Minggu, 25 November 2012

HIKAYAT BUAH KLUWEH

Cerpen pernah dimuat di annida online.


            ”Ongkong-ongkong bolong... adu merak adu sapi... mekaro ndoke siji... nek gak mekar tak gepuki... thok thok byarrr!!!”

Suasana di luar rumah terdengar meriah. Permainan jaman dahulu yang masih suka didendangkan sampai sekarang... di kampungku. Di salah satu sudut kota kecil di wilayah Jawa timur. Hmmm... agak berat rasanya menyebutkan nama kota tercintaku yang semenjak kasus pembunuhan berantai Ryan, penjagal keren yang memutilasi belasan korban menjadi gosip nasional, seolah nama kotaku ikut semerbak seharum bangkai (klik... pasti sudah dapat ditebak apa nama kotaku bukan?).

Suasana yang sudah dimeriahkan anak-anak kecil bertambah ramai dengan datangnya mobil pick up yang membawa perlengkapan tenda dan dekorasi pengantin.


Hari ini memang sedang ada acara hajatan di rumah tetanggaku, Ibu Iffah yang menikahkan putri pertamanya.

Sudah tradisi di kampung. Biarpun di kota yang mulai berkembang ini sudah bermunculan ketering dan toko kue yang harganya bersaing. Bila ada hajatan kebanyakan orang lebih suka membuat sendiri masakan dan kue-kuenya. Dengan minta bantuan sanak kerabat dan tetangga. Secara tidak langsung selain lebih menghemat biaya, dalam acara seperti itu kerabat yang jarang bertemu bisa berkumpul dalam beberapa hari sembari bersibuk-sibuk membuat aneka makanan demi terselenggaranya acara.

Di dalam rumah terlihat tidak kalah meriah dengan yang di luar. Di bagian dapur ada Yu Saroh yang disewa khusus untuk menanak nasi dengan panci jumbonya. Ada Yu Sri yang juga disewa khusus untuk mencuci piring. Kedua tugas tersebut adalah yang paling berat dan jarang ada yang mau menjadi relawan.

Di ruang tengah, samping rumah dan hampir semua sudut difungsikan sedemikian rupa. Ada sekumpulan orang yang membuat kue mendut, brubi, ketan salak dan lain-lain. Sedangkan aku, sebagai sinoman[1] muda kebagian tugas sebagai ‘laden’[2]. Menerima bawaan dari tamu, mengantarkan makanan dan minuman serta sedikit ber’abang-abang lambe’[3] mempersilahkan hidangan yang tersedia.

Belum banyak tamu yang datang. Aku ikutan nimbrung sekumpulan orang yang sedang membungkus kue mendut. Kelapa muda dan gula dikepal-kepal membentuk bulat dinamakan enten-enten. Dibungkus dengan adonan tepung ketan lalu dibungkus lagi dengan daun pisang.

“Eh, Sumi yang hamil sampai 10 bulan itu sekarang sudah melahirkan lho...” Bu Nur adiknya Bu Iffah membuka pembicaraan baru setelah topik sebelumnya tertinggal olehku.
“Iya..aku sudah tau Bu Nur, kemarin aku nengok anaknya perempuan, cantik...” sahut Hartatik teman sebayaku.
“Iya tapi lahirnya dioperasi...  habis uang banyak.. itu tuh akibatnya dinasehati orang tua nggak percaya... waktu hamil dulu pernah menjahit nambal bantal dan sarung. Waktu aku nasehati nggak mau dengar, amit-amit jabang bayi..” Bu Nur berujar dengan penuh semangat. Hartatik bengong, merasa nggak nyambung.

“Apa hubungannya Bu?” tanyaku disambung anggukan dari Hartatik.
“Iya orang hamil itu pantangan menjahit yang asalnya bolong menjadi buntu... karena sama saja membuntu jalan keluarnya bayi, kalian yang masih perawan perawan, ingat ingat nanti kalau hamil jangan sampai menjahit begitu kalau tidak ingin seprti Sumiasih itu” panjang kali lebar Bu Nur menjaelaskan dan memberi wejangan dengan penuh keyakinan.

