Selasa, 31 Desember 2013

Noni Kembang Api


“Dhuarrr..!!!!” gempar sura memecah angkasa, menggelegar dan memekakkan telinga itu membuat Noni tertawa-tawa. Gadis kecil itu pipinya terlihat seperti tomat saat tertawa lepas lepas menampakkan kepuasan luar biasa ketika petasan yang ia sulut meledak dengan sempurna.

Sementara aku sibuk berjongkok dan menggelungkan badan, mencari tempat sejauh yang bisa kujangkau sembari menutup telinga rapat-rapat dengan dua jari telunjuk. Tawa Noni semakin tumpah berderai melihat tingkahku. Padahal bukan sekali dua kali ia melihatku seperti ini tapi sudah berulang kali, ia tetap saja tertawa.

“Dasar Rijal, anak laki-laki penakut..!! hiiii..” Olok-olok Noni sambil menjulurkan lidah. Sebal sekali aku melihatnya. Aku tahu tinggal di kampung sentra pembuat petasan ini, bagi orang yang takut suara ledakan adalah seseuatu yang pantas ditertawakan, diolok-olok dan dihina habis-habisan.
Aku sebal dan malu. Kenapa tidak bisa seperti Noni, yang gendang telinganya seolah kebal dengan suara ledakan yang bagiku luar biasa keras. Dia seumur denganku, sama-sama sembilan tahun tapi dia sudah berani menyalakan petasan sendiri semenjak usia 7 tahun..ckckck.. bukan hal yang anek sih di kampung kami. Salah satu kampung di kota Jombang. Kampung yang diingat orang sebagai kampung petasan. Hmm bagaimana tidak, kata orang-orang, petasan produksi kampung kami ini sangat tokcer. Sehingga banyak orang dari berbagai sudut kota Jombang dan bahkan kota-kota lain seprti Gresik, Tuban dan Surabaya sengaja pergi ke kampung kami untuk membeli racikan bubuk petasan original buatan penduduk kampung kami untuk keperluan lebaran dan tahun baru.

“Rijal!! Hey.. ini buat kamu!” Sebuah benda kecil serupa kertas gulung arisan, namun agak tebal gulungannya itu dilemparkan ke tempatkau berjongkok. Tepat jatuh di sebelah kelingkingku. Kontan aku berteriak histeris dan lari tunggang langgang menuju rumahku.

“Emaaakkk!!” Aku berteriak dan sudah pasti pucat pasi. Sementara Noni tertawa-tawa memegangi perutnya. Dari kejauhan terlihat pipinya semakin semerah tomat matang saking puasnya dia tertawa. Petasan kecil yang dia lemparkan pedakau tadi tidak meledak. Rupanya dia tahu bahwa petasan itu busung[1], tetapi dengan sengaja melempar kepadaku dalam keadaan dinyalakan buat menakut-nakuti aku yang benci sekali degan ledakan petasan. ‘Semoga saja dia terkencing-kencing dan dimarahi ibunya karena membuat celana kotor dan pesing’ bathinku merutuk dengan amat kesal.

“Kita pindah dari kampung ini ya, Mak! Aku benci sama Noni, aku benci suara petasan dan orang-orang yang selalu tertawa saat membuat ledakan hu hu hu.. “ aku menangis dan meminta sesuatu yang berulang kali kuminta kepada Emak Bapak. Emak lagi-lagi hanya mengelus kepalaku.

