Jumat, 30 November 2012

CAPUNG DAN TALI SERAT PISANG.


Cerpen anak pernah dimuat di koran berani edisi 19-21 oktober 2012



Pipin dan Runai terbang bersama-sama. Terbang tidak terlalu tinggi di atas hamparan rumput di lapangan dekat persawahan.

Musim hujan di pagi hari itu sangat cerah sekali. Dua capung bersayap tipis sedang asyik bermain kejar-kejaran. Kadang mereka juga didatangi beberapa teman lainnya. Sesama capung yang sama bermain. Terbang diantara rumput-rumput yang luas.

“Awas, Runai! jangan terlalu dekat dengan tempat bermainnya anak-anak. Sebentar lagi mereka pasti akan bermain bola di sekitar situ...” teriak Pipin mengingatkan sahabatnya.

“Ah tidak apa-apa kok. Aku bisa terbang dan berkelit dengan cepat. Lagipula mereka belum datang, pasti mereka malas bermain disini karena banyak tanah yang becek.“ Jawab Runai tidak memperhatikan nasehat Pipin. Dia merasa mampu menjaga diri karena bisa terbang cepat dan jago berkelit.

“Tapi hati-hatilah! anak-anak itu cerdik. Kalau kita tertangkap, mereka akan mengikat ekor kita dengan tali serat pisang. Dan kita akan jadi barang mainan mereka. Percayalah Runai! jangan sampai kau tertangkap nanti...” Pipin masih khawatir. Dia berusaha mengajak Runai untuk menjauh dari pinggir lapangan yang kadang dipakai beberapa anak untuk bermain menangkap capung.

“Baiklah, Runai, aku pergi ke tempat lain. Jagalah dirimu ya!” setelah sahabatnya tidak mau diajak akhirnya Pipin pergi menjauh ke semak-semak didekat sawah. Bersama capung-capung lain yang ingin selamat dari tangkapan anak-anak nakal.


Sebentar kemudian. Datanglah sekelompok anak-anak. Salah satu dari mereka membawa bola di tangannya.

“Tempatnya banyak yang becek, Rud. Aku malas kalau mau main sepak bola “ ucap Agus. Dia paling takut bermain di tempat yang kotor, Mamanya pasti marah kalau melihat dia pulang dengan baju kotor.

“Terus kita main apa dong..? “ tanya Rudi. Anak yang paling suka berlari dan jarang mau diam itu terlihat bingung. Tidak enak sekali membayangkan hari libur ini hanya diisi dengan permainan yang tidak seru.

“Bagaimana kalau kita main masak-masakan...!” ajak Santi. Teman-temannya yang lelaki cemberut dan menggelengkan kepala.

“Nangkap capung saja yuk !” usul Andi. Kemudian disetujui semua teman-temannya.

Bermain tangkap capung lumayan disukai anak-anak. Semakin susah ditangkap mereka akan semakin penasaran dan terus mengejar capung yang diincar.

Rudi yang sedang mengendap-endap dibelakang seekor capung merasa kesal. Karena tinggal beberapa centi hampir bisa menangkap ternyata si capung dengan lincah berkelit dan terbang.

“Hahahaha... ternyata Rudi kalah cerdik ya dengan si capung...” Andi tertawa. Sementara Rudi geram karena merasa diejek.

“Hap...” setelah beberapa kali gagal akhirnya Rudi berhasil menangkap seekor capung yang sejak tadi gesit berkelit mempermainkannya.

“Horeeeee akhirnya kena juga kau.... hahahaha..” Rudi tertawa gembira. Semua temannya menghampiri dan ikut gembira atas keberhasilan Rudi. Agus segera mencari serat pisang untuk diikatkan pada ekor capung. Capung dibiarkan terbang namun kemudian ditangkap kembali dengan mudah karena ekornya sudah bertambah panjang dengan tali serat pisang.

Dialah Runai. Capung yang merasa dirinya cukup pintar untuk menghindar dari anak-anak. Dan tidak mendengarkan nasehat dari Pipin sahabatnya. Dia kini menangis sedih namun tidak bisa didengar oleh manusia. Dia meronta tapi tak pernah berhasil. Ekornya terlanjur di ikat dengan tali serat pisang. Secepat apapun dia terbang, anak-anak itu dengan mudah bisa menangkapnya kembali. Sementara itu Pipin yang melihat Runai dari jauh. Disekitar semak-semak dekat sawah hanya bisa bersedih namun tidak berani menolong.

“Kasihan dia Gus... kita lepaskan yuuk...” ajak Santi mulai merasa kasihan melihat capung permainan  mereka.

“Ah lagi seru nih... “ Agus dan Andi tak menghiraukan ucapan Santi. Bersama beberapa anak lain mereka masih asyik mempermainkan capung yang ditangkap Rudi. Setelah mereka bosan akhirnya dilepas juga capung yang malang itu.

Sementara itu Runai segera terbang menjauh dan mencari sahabatnya Pipin untuk meminta maaf karena tidak mendengarkan nasehat temannya itu. Ia menangis meskipun telah bebas dari tangan anak-anak tetap saja Runai tidak bisa melepaskan ikatan serat pisang pada ekornya.

“Sabarlah teman, maaf aku tak punya jari yang bisa membantumu melepas ikatan itu. Tunggu saja sampai serat pisang itu kering dan lepas dengan sendirinya” ucap Pipin akhirnya.

Runai sangat menyesal dan berjanji di lain waktu akan lebih berhati-hati dan mendengarkan nasehat sahabatnya. Sepandai-pandai dia terbang dan berkelit jika terlalu sombong dan menyepelekan bahaya pasti akan mendapatkan celaka juga. Kejadian itu merupakan pelajaran berharga bagi Runai dan teman-temannya.
***  *** ***


2 komentar:

  1. bagus cerpennya mbak, aku baru sekali nulis cerpen anak. tapi buat konsumsi sendiri. belum pede kirim ke media :D

    BalasHapus
  2. ayo mbak pede aja lagi... saya juga cuma modal nekat kok hehe
    semangaat :)

    BalasHapus

Komentar kamu adalah penyambung silaturrahmi kita, maka jangan ragu meninggalkan jejak :)

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...