“Perasaan menurut cerita Sumi itu dia dioperasi karena masalah pinggul sempit. Fisiknya yang kurus dan pendek memang beresiko tidak bisa melahirkan normal. Bukan karena jalan keluarnya bayi jadi buntu... huh, benar-benar nggak masuk akal!!!”  tentu saja argumenku tadi hanya tersimpan di hati .Kalau terucap bisa-bisa lanjutan dari Bu Nur jadi begini....

“Ooo...dibilangin orang tua kok ngeyel[4]. Dasar bla bla bla..” he he he aku tertawa dalam hati melihat Hartatik manggut-manggut seakan benar-benar mencatat petuah Bu Nur itu dalam agenda otaknya.

“Ssst...Lis...” tiba-tiba ada Bu Iffah menepuk bahuku seraya mengarahkan telunjuk pada beberapa tamu. Tanpa bicara aku mengerti apa yang dimaksudkan Bu Iffah. Segera tas dan ember bawaan tamu kubawa ke belakang.ke sebuah sudut kamar khusus yang disediakan Bu iffah. Kebanyakan ibu-ibu membawa beras, mie kering, gula dan kecap. Dan telah disediakan tempat sendiri-sendiri untuk itu.
Tapi ada sesuatu yang menarik perhatianku. Sepertinya di setiap wadah ada terselip daun buah kluweh. Buah sejenis nangka yang apabila masih muda dibuat sayur lodeh sangat enak rasanya.

'Aneh...!' pikirku.
“Lis, cepat bawa kesini tas nya!!” suara Ibuku dari dapur membuyarkan keherananku.
“Tamu sudah mulai banyak kok malah nggak cekatan..” gerutu Ibu sambil memasukkan tatanan nasi yang telah dipersiapkan.

Fyuhhh... semakin senja semakin ramai saja suasana. Tamu Ibu-ibu semakin banyak yang datang. Yang di dapur juga semakin sibuk merampungkan masakan dan kue-kue yang belum matang.

“Lis.... ayo pamit sholat ‘ashar dulu!” ajak Ibu... nih dia sikap tegas Ibu yang aku kagumi. Di saat orang lain terkadang sembunyi di balik kerepotan untuk alasan meninggalkan sholat. Ibu tidak pernah meninggalkan kewjiban yang satu itu. Bahkan ketika orang lain kadang menganggapnya egois, waktu sangat repot malah tidak membantu.

“Gusti ALLAH Cuma minta waktu 5 kali sehari untuk ditepati sebagai bukti pengabdian hambanya... jangan pernah ditinggalkan hanya karena urusan manusia yang tak pernah ada habisnya.” begitu nasehat Ibu sambil menggandengku pulang. Nasehat yang sebenarnya sudah sangat sering diulang-ulang.
Ah, ibuku.
                                  **********


Jam sepuluh malam.

Capek, capek sekali.
Padahal rangkaian acara masih separuh terlewati.Ba’da ‘isya tadi adalah acara ijab qobul pengantin. Disaksikan oleh tetangga sekitar yang diundang. Penduduk sini menamakan prosesi tersebut dengan nama ‘acara ngaturi’ sedangkan esok hari diadakan lagi resepsi temu mantennya.

Wah, pokoknya acara pernikahan di kampungku merupakan hajatan paling meriah yang harus dipersiapkan dengan matang.
“Belum tidur Nduk?” tanya Ibu. Beliau ternyata baru pulang dari rumah Bu Iffah setelah menyelesaikan bolu pandan untuk acara besok.

“Belum Bu, badan capek tapi belum bisa tidur juga...” jawabku.
“Ya sudah pijitin kaki Ibu saja!” Gllekkk, waduuh kenapa tadi nggak tidur saja.
Hmmm... meski agak menggerutu di hati tapi kukerjakan juga permintaan ibu. Kasihan, sepertinya beliau lebih capek dari pada aku.

Beginilah tenggang rasa dikampungku. Tetangga dekat tanpa diminta akan menyumbang peran besar membantu keluarga yang punya hajat. Bila tidak ada udzur maka tetangga kiri kanan akan menjadi seksi sibuk. Dan pasti juga kebagian jatah capek, seperti ibuku saat ini.