Tentu saja nggak semudah itu untuk pindah tempat tinggal. Bapak bekerja di Pabrik kayu tak jauh dari kampung kami. Sementara kami tinggal di rumah warisan turun temurun dari Mbahkung, bapaknya emak.
“Tunggu saja kelak kalau kamu lulus SD, le[2]... kamu bisa sekolah di kota lain atau tinggal di pesantren..” tiba-tiba Bapak menanggapi permintaanku. Mataku berbinar, wah boleh juga itu. Tak mengapa jika tidak bisa pindah rumah, asalkan bisa jauh-jauh dari kampung ini... dan Noni!.
***

Sebenarnya aku bukan benci sekali dengan Noni. Dia itu cantik sekali, aku suka sekali melihat wajahnya yang putih dan langsung berubah merah saat dia tertawa atau malu karena diledek. Hahaha.. sejak kecil akupun suka bermain dengan dia. Karena dia anak seumuran yang paling dekat jarak rumahnya dengan rumahku. Dia suka banyak bicara bercerita apa saja, aku suka mendengarkan sambil melihat warna-warna wajahnya yang berubah-ubah lucu dan menarik sekali.

Oh iya namanya sih sebenarnya bukan Noni. Orang-orang saja yang suka memanggilnya begitu. Karena dia agak berbeda dengan kebanyakan anak-anak di kampung kami. Rambutnya coklat bergelung-gelung seperti orang yang baru saja memakai rol. Tapi kata emak, itu rambutnya Noni asli buatan Gusti Allah, bukan karena dirol seperti gadis-gadis dewasa yang ingin rambutnya tidak terlihat lurus. Ingin rambutnya bisa seperti Noni.

Iya, kata Emak, dia itu mirip Noni Belanda jaman dulu. Putih dan rambutnya bergelung-gelung seperti gulungan ombak. Nama asli Noni adalah Cahaya Kusuma Astuti. Orang taunya seringnya memanggilnya dengan sebutan Yaya. Tapi kalau dikampung ini ditanyakan mana anak yang bernama Yaya? Niscaya jarang orang yang tahu. Tapi kalau ditanyakan mana anak bernama Noni? Semua orang akan menunjuk rumah Haji Diran.
Dia itu anak bungsunya biang petasan hehehe..

Aku hanya benci dan sangat kesumat saat dia bersuka cita bermain petasan. Padahal sudah berulang kali ada cerita bahwa terkena ledakan petasan amatlah bahaya resikonya. Ada yang kehilangan jari-jari tangannya karena memungut kembali petasan kecil yang disangka busung. Ada pula yang terbakar pinggulnya karena pungutan petasan –yang disangka busung itu- ditaruh di saku belakang. Hiii aku ngeri membayangkan luka-luka korban petasan itu. tapi Noni hanya tertawa-tawa saat kuceritakan.

“Halah.. itu sih orang yang nggak hati-hati. Kalau aku kan berani dan sudah pasti hati-hati. mercon busung selalu kutunggu lama dulu setelah yakin benar-benar busung baru diambil” sanggah Noni. Dia itu bisaaa saja menjawab kalau kami beradu pendapat tentang petasan.
Kami masih terus berteman, di sekolah dan di rumah.

“Eh.. Noni sebenarnya kalau sama kembang api aku suka loh. Sama-sama meledak tapi tidak membuat kuping hancur..” Ucapku pada Noni sepulang sekolah. Waktu itu kami sama-sama sudah kelas enam SD. Noni berencana merayakan kelulusan dengan petasan berondongan di depan rumahnya. Teman sekelas semua harus datang. Yah.. dia yakin sekali lulus. Aku juga tahu dia tak hanya banyak bicara. Dia juga banyak banyak belajar dan selalu melesat lebih pintar dalam banyak pelajaran dibanding kami teman-teman sepermaiannya. Dia disayang guru-guru namun juga kadang sering dapat teguran karen keseringan bermain mercon.

Mercon pernah masuk undang-undang larangan kepolisian. Namun entahlah sepertinya kampung kami mendapatkan perlindungan tak kasat mata dalam hal ini. saat ada penggerebekan polisi kampung kami terlihat bersih dari barang bukti bahan-bahan petasan entah kemana disembunyikan. Ckckck... aku selalu heran dan tak habis pikir. Orang tuaku juga hanya bisa geleng-geleng kepala dan berkata lirih. “Gimana lagi? kalau sudah jadi ketergantungan biaya hidup yang diandalkan”.

