia pasti sangat menderita.
“Katanya Tuhan Maha Mendengar. Kenapa permintaanku tidak dikabulkan … padahal aku meminta nggak gratisan. Aku juga keluar modal … Buanyyakk sekali …”
Wah semakin menyedihkan. Teriakan hatinya seperti jelas ku dengar. Aku mulai heran??
“Sujud-sujud ku sudah sangat banyak. Belum lagi tasbih, tahmid dan sholawatku tak terhitung saat itu … Tapi kenapa Tuhan?”
Aku semakin terharu mendengarnya. Meski disisi lain aku ingin tertawa. Disaat ada maunya dia sibuk bersujud. Kemarin kemana saja? Ha ha ha … hiks.
Aaaaaggghhh …!!! Dia berteriak tak terkendali. Seperti berusaha membuang sesak dalam dadanya. Dan seakan tak puas dia membentur-benturkan kepalanya ke tembok.
Auwwff … Kenapa aku merasakan sakitnya?
“Tok…tok…Bah…Abah buka pintu Bah, Jangan dikunci Bah. Biarkan kami masuk …!!” pintu digedor-gedor dan banyak suara berteriak di luar.
Dia membenturkan kepalanya semakin keras dan …
Aww…. Semakin sakit. Wah, ini sungguh tak bisa dibiarkan. Siapapun dia, harus ku hentikan.
“Berhenti..!! BERHENTI…!” teriakku padanya. Tapi dia sama sekali tak peduli.
“Cukup … Berhentilah!”teriakanku semakin keras.
“Bah… buka pintu Bah..!!” teriakan diluar pintu pun semakin keras.
Augghh… Semakin sakit. Saat dia semakin keras membenturkan kepalanya … Aku tak tahan lagi. Aku segera berlari ke arahnya…
“Hentikan …!!!” ,…
“PRRRAKGHKGH …” sebuah cermin besar pecah berkeping-keping. Rasa sakit dan perih tak hanya di kepala tapi di seluruh tubuh. Dan … dimana dia? Sosoknya tiba-tiba menghilang.
“Abah…Abah… kenapa Abah melakukan ini Bah … Istighfar Bah … Istighfar!!!” orang-orang itu berhasil mendobrak pintu dan masuk. Mereka mengerumuniku dan menangis.
“Istighfar Bah … Istighfar….!”
Serpihan-serpihan kecil cermin yang pecah mulai dibersihkan dari wajahku. Merah, perih oleh darah.
                                #   #    #     #     #    #

Bint@ al-mamBa

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...