Cerpen pernah dimuat di annida online.
“Sayang banget ya Bu, pohon kluweh belakang rumah Bu Iffah ditebang, jadi nggak bisa sering-sering dapat buah kluweh gratis untuk disayur lodeh... hehehe” Ibuku tertawa.
”Ongkong-ongkong bolong... adu merak
adu sapi... mekaro ndoke siji... nek gak mekar tak gepuki... thok thok byarrr!!!”
Suasana
di luar rumah terdengar meriah. Permainan jaman dahulu yang masih suka
didendangkan sampai sekarang... di kampungku. Di salah satu sudut kota kecil di
wilayah Jawa timur. Hmmm... agak berat rasanya menyebutkan nama kota tercintaku
yang semenjak kasus pembunuhan berantai Ryan, penjagal keren yang memutilasi
belasan korban menjadi gosip nasional, seolah nama kotaku ikut semerbak seharum
bangkai (klik... pasti sudah dapat ditebak apa nama kotaku bukan?).
Suasana
yang sudah dimeriahkan anak-anak kecil bertambah ramai dengan datangnya mobil
pick up yang membawa perlengkapan tenda dan dekorasi pengantin.
Hari
ini memang sedang ada acara hajatan di rumah tetanggaku, Ibu Iffah yang
menikahkan putri pertamanya.
Sudah
tradisi di kampung. Biarpun di kota yang mulai berkembang ini sudah bermunculan
ketering dan toko kue yang harganya bersaing. Bila ada hajatan kebanyakan orang
lebih suka membuat sendiri masakan dan kue-kuenya. Dengan minta bantuan sanak
kerabat dan tetangga. Secara tidak langsung selain lebih menghemat biaya, dalam
acara seperti itu kerabat yang jarang bertemu bisa berkumpul dalam beberapa
hari sembari bersibuk-sibuk membuat aneka makanan demi terselenggaranya acara.
Di
dalam rumah terlihat tidak kalah meriah dengan yang di luar. Di bagian dapur
ada Yu Saroh yang disewa khusus untuk menanak nasi dengan panci jumbonya. Ada
Yu Sri yang juga disewa khusus untuk mencuci piring. Kedua tugas tersebut
adalah yang paling berat dan jarang ada yang mau menjadi relawan.
Di
ruang tengah, samping rumah dan hampir semua sudut difungsikan sedemikian
rupa. Ada sekumpulan orang yang membuat kue mendut, brubi, ketan salak dan
lain-lain. Sedangkan aku, sebagai sinoman[1]
muda kebagian tugas sebagai ‘laden’[2].
Menerima bawaan dari tamu, mengantarkan makanan dan minuman serta sedikit ber’abang-abang
lambe’[3] mempersilahkan
hidangan yang tersedia.
Belum
banyak tamu yang datang. Aku ikutan nimbrung sekumpulan orang yang sedang
membungkus kue mendut. Kelapa muda dan gula dikepal-kepal membentuk bulat
dinamakan enten-enten. Dibungkus dengan adonan tepung ketan lalu
dibungkus lagi dengan daun pisang.
“Eh, Sumi
yang hamil sampai 10 bulan itu sekarang sudah melahirkan lho...” Bu Nur adiknya
Bu Iffah membuka pembicaraan baru setelah topik sebelumnya tertinggal olehku.
“Iya..aku
sudah tau Bu Nur, kemarin aku nengok anaknya perempuan, cantik...” sahut
Hartatik teman sebayaku.
“Iya
tapi lahirnya dioperasi... habis uang
banyak.. itu tuh akibatnya dinasehati orang tua nggak percaya... waktu hamil
dulu pernah menjahit nambal bantal dan sarung. Waktu aku nasehati nggak mau
dengar, amit-amit jabang bayi..” Bu Nur berujar dengan penuh semangat. Hartatik
bengong, merasa nggak nyambung.
“Apa
hubungannya Bu?” tanyaku disambung anggukan dari Hartatik.
“Iya
orang hamil itu pantangan menjahit yang asalnya bolong menjadi buntu... karena
sama saja membuntu jalan keluarnya bayi, kalian yang masih perawan perawan,
ingat ingat nanti kalau hamil jangan sampai menjahit begitu kalau tidak ingin
seprti Sumiasih itu” panjang kali lebar Bu Nur menjaelaskan dan memberi
wejangan dengan penuh keyakinan.