“Kamu harus datang Rijal !!.. hey kata Pak Romli Rijal Itu artinya laki-laki bukan.. ah bukan laki-laki itu kalau takut suara mercon, apalagi seumur hidup belum pernah menyalakan mercon sendiri ha ha ha.. “ Kembali aku dibuat sebal dengan Noni. Meski aku masih kelas enam SD namun entah kenapa ada rasa jengekl luar biasa kalau aku dikatakan ‘bukan laki-laki’ kedengarannya itu sangat merendahkan dan memalukan diriku. Aku ingat Pak Romli guru ngaji kami itu memang mengatakan bahwa namaku bermakna laki-laki. Bahkan pak Romli memujiku bahwa namaku gagah sekali. Bangga sekali aku mendengarnya namun baru saja Noni menghancurkan kebanggaanku itu. Uurggh.. Tunggu saja Noni! Sebentar lagi aku tak akan pergi!.
*** 

Hujan desember 2012.
Dingin sekali. Hangatnya teh dengen geprekan akar sereh ini seolah tak mampu mengobati kerinduan kepada kampung halaman. Ah ternyata suatu tempat yang dulu ingin benar0benar kujauhi itu sekarang malah seringkali kurindukan.

15 tahun sudah aku pergi. Selalu berusaha menjauh dan lebih menjauh lagi. Selepas pendidikan pesantren aku mendapatkan beasiswa pendidikan ke ibu kota. Bukan ke negeri-negeri arab sih. Jangan sangka kalau dari pesantren cuma bisa jadi guru ngaji. Kebetulan yang menarik minatku dulu adalah pelajaran Ekonomi, jadi kutekuni dan selalu kuusahakan mendapatkan informasi beasiswa untuk mendalami bidang itu. Supaya tak lagi membebani orang tuaku dalam biaya pendidikan. dan aku berhasil kuliah dan mendapatkan pekerjaan idamanku di Jakarta. Bahkan untuk urusan pekerjaanku aku sering berkesempatan ke luar negeri, khususnya wilayah Asia, Singapur dan Malaysia yang paling sering. Pengalaman memijak tempat-tempat baru membuatku sangat senang berpetualang. Melupakan rumah dan kampung halaman yang memberikan kenangan menyebalkan tentang petasan. Berlipat-lipat rasa takut ledakan yang selalu jadi bahan olok-olokan.

Tapi entahlah, kenapa aku kangen sekali dengan Noni? Usiaku yang hampir kepala tiga ini sudah mulai diributkan dengan pertanyaan ‘Kapan kau pulang, Rijal?”.. dan lanjutannya adalah “Kapan kau pulang bawa istri?”.

Dulu aku selalu menjawab kalau kampungku sudah tidak lagi produksi mercon yang membuatku takut setengah mati. Dan kadang juga terucap adalah seringkali kujawab tanya emakku itu dengan jawaban ngasal 
“Aku nanti pulangnya, kalau Noni sudah nggak mainan mercon lagi”.

Hahaha.. kadang aku bertanya-tanya penasaran, Noni setelah lama tak bertemu sekarang seperti apa ya? pipinya masih semerah tomat kah? Apa mungkin dia sudah jadi gadis dewasa berjilbab dan lemah lembut? Sebab menurut cerita ibu dia banyak berubah, tak lagi sepeti Noni kecil yang biasa kami kenal.. Oh, tiba-tiba pipiku terasa panas.

Beberapa kali aku mencoba menjalin hubungan dengan perempuan rasa-rasanya selalu terhenti oleh kegamangan di tengah jalan. Aku merasa takut memberikan janji kepada anak orang, aku takut saat dekat dengan perempuan dan mereka mengajak hanya pergi berduaan. Aku ilfil dengan perempuan yang dengan gampang pegang-pegang padahal baru saja kenal. Aku jadi rindu dengan perempuan yang banyak bicara dan biang pembuat kebisingan. Aku kangen Noni, menyesel rasanya tak pernah mau pulang saat dulu berkesempatan liburan. Hayalan nakalku membayangkan apa jadinya kalau aku melamarnya sebagai laki-laki dewasa? Kemudian dia mau menerima dengan syarat aku berani menyalakan petasan hahahaha..  aku tertawa meringis sembari menyaksikan rintik hujan yang berebutan jatuh di balkon apartemenku.

