“Dhuarrr..!!!!”
gempar sura memecah angkasa, menggelegar dan memekakkan telinga itu membuat
Noni tertawa-tawa. Gadis kecil itu pipinya terlihat seperti tomat saat tertawa
lepas lepas menampakkan kepuasan luar biasa ketika petasan yang ia sulut
meledak dengan sempurna.
Sementara
aku sibuk berjongkok dan menggelungkan badan, mencari tempat sejauh yang bisa
kujangkau sembari menutup telinga rapat-rapat dengan dua jari telunjuk. Tawa Noni
semakin tumpah berderai melihat tingkahku. Padahal bukan sekali dua kali ia
melihatku seperti ini tapi sudah berulang kali, ia tetap saja tertawa.
“Dasar
Rijal, anak laki-laki penakut..!! hiiii..” Olok-olok Noni sambil menjulurkan
lidah. Sebal sekali aku melihatnya. Aku tahu tinggal di kampung sentra pembuat
petasan ini, bagi orang yang takut suara ledakan adalah seseuatu yang pantas ditertawakan,
diolok-olok dan dihina habis-habisan.
Aku sebal
dan malu. Kenapa tidak bisa seperti Noni, yang gendang telinganya seolah kebal
dengan suara ledakan yang bagiku luar biasa keras. Dia seumur denganku,
sama-sama sembilan tahun tapi dia sudah berani menyalakan petasan sendiri
semenjak usia 7 tahun..ckckck.. bukan hal yang anek sih di kampung kami. Salah
satu kampung di kota Jombang. Kampung yang diingat orang sebagai kampung
petasan. Hmm bagaimana tidak, kata orang-orang, petasan produksi kampung kami
ini sangat tokcer. Sehingga banyak orang dari berbagai sudut kota Jombang dan
bahkan kota-kota lain seprti Gresik, Tuban dan Surabaya sengaja pergi ke
kampung kami untuk membeli racikan bubuk petasan original buatan penduduk
kampung kami untuk keperluan lebaran dan tahun baru.
“Rijal!!
Hey.. ini buat kamu!” Sebuah benda kecil serupa kertas gulung arisan, namun
agak tebal gulungannya itu dilemparkan ke tempatkau berjongkok. Tepat jatuh di
sebelah kelingkingku. Kontan aku berteriak histeris dan lari tunggang langgang
menuju rumahku.
“Emaaakkk!!”
Aku berteriak dan sudah pasti pucat pasi. Sementara Noni tertawa-tawa memegangi
perutnya. Dari kejauhan terlihat pipinya semakin semerah tomat matang saking
puasnya dia tertawa. Petasan kecil yang dia lemparkan pedakau tadi tidak
meledak. Rupanya dia tahu bahwa petasan itu busung[1],
tetapi dengan sengaja melempar kepadaku dalam keadaan dinyalakan buat
menakut-nakuti aku yang benci sekali degan ledakan petasan. ‘Semoga saja dia
terkencing-kencing dan dimarahi ibunya karena membuat celana kotor dan pesing’ bathinku
merutuk dengan amat kesal.
“Kita
pindah dari kampung ini ya, Mak! Aku benci sama Noni, aku benci suara petasan
dan orang-orang yang selalu tertawa saat membuat ledakan hu hu hu.. “ aku
menangis dan meminta sesuatu yang berulang kali kuminta kepada Emak Bapak. Emak
lagi-lagi hanya mengelus kepalaku.
Tentu
saja nggak semudah itu untuk pindah tempat tinggal. Bapak bekerja di Pabrik
kayu tak jauh dari kampung kami. Sementara kami tinggal di rumah warisan turun
temurun dari Mbahkung, bapaknya emak.
“Tunggu
saja kelak kalau kamu lulus SD, le[2]...
kamu bisa sekolah di kota lain atau tinggal di pesantren..” tiba-tiba Bapak
menanggapi permintaanku. Mataku berbinar, wah boleh juga itu. Tak mengapa jika
tidak bisa pindah rumah, asalkan bisa jauh-jauh dari kampung ini... dan Noni!.
