Senin, 02 Juli 2012

Anak-anak sepanjang jalanan makam


Cerpenku yang dimuat di majalah Embun, edisi 38,  Sya'ban 1433/Juni 2012.   



Makam waliyullah memang membawa berkah. Karena banyaknya pengunjung yang datang berziarah sehingga banyak orang yang meraup rupiah dengan berdagang apa saja disekitar makam. Termasuk mungkin berkah bagi kami anak-anak kecil. Ketika  banyak rombongan peziarah yang datang, maka dijamin uang jajan kami melimpah. bahkan terkadang bisa memberikan sisa uang pada Ayah untuk dibelikan rokok.
Menadahkan tangan merupakan bakat umum kebanyakan anak-anak disini. Tak ada yang melarang dan menganjurkan, apalagi mengajari. Seolah-olah ilmu alam yang kami dapatkan dari lingkungan.
Mengemis sudah seperti salah satu dari aneka permainan kami. Dengan mantra dan lagu yang kami hafal diluar kepala...
“Nyuwun sedekahe Pak, Bu.. kulo dunga’aken barokah uripe, laris dagangane, saged tindak haji.. bla bla bla..” beragam doa-doa indah kami tawarkan demi gemerincing recehan. Acapkali mengetuk hati para peziarah, tergiur doa-doa mulut kami... yang kami sendiri tak ambil peduli mustajabah atau tidak.
Namun terkadang ada yang menutup telinga dan menggerutu, bahkan marah. Saat kami menyerbu dengan kelompok yang tidak kecil. Jika satu teman kami mendapat pemberian maka kami serentak mendatangi dermawan itu untuk ‘minta jatah’ dengan mantra dan lagu khas yang kami dendangkan serentak seperti koor lebah yang berdengung. Mereka bilang bising dan menyebalkan, kami tak peduli. Hmmm...
Seorang Ibu yang menggendong bayinya memandang kami dengan tatapan aneh, seperti kasihan namun bercampur sebal. Ah sekali lagi, kami tak peduli.
“Saya bingung... pengennya ngasih sedekah sama yang benar-benar butuh tapi kok jadi merasa dibohongi...” keluh seorang Ibu tadi.
“Iya mau ikhlas jadinya susah...” sahut yang lain.
“Fenomena ini terkadang membuat kita berburuk sangka dengan orang yang benar-benar lemah, fakir dan terpaksa minta-minta.”
“Aku juga kasihan sama mereka, mengapa tak mengerti bahwa tangan diatas lebih baik daripada tangan dibawah...”
“Mereka masih anak-anak. Urusan kita cuma memberi dan berusaha untuk ikhlas, siapapun penerima sedekah itu...” percakapan itu terdengar oleh kami. Iya kami masih anak-anak. Selintas lalu mendengar dan kami kembali bermain dan tak ambil peduli.
###

Sampai ke makam waliyullah. Salah satu wali besar meskipun tak tercatat sebagai sembilan wali yang menjadi legenda di daerah jawa. Rombongan ziarah yang dipimpin oleh imam yang menuntun kami berdoa, meluruskan niat agar tidak meminta sesuatu pada makam atau waliyullah yang sudah tiada, namun bertawasul sebagaimana orang meminta kepada pejabat dengan mengatakan ‘saya masih teman baik anak anda/sahabat anda/kerabat anda/dll’ sehingga menurut logikanya prosentase diterima lebih bisa diharapkan.
Banyak sekali pedagang khas oleh-oleh dari makam wali seperti kaos-kaos bersablon, jenang(dodol), dan rengginang. Ada juga berbagai macam ikan asin karena daerah dekat laut. Tak ketinggalan para pengemis yang meminta sedekah.
Sungguh ku tak menyangka jika banyak sekali pengemis sepanjang jalanan makam itu terdiri dari anak-anak.
“Nyuwun sedekahe Pak, Bu.. kulo dunga’aken barokah uripe, laris dagangane, saged tindak haji.. bla bla bla..” tawaran doa-doa nan indah namun seperti dengungan lebah yang sangat tidak nyaman di telinga. Dan ketika tanganku mengulurkan recehan pada salah seorang anak. Tiba-tiba banyak  yang lain datang menyerbu seketika. Aduh... bagaimana ini? sementara bayi yang berusaha kutenangkan agar lelap menjadi terbangun dan mulai rewel. Ya Rabb... aku jadi marah dan menggerutu.
Buru-buru aku mencari tempat yang nyaman untuk menenangkan bayiku. Sembari duduk-duduk bersama teman rombongan yang lain.
“Saya bingung... pengennya ngasih sedekah sama yang benar-benar butuh tapi kok jadi merasa dibohongi...” aku mulai curhat tentang kata hati.
“Iya mau ikhlas jadinya susah...” ternyata yang lain juga measakan hal yang serupa.
              “Fenomena ini terkadang membuat kita berburuk sangka dengan orang yang benar-benar lemah dan fakir dan terpaksa minta-minta.” Sahut yang lain mengungkapkan analisanya.
“Aku juga kasihan sama mereka, mengapa tak mengerti bahwa tangan diatas lebih baik daripada tangan dibawah...”
“Mereka masih anak-anak. Urusan kita cuma memberi dan berusaha untuk ikhlas, siapapun penerima sedekah itu...” diskusi tak resmi itu berakhir sampai disitu. Menyesalkan keadaan namun tak bisa melahirkan solusi yang sekiranya pantas untuk dianjurkan. Lebih baik diam dan melanjutkan perjalanan. Pertanyaan-pertanyaan ini entahlah akan dijawab oleh siapa zaman, dan entah kapan?
***
END

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Komentar kamu adalah penyambung silaturrahmi kita, maka jangan ragu meninggalkan jejak :)

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...