Sepercik ingatan peristiwa siang tadi menghampiri pikiranku. Tentang daun kluweh yang disudut kamar Bu Iffah.
“Bu...tadi di wadah beras Bu Iffah ada yang aneh deh. Seperti deselipi daun kluweh.. wadah buat gula, buat mie juga ada daun kluwehnya?” spontan kuberondong pertanyaan pada Ibuku.

Dan sembari menahan kantuk Ibuku tertawa. Kok??
“Lis... Lilis, bahkan di dapur tadi kayu yang buat masak di tungku itu juga kayu pohon kluweh.” cerita Ibu. Kantuknya perlahan hilang.

Tanda tanya masih bersarang di kepalaku.
“Kenapa begitu Bu?” Ibu kembali tertawa mendengar pertanyaanku.

“Menurut cerita Bu Iffah sih begini.. kata orang orang tua dahulu, tetek bengek kluweh yang disisipkan dalam hajatan itu bisa membuat persediaan bahan makanan untuk acara agar berlebih tidak sampai kekurangan... kluweh agar bisa luweh-luweh[5] asal bahasanya” ibu menjelaskan panjang lebar. Aku mengangguk faham dan menemukan alasan untuk tersenyum geli.
“Emangnya kalau menyediakan beras 10kg tapi ngundang 200 orang terus di kasih daun kluweh nantinya bisa luweh-luweh Bu?” Tanyaku. Ibu kembali tertawa tanpa menjawab.
Mitos yang terlanjur mengakar meski jelas-jelas jauh dari logika masih diyakini dengan sepenuh jiwa.

“Sayang banget ya Bu, pohon kluweh belakang rumah Bu Iffah ditebang, jadi nggak bisa sering-sering dapat buah kluweh gratis untuk disayur lodeh... hehehe” Ibuku tertawa.
Tiba-tiba kami tidak merasa mengantuk. Saling bercanda seolah bisa mengobati rasa capek.
Ah, Ibuku.
                                  *************

Keesokan hari....

Suasana makin subuk.Bertepatan hari libur sekolah. Aku tak punya alasan tidak kembali ke rumah Bu Iffah untuk bantu-bantu, karena pasti aku juga libur mengajar.
Hampir jam sepuluh. Mentari mulai bertemen dengan gerah dan keringat. Saatnya acara temu manten. Karena rombongan mempelai pria sudah tiba.

Para penabuh terbang[6] pun mulai memainkan alat musiknya. Mengiringi sang vokalis melantunkan sholawat nabi.
Biasanya pada moment itu, para seksi dapur sama mengerubuti pintu, jendela dan celah mana saja yang bisa digunakan melihat sepasang mempelai yang berkostum raja ratu sehari itu dipertemukan. Moment yang selalu membuat iri siapa saja, apalagi yang belum menemukan pasangan jiwa.

Di tengah kerumunan, terdengar Bu Nur yang sedang serius memberikan petuah pada kakaknya.
“Waktu manten temu, Ibune ndak boleh lihat... bisa membuat iri kata orang tua dulu... nanti kalau mantennya mbobot[7] ibune bisa ikut mbobot bareng...” Bu Iffah mengangguk pasti.
Kembali aku tergelitik untuk tersenyum geli. ’Mitos apalagi ini..?” lha kalau ibunya penganten itu janda, mana bisa jadi ikut hamil?. Suami Bu Iffah kan sudah lama meninggal... waduh, makin aneh saja...
Dan acara berjalan lancar dari awal hingga akhir. Aku kebagian tugas menjadi moderator acara yang lebih banyak duduk manis didepan. Tanpa tahu kesibukan bagian dapur.

“Akhirnya...” Ibu menyelonjorkan kaki tepat di depanku. Kode yang sangat kumengerti, pasti pijat lagi,...
“Bagaimana akhirnya Bu? berasnya Bu Iffah jadi luweh-luweh?” tanyaku usil.
Ibu tersenyum...
“Lihat saja beras kita di dapur! semua lari kesana dipijam Bu Iffah".
” TERNYATA!!
“Assalamu’alaikum...” Bu Nur ngelonyor masuk sebelum kami sempat menjawab salam. Karena memang pintunya kami biarkan terbuka untuk mengijinkan angin sejuk masuk lebih banyak pada siang yang gerah ini.
“Ini jajan manten Lis... bawaan dari menten lanang[8]. Dibagi sedikit sedikit biar rata, buat kamu ini, biar ketularan cepat jadi manten...” mantap sekali Bu Nur berucap. Sindiran khas yang sudah sangat sering kudengar. Kembali hatiku memprotes.’Apa hubungannya kue manten dengan lekas jadi maten..?’