“Perasaan
menurut cerita Sumi itu dia dioperasi karena masalah pinggul sempit. Fisiknya
yang kurus dan pendek memang beresiko tidak bisa melahirkan normal. Bukan
karena jalan keluarnya bayi jadi buntu... huh, benar-benar nggak masuk akal!!!” tentu saja argumenku tadi hanya
tersimpan di hati .Kalau terucap bisa-bisa lanjutan dari Bu Nur jadi begini....
“Ooo...dibilangin
orang tua kok ngeyel[4]. Dasar
bla bla bla..” he he he aku tertawa dalam hati melihat Hartatik manggut-manggut
seakan benar-benar mencatat petuah Bu Nur itu dalam agenda otaknya.
“Ssst...Lis...”
tiba-tiba ada Bu Iffah menepuk bahuku seraya mengarahkan telunjuk pada beberapa
tamu. Tanpa bicara aku mengerti apa yang dimaksudkan Bu Iffah. Segera tas dan
ember bawaan tamu kubawa ke belakang.ke sebuah sudut kamar khusus yang
disediakan Bu iffah. Kebanyakan ibu-ibu membawa beras, mie kering, gula dan
kecap. Dan telah disediakan tempat sendiri-sendiri untuk itu.
Tapi
ada sesuatu yang menarik perhatianku. Sepertinya di setiap wadah ada terselip
daun buah kluweh. Buah sejenis nangka yang apabila masih muda dibuat sayur lodeh
sangat enak rasanya.
'Aneh...!' pikirku.
“Lis, cepat
bawa kesini tas nya!!” suara Ibuku dari dapur membuyarkan keherananku.
“Tamu
sudah mulai banyak kok malah nggak cekatan..” gerutu Ibu sambil memasukkan
tatanan nasi yang telah dipersiapkan.
Fyuhhh...
semakin senja semakin ramai saja suasana. Tamu Ibu-ibu semakin banyak yang
datang. Yang di dapur juga semakin sibuk merampungkan masakan dan kue-kue yang
belum matang.
“Lis....
ayo pamit sholat ‘ashar dulu!” ajak Ibu... nih dia sikap tegas Ibu yang aku
kagumi. Di saat orang lain terkadang sembunyi di balik kerepotan untuk alasan
meninggalkan sholat. Ibu tidak pernah meninggalkan kewjiban yang satu itu. Bahkan
ketika orang lain kadang menganggapnya egois, waktu sangat repot malah tidak
membantu.
“Gusti
ALLAH Cuma minta waktu 5 kali sehari untuk ditepati sebagai bukti pengabdian
hambanya... jangan pernah ditinggalkan hanya karena urusan manusia yang tak
pernah ada habisnya.” begitu nasehat Ibu sambil menggandengku pulang. Nasehat
yang sebenarnya sudah sangat sering diulang-ulang.
Ah, ibuku.
**********
Jam
sepuluh malam.
Capek, capek
sekali.
Padahal
rangkaian acara masih separuh terlewati.Ba’da ‘isya tadi adalah acara ijab
qobul pengantin. Disaksikan oleh tetangga sekitar yang diundang. Penduduk sini
menamakan prosesi tersebut dengan nama ‘acara ngaturi’ sedangkan esok hari
diadakan lagi resepsi temu mantennya.
Wah, pokoknya
acara pernikahan di kampungku merupakan hajatan paling meriah yang harus
dipersiapkan dengan matang.
“Belum
tidur Nduk?” tanya Ibu. Beliau ternyata baru pulang dari rumah Bu Iffah
setelah menyelesaikan bolu pandan untuk acara besok.
“Belum
Bu, badan capek tapi belum bisa tidur juga...” jawabku.
“Ya
sudah pijitin kaki Ibu saja!” Gllekkk, waduuh kenapa tadi nggak tidur saja.
Hmmm...
meski agak menggerutu di hati tapi kukerjakan juga permintaan ibu. Kasihan, sepertinya
beliau lebih capek dari pada aku.