***
Sebenarnya
aku bukan benci sekali dengan Noni. Dia itu cantik sekali, aku suka sekali
melihat wajahnya yang putih dan langsung berubah merah saat dia tertawa atau
malu karena diledek. Hahaha.. sejak kecil akupun suka bermain dengan dia. Karena
dia anak seumuran yang paling dekat jarak rumahnya dengan rumahku. Dia suka
banyak bicara bercerita apa saja, aku suka mendengarkan sambil melihat
warna-warna wajahnya yang berubah-ubah lucu dan menarik sekali.
Oh iya
namanya sih sebenarnya bukan Noni. Orang-orang saja yang suka memanggilnya
begitu. Karena dia agak berbeda dengan kebanyakan anak-anak di kampung kami. Rambutnya
coklat bergelung-gelung seperti orang yang baru saja memakai rol. Tapi kata
emak, itu rambutnya Noni asli buatan Gusti Allah, bukan karena dirol seperti
gadis-gadis dewasa yang ingin rambutnya tidak terlihat lurus. Ingin rambutnya
bisa seperti Noni.
Iya,
kata Emak, dia itu mirip Noni Belanda jaman dulu. Putih dan rambutnya bergelung-gelung
seperti gulungan ombak. Nama asli Noni adalah Cahaya Kusuma Astuti. Orang
taunya seringnya memanggilnya dengan sebutan Yaya. Tapi kalau dikampung ini
ditanyakan mana anak yang bernama Yaya? Niscaya jarang orang yang tahu. Tapi kalau
ditanyakan mana anak bernama Noni? Semua orang akan menunjuk rumah Haji Diran.
Dia
itu anak bungsunya biang petasan hehehe..
Aku hanya
benci dan sangat kesumat saat dia bersuka cita bermain petasan. Padahal sudah
berulang kali ada cerita bahwa terkena ledakan petasan amatlah bahaya
resikonya. Ada yang kehilangan jari-jari tangannya karena memungut kembali
petasan kecil yang disangka busung. Ada pula yang terbakar pinggulnya karena
pungutan petasan –yang disangka busung itu- ditaruh di saku belakang. Hiii aku
ngeri membayangkan luka-luka korban petasan itu. tapi Noni hanya tertawa-tawa
saat kuceritakan.
“Halah..
itu sih orang yang nggak hati-hati. Kalau aku kan berani dan sudah pasti
hati-hati. mercon busung selalu kutunggu lama dulu setelah yakin benar-benar
busung baru diambil” sanggah Noni. Dia itu bisaaa saja menjawab kalau kami
beradu pendapat tentang petasan.
Kami
masih terus berteman, di sekolah dan di rumah.
“Eh..
Noni sebenarnya kalau sama kembang api aku suka loh. Sama-sama meledak tapi
tidak membuat kuping hancur..” Ucapku pada Noni sepulang sekolah. Waktu itu
kami sama-sama sudah kelas enam SD. Noni berencana merayakan kelulusan dengan
petasan berondongan di depan rumahnya. Teman sekelas semua harus datang. Yah..
dia yakin sekali lulus. Aku juga tahu dia tak hanya banyak bicara. Dia juga
banyak banyak belajar dan selalu melesat lebih pintar dalam banyak pelajaran
dibanding kami teman-teman sepermaiannya. Dia disayang guru-guru namun juga
kadang sering dapat teguran karen keseringan bermain mercon.
Mercon
pernah masuk undang-undang larangan kepolisian. Namun entahlah sepertinya kampung
kami mendapatkan perlindungan tak kasat mata dalam hal ini. saat ada
penggerebekan polisi kampung kami terlihat bersih dari barang bukti bahan-bahan
petasan entah kemana disembunyikan. Ckckck... aku selalu heran dan tak habis
pikir. Orang tuaku juga hanya bisa geleng-geleng kepala dan berkata lirih. “Gimana
lagi? kalau sudah jadi ketergantungan biaya hidup yang diandalkan”.
“Kamu
harus datang Rijal !!.. hey kata Pak Romli Rijal Itu artinya laki-laki bukan..
ah bukan laki-laki itu kalau takut suara mercon, apalagi seumur hidup belum pernah
menyalakan mercon sendiri ha ha ha.. “ Kembali aku dibuat sebal dengan Noni.
