Cerpenku yang dimuat di majalah Embun, edisi 38, Sya'ban 1433/Juni 2012.
Makam
waliyullah memang membawa berkah. Karena banyaknya pengunjung yang datang
berziarah sehingga banyak orang yang meraup rupiah dengan berdagang apa saja
disekitar makam. Termasuk mungkin berkah bagi kami anak-anak kecil. Ketika banyak rombongan peziarah yang datang, maka
dijamin uang jajan kami melimpah. bahkan terkadang bisa memberikan sisa uang
pada Ayah untuk dibelikan rokok.
Menadahkan
tangan merupakan bakat umum kebanyakan anak-anak disini. Tak ada yang melarang
dan menganjurkan, apalagi mengajari. Seolah-olah ilmu alam yang kami dapatkan
dari lingkungan.
Mengemis
sudah seperti salah satu dari aneka permainan kami. Dengan mantra dan lagu yang
kami hafal diluar kepala...
“Nyuwun
sedekahe Pak, Bu.. kulo dunga’aken barokah uripe, laris dagangane, saged tindak
haji.. bla bla bla..” beragam doa-doa indah kami tawarkan
demi gemerincing recehan. Acapkali mengetuk hati para peziarah, tergiur doa-doa
mulut kami... yang kami sendiri tak ambil peduli mustajabah atau tidak.
Namun
terkadang ada yang menutup telinga dan menggerutu, bahkan marah. Saat kami
menyerbu dengan kelompok yang tidak kecil. Jika satu teman kami mendapat
pemberian maka kami serentak mendatangi dermawan itu untuk ‘minta jatah’ dengan
mantra dan lagu khas yang kami dendangkan serentak seperti koor lebah yang
berdengung. Mereka bilang bising dan menyebalkan, kami tak peduli. Hmmm...
Seorang
Ibu yang menggendong bayinya memandang kami dengan tatapan aneh, seperti
kasihan namun bercampur sebal. Ah sekali lagi, kami tak peduli.
“Saya
bingung... pengennya ngasih sedekah sama yang benar-benar butuh tapi kok jadi
merasa dibohongi...” keluh seorang Ibu tadi.
“Iya
mau ikhlas jadinya susah...” sahut yang lain.
“Fenomena
ini terkadang membuat kita berburuk sangka dengan orang yang benar-benar lemah,
fakir dan terpaksa minta-minta.”
“Aku
juga kasihan sama mereka, mengapa tak mengerti bahwa tangan diatas lebih baik
daripada tangan dibawah...”
“Mereka
masih anak-anak. Urusan kita cuma memberi dan berusaha untuk ikhlas, siapapun
penerima sedekah itu...” percakapan itu terdengar oleh kami. Iya kami masih
anak-anak. Selintas lalu mendengar dan kami kembali bermain dan tak ambil
peduli.
###
Sampai
ke makam waliyullah. Salah satu wali besar meskipun tak tercatat sebagai sembilan
wali yang menjadi legenda di daerah jawa. Rombongan ziarah yang dipimpin oleh
imam yang menuntun kami berdoa, meluruskan niat agar tidak meminta sesuatu pada
makam atau waliyullah yang sudah tiada, namun bertawasul sebagaimana orang
meminta kepada pejabat dengan mengatakan ‘saya masih teman baik anak
anda/sahabat anda/kerabat anda/dll’ sehingga menurut logikanya prosentase
diterima lebih bisa diharapkan.
Banyak
sekali pedagang khas oleh-oleh dari makam wali seperti kaos-kaos bersablon,
jenang(dodol), dan rengginang. Ada juga berbagai macam ikan asin karena daerah
dekat laut. Tak ketinggalan para pengemis yang meminta sedekah.
Sungguh
ku tak menyangka jika banyak sekali pengemis sepanjang jalanan makam itu
terdiri dari anak-anak.
“Nyuwun
sedekahe Pak, Bu.. kulo dunga’aken barokah uripe, laris dagangane, saged tindak
haji.. bla bla bla..” tawaran doa-doa nan indah namun
seperti dengungan lebah yang sangat tidak nyaman di telinga. Dan ketika
tanganku mengulurkan recehan pada salah seorang anak. Tiba-tiba banyak yang lain datang menyerbu seketika. Aduh...
bagaimana ini? sementara bayi yang berusaha kutenangkan agar lelap menjadi
terbangun dan mulai rewel. Ya Rabb... aku jadi marah dan menggerutu.
Buru-buru
aku mencari tempat yang nyaman untuk menenangkan bayiku. Sembari duduk-duduk
bersama teman rombongan yang lain.
“Saya
bingung... pengennya ngasih sedekah sama yang benar-benar butuh tapi kok jadi
merasa dibohongi...” aku mulai curhat tentang kata hati.
“Iya
mau ikhlas jadinya susah...” ternyata yang lain juga measakan hal yang serupa.
“Fenomena ini terkadang membuat
kita berburuk sangka dengan orang yang benar-benar lemah dan fakir dan terpaksa
minta-minta.” Sahut yang lain mengungkapkan analisanya.
“Aku
juga kasihan sama mereka, mengapa tak mengerti bahwa tangan diatas lebih baik
daripada tangan dibawah...”
“Mereka
masih anak-anak. Urusan kita cuma memberi dan berusaha untuk ikhlas, siapapun
penerima sedekah itu...” diskusi tak resmi itu berakhir sampai disitu.
Menyesalkan keadaan namun tak bisa melahirkan solusi yang sekiranya pantas
untuk dianjurkan. Lebih baik diam dan melanjutkan perjalanan.
Pertanyaan-pertanyaan ini entahlah akan dijawab oleh siapa zaman, dan entah
kapan?
***
END
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Komentar kamu adalah penyambung silaturrahmi kita, maka jangan ragu meninggalkan jejak :)