Beginilah
tenggang rasa dikampungku. Tetangga dekat tanpa diminta akan menyumbang peran
besar membantu keluarga yang punya hajat. Bila tidak ada udzur maka tetangga
kiri kanan akan menjadi seksi sibuk. Dan pasti juga kebagian jatah capek, seperti
ibuku saat ini.
Sepercik
ingatan peristiwa siang tadi menghampiri pikiranku. Tentang daun kluweh yang
disudut kamar Bu Iffah.
“Bu...tadi
di wadah beras Bu Iffah ada yang aneh deh. Seperti deselipi daun
kluweh.. wadah buat gula, buat mie
juga ada daun kluwehnya?” spontan kuberondong pertanyaan pada Ibuku.
Dan
sembari menahan kantuk Ibuku tertawa. Kok??
“Lis... Lilis, bahkan
di dapur tadi kayu yang buat masak di tungku itu juga kayu pohon kluweh.”
cerita Ibu. Kantuknya perlahan hilang.
Tanda
tanya masih bersarang di kepalaku.
“Kenapa
begitu Bu?” Ibu kembali tertawa mendengar pertanyaanku.
“Menurut
cerita Bu Iffah sih begini.. kata orang orang tua dahulu, tetek bengek
kluweh yang disisipkan dalam hajatan itu bisa membuat persediaan bahan makanan
untuk acara agar berlebih tidak sampai kekurangan... kluweh agar bisa luweh-luweh[5] asal
bahasanya” ibu menjelaskan panjang lebar. Aku mengangguk faham dan menemukan
alasan untuk tersenyum geli.
“Emangnya
kalau menyediakan beras 10kg tapi ngundang 200 orang terus di kasih daun kluweh
nantinya bisa luweh-luweh Bu?” Tanyaku. Ibu kembali tertawa tanpa menjawab.
Mitos
yang terlanjur mengakar meski jelas-jelas jauh dari logika masih diyakini
dengan sepenuh jiwa.
“Sayang banget ya Bu, pohon kluweh belakang rumah Bu Iffah ditebang, jadi nggak bisa sering-sering dapat buah kluweh gratis untuk disayur lodeh... hehehe” Ibuku tertawa.
Tiba-tiba
kami tidak merasa mengantuk. Saling bercanda seolah bisa mengobati rasa capek.
Ah, Ibuku.
*************
Keesokan
hari....
Suasana
makin subuk.Bertepatan hari libur sekolah. Aku tak punya alasan tidak kembali
ke rumah Bu Iffah untuk bantu-bantu, karena pasti aku juga libur mengajar.
Hampir
jam sepuluh. Mentari mulai bertemen dengan gerah dan keringat. Saatnya acara
temu manten. Karena rombongan mempelai pria sudah tiba.
Para
penabuh terbang[6]
pun mulai memainkan alat musiknya. Mengiringi sang vokalis melantunkan sholawat
nabi.
Biasanya
pada moment itu, para seksi dapur sama mengerubuti pintu, jendela dan celah
mana saja yang bisa digunakan melihat sepasang mempelai yang berkostum raja
ratu sehari itu dipertemukan. Moment yang selalu membuat iri siapa saja, apalagi
yang belum menemukan pasangan jiwa.
Di
tengah kerumunan, terdengar Bu Nur yang sedang serius memberikan petuah pada
kakaknya.
“Waktu
manten temu, Ibune ndak boleh lihat... bisa membuat iri kata orang tua dulu...
nanti kalau mantennya mbobot[7]
ibune bisa ikut mbobot bareng...” Bu Iffah mengangguk pasti.
Kembali
aku tergelitik untuk tersenyum geli. ’Mitos apalagi ini..?” lha kalau ibunya
penganten itu janda, mana bisa jadi ikut hamil?. Suami Bu Iffah kan sudah lama
meninggal... waduh, makin aneh saja...
Dan
acara berjalan lancar dari awal hingga akhir. Aku kebagian tugas menjadi
moderator acara yang lebih banyak duduk manis didepan. Tanpa tahu kesibukan bagian
dapur.
“Akhirnya...”
Ibu menyelonjorkan kaki tepat di depanku. Kode yang sangat kumengerti, pasti
pijat lagi,...
“Bagaimana
akhirnya Bu? berasnya Bu Iffah jadi luweh-luweh?” tanyaku usil.