Ingin sekali aku mengatakan kepada Noni sekarang. Bahwa aku sudah jadi laki-laki sesungguhnya. Laki-laki dewasa yang sukses dan kata emakku sih jadi mantu idaman semua orang di kampung hahaha. aku ingin sekali mengatakan bahwa laki-laki berani itu bukanlah yang hanya berani menyalakan petasan. Tapi laki-laki yang menjaga diri tak pernah menggombal kepada setiap perempuan. Laki-laki yang ketika menawarkan hubungan adalah berbentuk keseriusan, menawarkan hubungan saat benar-benar siap lahir batin. yah, rasanya aku ingin sekali bertemu Noni dan menunjukkan semua pemikiranku itu. Pemikiran yang terbentuk oleh tempat dan waktu yang pernah kulalui. Dan segebok pembuktian dalam jalan hidupku kini seolah sudah lengkap kukumpulkan untuk ditunjukkan kepada Noni. 

Dan telephon dari Emak yang membunyikan nada smarthpohneku itu membuatku terhenyak dari lamunan dan pemikran yang bercabang-cabang. 

Kabar sayang dihantarkan emak dalam suaranya yang serak dan putus-putus itu benar-benar membuatku ingin pulang.

Noni???!!
***

Aku menyaksikan puing-puing reruntuhan rumah itu. Nyata sekali bagaimana dahsyatnya ledakan yang menyebabkan kehancuran itu. Puing-puing yang total tak menyisakan celah kehidupan bagi orang-orang yang kebetulan beraada di dalamnya. Menurut cerita bapak, kecelakaan itu terjadi karena bubuk-bubuk petasan tercecer di di keset salah satu pintu rumah. Dan seorang tamu Pak Haji Diran itu ada yang memakai sepatu beralaskan bahan campuran besi. Gesekan sepatu dan bubuk petasan itu seperti korek api yang dinyalakan. Tanpa tersadar nyalanya merambat cepat ke arah stok petasan yang ratusan jumlahnya. Juga bahan-bahan bubuk yang belum terbungkus. Rambatan api langsung berubah menjadi ledakan hebat yang menghanguskan dan menghancurkan rumah mereka.

“Noni.. meninggal, mak?” pias aku menanyakan perihal itu. Suaraku tercekat tertahan di tenggorokan. Ini lebih mengerikan  daripada kecelakaan-kecelakan petasan yang diceritakan orang-orang saat aku kecil dulu. Dadaku sesak membayangkan tubuh-tubunh yang terpanggang api ledakan bubuk-bubuk petasan yang jika terkumpul banyak dalam satu rumah itu sama saja seperti bom raksasa.

Emak menggeleng lemah. Tangannya menarik tanganku, mengajakku melangkah menuju Musholla kecil tak jauh dari rumah kami. Terlihat disana seorang gadis amat cantik dan berjilbab. Sejenak senyumku mengembang, mengucap syukur karena ia selamat dari ledakan itu. Dan dia benar-benar cantik sepeti bayanganku selama ini.

Namun dia diam tak mengenaliku. Hanya senyum senyum dan diam mematung memandang ke awang-awang... sebentar kemudian menangis dan menceracau tak jelas.

“Dia.. dia kenapa, Bu?” tanyaku mulai tak mengerti.

“Dia terganggu jiwanya semenjak kejadian itu.. orang tua, kakak-kakak dan semua keponakannya berada dalam rumah itu. Baru saja usai acara lamaran untuk Noni. Dan mereka semua meninggal terpanggang..” Ludahku terasa pahit di tenggorokan mendengar cerita ibu.