“Lha kalau aku yang makan bisa cepet jadi manten lagi dong Yu Nur...” ibuku membalas kata-kata Bu Nur dengan candaan khasnya. Kembali hatiku melukis bunga untuk dia.
Ah, Ibuku.
                                  ************



[1] Orang yang bantu-bantu
[2] Yang tugasnya menyuguhkan minuman atau makanan pada tamu.
[3] Perumpamaan dari basa basi.
[4] Keras kepala/suka membantah
[5] Banyak berlebih.
[6] Rebana.
[7] Hamil.
[8] Laki-laki.

10 komentar:

  1. mitos ibu hamil gak boleh jahit ini berlaku gak ya kalau dia seorang penjahit, mbak?
    Lha kalau kata bulek suamiku sih, gak boleh jahit bantal.
    terus kalau jahit bikin kreasi flanel gt gak boleh juga? kadang mitos gak masuk akal tp adakalanya terbukti di luar nalar manusia.

    Kalau menurut catatan medis, pinggul sempit memang kudu operasi. hamil ke berapapun, selamanya bakalan operasi :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. hehe ga tau jg mbak ivon.. jikapun terbukti kita ga usah percaya kalau itu berhubungan. lha wong di lain orang ga terbukti.. pst cuma kebetulan kersane gusti Allah seperti itu bukan.. lbh baik hati2 drpd mendekati syirik :)

      makasih sdh mampir

      Hapus
  2. Begitulah jeng. Cerita rakyat dan mitos aneka larangan. Ada hal yang bisa kita logikan.
    1. gadis jangan duduk ditengah pintu nanti yang nglamar akan balik. Logikanya : duduk ditengah pintu pasti menghalangi lalu lintas manusia dan barang.
    2. Jangan menyapu malam hari, nanti dilamar laki-laki brewok. Logikanya: nyapu malam hari takutnya nggak bersih, maklum jaman dulu belum ada listrik.

    3. Jangan duduk di atas bantal, nanti bisulen. Logikanya: bantal untuk kepala bukan untuk bokong.

    Dalam acara mantenan juga ada hiasan daun alang-alang, daun kluwih di teropnya agar tak ada alangan dan rejekinya luwih-luwih. Juga ada tebu, anteping kalbu.

    Masih banyak lagi kan.

    Salam hangat dari Surabaya

    BalasHapus
    Balasan
    1. bener pakde, kita melogikannya saja jika tak bisa menghindar untuk menjalaninya.. bebaskan dr ikut percaya bahwa sebab akibat itu memang benar krn berhubungan mistis.. karena dikhawatikan mendekati syirik (sebagaimana percaya banget bahwa makan jajan manten bisa lekas jadi manten.. lalu maruk makannya hehe.. jodoh di tangan Allah bukan, bukan disebabkan hanya pada kue..)

      salam matur suwun jg dr jombang pakde :)

      Hapus
  3. Menghapus mitos bisa kita mulai dari diri sendiri. sebab sulit untuk merubah apa yang sudah lama dipercayai oleh masyarakat. tapi kalau kita sadar semua hanya mitos yg jatuh pada kesyirikan, lbh baik merubah sikap diri sendiri saja.

    BalasHapus
    Balasan
    1. bener mbak.. saya bermaksud mengajak menghindari terlalu percaya dgn mitos2 tersebut lwt fiksi :)
      makasih sdh mampir

      Hapus
  4. Aneh2 saja mitos yang beredar di masyarakat ya. Banyak yang gak nyadar bahwa bisa2 syirik jadinya :(
    Psst... turut melukis bunga untuk ibunya... :)

    BalasHapus
  5. saya kok nggak dibagi mbak, biar cepet nikah #eh

    BalasHapus

Komentar kamu adalah penyambung silaturrahmi kita, maka jangan ragu meninggalkan jejak :)

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...