Ibu
tersenyum...
“Lihat
saja beras kita di dapur! semua lari kesana dipijam Bu Iffah".
”
TERNYATA!!
“Assalamu’alaikum...”
Bu Nur ngelonyor masuk sebelum kami sempat menjawab salam. Karena memang
pintunya kami biarkan terbuka untuk mengijinkan angin sejuk masuk lebih banyak
pada siang yang gerah ini.
“Ini
jajan manten Lis... bawaan dari menten lanang[8].
Dibagi sedikit sedikit biar rata, buat kamu ini, biar ketularan cepat jadi
manten...” mantap sekali Bu Nur berucap. Sindiran khas yang sudah sangat sering
kudengar. Kembali hatiku memprotes.’Apa hubungannya kue manten dengan lekas jadi
maten..?’
“Lha
kalau aku yang makan bisa cepet jadi manten lagi dong Yu Nur...” ibuku membalas
kata-kata Bu Nur dengan candaan khasnya. Kembali hatiku melukis bunga untuk
dia.
Ah, Ibuku.
************
mitos ibu hamil gak boleh jahit ini berlaku gak ya kalau dia seorang penjahit, mbak?
BalasHapusLha kalau kata bulek suamiku sih, gak boleh jahit bantal.
terus kalau jahit bikin kreasi flanel gt gak boleh juga? kadang mitos gak masuk akal tp adakalanya terbukti di luar nalar manusia.
Kalau menurut catatan medis, pinggul sempit memang kudu operasi. hamil ke berapapun, selamanya bakalan operasi :)
hehe ga tau jg mbak ivon.. jikapun terbukti kita ga usah percaya kalau itu berhubungan. lha wong di lain orang ga terbukti.. pst cuma kebetulan kersane gusti Allah seperti itu bukan.. lbh baik hati2 drpd mendekati syirik :)
Hapusmakasih sdh mampir
Begitulah jeng. Cerita rakyat dan mitos aneka larangan. Ada hal yang bisa kita logikan.
BalasHapus1. gadis jangan duduk ditengah pintu nanti yang nglamar akan balik. Logikanya : duduk ditengah pintu pasti menghalangi lalu lintas manusia dan barang.
2. Jangan menyapu malam hari, nanti dilamar laki-laki brewok. Logikanya: nyapu malam hari takutnya nggak bersih, maklum jaman dulu belum ada listrik.
3. Jangan duduk di atas bantal, nanti bisulen. Logikanya: bantal untuk kepala bukan untuk bokong.
Dalam acara mantenan juga ada hiasan daun alang-alang, daun kluwih di teropnya agar tak ada alangan dan rejekinya luwih-luwih. Juga ada tebu, anteping kalbu.
Masih banyak lagi kan.
Salam hangat dari Surabaya
bener pakde, kita melogikannya saja jika tak bisa menghindar untuk menjalaninya.. bebaskan dr ikut percaya bahwa sebab akibat itu memang benar krn berhubungan mistis.. karena dikhawatikan mendekati syirik (sebagaimana percaya banget bahwa makan jajan manten bisa lekas jadi manten.. lalu maruk makannya hehe.. jodoh di tangan Allah bukan, bukan disebabkan hanya pada kue..)
Hapussalam matur suwun jg dr jombang pakde :)
Menghapus mitos bisa kita mulai dari diri sendiri. sebab sulit untuk merubah apa yang sudah lama dipercayai oleh masyarakat. tapi kalau kita sadar semua hanya mitos yg jatuh pada kesyirikan, lbh baik merubah sikap diri sendiri saja.
BalasHapusbener mbak.. saya bermaksud mengajak menghindari terlalu percaya dgn mitos2 tersebut lwt fiksi :)
Hapusmakasih sdh mampir
Aneh2 saja mitos yang beredar di masyarakat ya. Banyak yang gak nyadar bahwa bisa2 syirik jadinya :(
BalasHapusPsst... turut melukis bunga untuk ibunya... :)
iya aneh...
Hapusmakasih sdh turut melukis bunga :)
saya kok nggak dibagi mbak, biar cepet nikah #eh
BalasHapushehe.. cuman fiksi lho
Hapus