Meski aku masih kelas enam SD namun entah kenapa ada rasa jengekl luar biasa
kalau aku dikatakan ‘bukan laki-laki’ kedengarannya itu sangat merendahkan dan
memalukan diriku. Aku ingat Pak Romli guru ngaji kami itu memang mengatakan
bahwa namaku bermakna laki-laki. Bahkan pak Romli memujiku bahwa namaku gagah
sekali. Bangga sekali aku mendengarnya namun baru saja Noni menghancurkan
kebanggaanku itu. Uurggh.. Tunggu saja Noni! Sebentar lagi aku tak akan pergi!.
***
Hujan
desember 2012.
Dingin
sekali. Hangatnya teh dengen geprekan akar sereh ini seolah tak mampu mengobati
kerinduan kepada kampung halaman. Ah ternyata suatu tempat yang dulu ingin
benar0benar kujauhi itu sekarang malah seringkali kurindukan.
15
tahun sudah aku pergi. Selalu berusaha menjauh dan lebih menjauh lagi. Selepas
pendidikan pesantren aku mendapatkan beasiswa pendidikan ke ibu kota. Bukan ke
negeri-negeri arab sih. Jangan sangka kalau dari pesantren cuma bisa jadi guru
ngaji. Kebetulan yang menarik minatku dulu adalah pelajaran Ekonomi, jadi
kutekuni dan selalu kuusahakan mendapatkan informasi beasiswa untuk mendalami
bidang itu. Supaya tak lagi membebani orang tuaku dalam biaya pendidikan. dan
aku berhasil kuliah dan mendapatkan pekerjaan idamanku di Jakarta. Bahkan untuk
urusan pekerjaanku aku sering berkesempatan ke luar negeri, khususnya wilayah
Asia, Singapur dan Malaysia yang paling sering. Pengalaman memijak
tempat-tempat baru membuatku sangat senang berpetualang. Melupakan rumah dan
kampung halaman yang memberikan kenangan menyebalkan tentang petasan. Berlipat-lipat
rasa takut ledakan yang selalu jadi bahan olok-olokan.
Tapi
entahlah, kenapa aku kangen sekali dengan Noni? Usiaku yang hampir kepala tiga
ini sudah mulai diributkan dengan pertanyaan ‘Kapan kau pulang, Rijal?”.. dan
lanjutannya adalah “Kapan kau pulang bawa istri?”.
Dulu
aku selalu menjawab kalau kampungku sudah tidak lagi produksi mercon yang
membuatku takut setengah mati. Dan kadang juga terucap adalah seringkali
kujawab tanya emakku itu dengan jawaban ngasal
“Aku nanti pulangnya, kalau Noni
sudah nggak mainan mercon lagi”.
Hahaha..
kadang aku bertanya-tanya penasaran, Noni setelah lama tak bertemu sekarang seperti
apa ya? pipinya masih semerah tomat kah? Apa mungkin dia sudah jadi gadis dewasa
berjilbab dan lemah lembut? Sebab menurut cerita ibu dia banyak berubah, tak
lagi sepeti Noni kecil yang biasa kami kenal.. Oh, tiba-tiba pipiku terasa
panas.
Beberapa
kali aku mencoba menjalin hubungan dengan perempuan rasa-rasanya selalu
terhenti oleh kegamangan di tengah jalan. Aku merasa takut memberikan janji
kepada anak orang, aku takut saat dekat dengan perempuan dan mereka mengajak
hanya pergi berduaan. Aku ilfil dengan perempuan yang dengan gampang
pegang-pegang padahal baru saja kenal. Aku jadi rindu dengan perempuan yang
banyak bicara dan biang pembuat kebisingan. Aku kangen Noni, menyesel rasanya
tak pernah mau pulang saat dulu berkesempatan liburan. Hayalan nakalku
membayangkan apa jadinya kalau aku melamarnya sebagai laki-laki dewasa? Kemudian
dia mau menerima dengan syarat aku berani menyalakan petasan hahahaha.. aku tertawa meringis sembari menyaksikan
rintik hujan yang berebutan jatuh di balkon apartemenku.