“Noni jadi gila, tapi dia tidak pernah mengganggu orang.. hanya sering menangis dan tidak bisa diajak bicara semua orang. Akhirnya dia dibiarkan tinggal di musholla ini, makan seadanya kiriman dari orang-orang. Emak yang kadang menengok dan menjilbabinya, dia menurut namun tak pernah bicara. Kasihan dia..”
“Noni!!” panggilku lirih. Air mataku jatuh setetes.
***


Malam hari di beranda rumah sakit itu, Noni masih saja diam dan acuh terhadap dunia sekelilingnya. Yang ada dalam ingatannya seolah hanya peristiwa buruk ledakan itu dan hilangnya nyawa orang-orang dekatnya. Dia menutup telinga rapat-rapat persis seperti yang kulakukan dulu saat mendengar ledakan mercon. Dia takut sekali dan menangis sejadi-jadinya.

Bagaimanakah lagi aku bisa membantunya? Aku sudah membawa Noni ke rumah sakit jiwa terbaik di Jakarta berharap ia sembuh dan mengingatku. Tapi setahun sudah dia masih saja seperti itu, tak ada perubahan yang berarti. Dokter menyarankan agar aku memantik ingatannya dengan apa yang biasanya dia sukai di masa kecil.

Ah, aku tidak mungkin membawakannya mercon. Yang kutahu kesukaannya di masa kecil adalah mercon, dan kini suara benda itu hanya bisa membuatnya menangis.

Aku coba membawakannya kembang api pada jelang tahun baru 2014 ini. Hanya mencoba-coba saja dan berharap keajaiban saat mengunjunginya kali ini, bersama emak.

“Yaya... ! ini kembang api, dia hanya akan bercahaya tanpa mengganggu telinga... “ aku mencoba memanggil dengan nama aslinya.

“Lihatlah Yaya!”

“Yaya....?” tiba-tiba dia bersuara merespon kata-kataku, raut wajahnya seolah berusaha keras mengingat sesuatu. Bisa jadi ia ingat orang tuanya. Hanya mereka yang memaggil dengan nama itu. Kami memandang bersama-sama kembang api yang kunyalakan dan kupegang dengan tanganku. Aku dan Emak memandang takjub kepada gadis yang tak punya siapa-siapa lagi itu. Semoga ini awal yang baik.

‘Noni, Cahaya... aku tak menjanjikan apa-apa kepadamu. Namun aku ingin berjanji pada diri sendiri untuk menolongmu. Suatu saat ingin membuktikan bahwa aku laki-laki sejati yang menghormatimu, menjagamu selalu hingga nanti saat aku benar-benar yakin mencintaimu dan memlihmu, aku akan menawarkan pernikahan kepadamu’

Janji itu hanya ibuku yang tahu.. dan perempuan yang membersamai masa kecilku dengan Noni turut mendoakan kebaikan untuk kami meskipun orang-orang kampungku memandang semua yang kulakukan untuk Noni dengan tatapan tak mengerti(*).




[1] Busung : sebutan petasan yang gagal racikan atau bubuknya kurang kering sehingga tidak bisa meledak meskipun  sudah disulut api.
[2] Le kependekan dari Thole adalah panggilan sayang untuk anak laki-laki jawa, di Jombang lebih sering disingkat hanya menjadi ‘le’.

*Fiksi yang berdasarkan setting nyata sebuah desa yang penduduknya banyak menjual petasan. sengaja nama desa tidak saya sebut karena kurang etis, Kejadian ledakan rumah juga pernah terjadi menurut cerita orang-orang di tempat tinggal saya. Namun jalinan alur ceritanya hanyalah fiksi belaka 

**Tulisan ini diikutkan dalam even #NulisKilat Bentang Pustaka 


1 komentar:

  1. waduh... panjang banget... izin bokmark yah belum sempet baca semuya....

    BalasHapus

Komentar kamu adalah penyambung silaturrahmi kita, maka jangan ragu meninggalkan jejak :)

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...