Cerpen anak pernah dimuat di koran berani edisi 19-21 oktober 2012
Pipin
dan Runai terbang bersama-sama. Terbang tidak terlalu tinggi di atas hamparan
rumput di lapangan dekat persawahan.
Musim
hujan di pagi hari itu sangat cerah sekali. Dua capung bersayap tipis sedang asyik
bermain kejar-kejaran. Kadang mereka juga didatangi beberapa teman lainnya. Sesama
capung yang sama bermain. Terbang diantara rumput-rumput yang luas.
“Awas,
Runai! jangan terlalu dekat dengan tempat bermainnya anak-anak. Sebentar lagi
mereka pasti akan bermain bola di sekitar situ...” teriak Pipin mengingatkan
sahabatnya.
“Ah
tidak apa-apa kok. Aku bisa terbang dan berkelit dengan cepat. Lagipula mereka
belum datang, pasti mereka malas bermain disini karena banyak tanah yang becek.“
Jawab Runai tidak memperhatikan nasehat Pipin. Dia merasa mampu menjaga diri
karena bisa terbang cepat dan jago berkelit.
“Tapi
hati-hatilah! anak-anak itu cerdik. Kalau kita tertangkap, mereka akan mengikat
ekor kita dengan tali serat pisang. Dan kita akan jadi barang mainan mereka.
Percayalah Runai! jangan sampai kau tertangkap nanti...” Pipin masih khawatir.
Dia berusaha mengajak Runai untuk menjauh dari pinggir lapangan yang kadang
dipakai beberapa anak untuk bermain menangkap capung.
“Baiklah,
Runai, aku pergi ke tempat lain. Jagalah dirimu ya!” setelah sahabatnya tidak
mau diajak akhirnya Pipin pergi menjauh ke semak-semak didekat sawah. Bersama
capung-capung lain yang ingin selamat dari tangkapan anak-anak nakal.
Sebentar
kemudian. Datanglah sekelompok anak-anak. Salah satu dari mereka membawa bola
di tangannya.
“Tempatnya
banyak yang becek, Rud. Aku malas kalau mau main sepak bola “ ucap Agus. Dia
paling takut bermain di tempat yang kotor, Mamanya pasti marah kalau melihat
dia pulang dengan baju kotor.
“Terus
kita main apa dong..? “ tanya Rudi. Anak yang paling suka berlari dan jarang
mau diam itu terlihat bingung. Tidak enak sekali membayangkan hari libur ini
hanya diisi dengan permainan yang tidak seru.
“Bagaimana
kalau kita main masak-masakan...!” ajak Santi. Teman-temannya yang lelaki
cemberut dan menggelengkan kepala.
“Nangkap
capung saja yuk !” usul Andi. Kemudian disetujui semua teman-temannya.
Bermain
tangkap capung lumayan disukai anak-anak. Semakin susah ditangkap mereka akan
semakin penasaran dan terus mengejar capung yang diincar.
Rudi
yang sedang mengendap-endap dibelakang seekor capung merasa kesal. Karena
tinggal beberapa centi hampir bisa menangkap ternyata si capung dengan lincah
berkelit dan terbang.
“Hahahaha...
ternyata Rudi kalah cerdik ya dengan si capung...” Andi tertawa. Sementara Rudi
geram karena merasa diejek.
“Hap...”
setelah beberapa kali gagal akhirnya Rudi berhasil menangkap seekor capung yang
sejak tadi gesit berkelit mempermainkannya.
“Horeeeee
akhirnya kena juga kau.... hahahaha..” Rudi tertawa gembira. Semua temannya
menghampiri dan ikut gembira atas keberhasilan Rudi. Agus segera mencari serat
pisang untuk diikatkan pada ekor capung. Capung dibiarkan terbang namun
kemudian ditangkap kembali dengan mudah karena ekornya sudah bertambah panjang
dengan tali serat pisang.
Dialah
Runai. Capung yang merasa dirinya cukup pintar untuk menghindar dari anak-anak.
Dan tidak mendengarkan nasehat dari Pipin sahabatnya. Dia kini menangis sedih
namun tidak bisa didengar oleh manusia. Dia meronta tapi tak pernah berhasil.
Ekornya terlanjur di ikat dengan tali serat pisang. Secepat apapun dia terbang,
anak-anak itu dengan mudah bisa menangkapnya kembali. Sementara itu Pipin yang
melihat Runai dari jauh. Disekitar semak-semak dekat sawah hanya bisa bersedih
namun tidak berani menolong.
“Kasihan
dia Gus... kita lepaskan yuuk...” ajak Santi mulai merasa kasihan melihat
capung permainan mereka.
“Ah
lagi seru nih... “ Agus dan Andi tak menghiraukan ucapan Santi. Bersama
beberapa anak lain mereka masih asyik mempermainkan capung yang ditangkap Rudi.
Setelah mereka bosan akhirnya dilepas juga capung yang malang itu.
Sementara
itu Runai segera terbang menjauh dan mencari sahabatnya Pipin untuk meminta
maaf karena tidak mendengarkan nasehat temannya itu. Ia menangis meskipun telah
bebas dari tangan anak-anak tetap saja Runai tidak bisa melepaskan ikatan serat
pisang pada ekornya.
“Sabarlah
teman, maaf aku tak punya jari yang bisa membantumu melepas ikatan itu. Tunggu
saja sampai serat pisang itu kering dan lepas dengan sendirinya” ucap Pipin
akhirnya.
Runai
sangat menyesal dan berjanji di lain waktu akan lebih berhati-hati dan
mendengarkan nasehat sahabatnya. Sepandai-pandai dia terbang dan berkelit jika
terlalu sombong dan menyepelekan bahaya pasti akan mendapatkan celaka juga.
Kejadian itu merupakan pelajaran berharga bagi Runai dan teman-temannya.
*** *** ***
bagus cerpennya mbak, aku baru sekali nulis cerpen anak. tapi buat konsumsi sendiri. belum pede kirim ke media :D
BalasHapusayo mbak pede aja lagi... saya juga cuma modal nekat kok hehe
BalasHapussemangaat :)