Ingin sekali aku mengatakan kepada Noni sekarang. Bahwa aku sudah jadi laki-laki sesungguhnya. Laki-laki dewasa yang sukses dan kata emakku sih jadi mantu idaman semua orang di kampung hahaha. aku ingin sekali mengatakan bahwa laki-laki berani itu bukanlah yang hanya berani menyalakan petasan. Tapi laki-laki yang menjaga diri tak pernah menggombal kepada setiap perempuan. Laki-laki yang ketika menawarkan hubungan adalah berbentuk keseriusan, menawarkan hubungan saat benar-benar siap lahir batin. yah, rasanya aku ingin sekali bertemu Noni dan menunjukkan semua pemikiranku itu. Pemikiran yang terbentuk oleh tempat dan waktu yang pernah kulalui. Dan segebok pembuktian dalam jalan hidupku kini seolah sudah lengkap kukumpulkan untuk ditunjukkan kepada Noni.
Dan telephon
dari Emak yang membunyikan nada smarthpohneku itu membuatku terhenyak dari lamunan dan pemikran yang bercabang-cabang.
Kabar sayang dihantarkan emak dalam suaranya yang serak dan putus-putus itu benar-benar membuatku ingin pulang.
Noni???!!
***
Aku
menyaksikan puing-puing reruntuhan rumah itu. Nyata sekali bagaimana dahsyatnya
ledakan yang menyebabkan kehancuran itu. Puing-puing yang total tak menyisakan
celah kehidupan bagi orang-orang yang kebetulan beraada di dalamnya. Menurut cerita
bapak, kecelakaan itu terjadi karena bubuk-bubuk petasan tercecer di di keset
salah satu pintu rumah. Dan seorang tamu Pak Haji Diran itu ada yang memakai
sepatu beralaskan bahan campuran besi. Gesekan sepatu dan bubuk petasan itu
seperti korek api yang dinyalakan. Tanpa tersadar nyalanya merambat cepat ke
arah stok petasan yang ratusan jumlahnya. Juga bahan-bahan bubuk yang belum
terbungkus. Rambatan api langsung berubah menjadi ledakan hebat yang menghanguskan
dan menghancurkan rumah mereka.
“Noni..
meninggal, mak?” pias aku menanyakan perihal itu. Suaraku tercekat tertahan di
tenggorokan. Ini lebih mengerikan
daripada kecelakaan-kecelakan petasan yang diceritakan orang-orang saat
aku kecil dulu. Dadaku sesak membayangkan tubuh-tubunh yang terpanggang api
ledakan bubuk-bubuk petasan yang jika terkumpul banyak dalam satu rumah itu
sama saja seperti bom raksasa.
Emak
menggeleng lemah. Tangannya menarik tanganku, mengajakku melangkah menuju Musholla
kecil tak jauh dari rumah kami. Terlihat disana seorang gadis amat cantik dan
berjilbab. Sejenak senyumku mengembang, mengucap syukur karena ia selamat dari
ledakan itu. Dan dia benar-benar cantik sepeti bayanganku selama ini.
Namun
dia diam tak mengenaliku. Hanya senyum senyum dan diam mematung memandang ke
awang-awang... sebentar kemudian menangis dan menceracau tak jelas.
“Dia..
dia kenapa, Bu?” tanyaku mulai tak mengerti.
“Dia
terganggu jiwanya semenjak kejadian itu.. orang tua, kakak-kakak dan semua
keponakannya berada dalam rumah itu. Baru saja usai acara lamaran untuk Noni. Dan
mereka semua meninggal terpanggang..” Ludahku terasa pahit di tenggorokan
mendengar cerita ibu.
“Noni
jadi gila, tapi dia tidak pernah mengganggu orang.. hanya sering menangis dan
tidak bisa diajak bicara semua orang. Akhirnya dia dibiarkan tinggal di
musholla ini, makan seadanya kiriman dari orang-orang. Emak yang kadang
menengok dan menjilbabinya, dia menurut namun tak pernah bicara. Kasihan dia..”
“Noni!!”
panggilku lirih. Air mataku jatuh setetes.
***
Malam
hari di beranda rumah sakit itu, Noni masih saja diam dan acuh terhadap dunia
sekelilingnya. Yang ada dalam ingatannya seolah hanya peristiwa buruk ledakan
itu dan hilangnya nyawa orang-orang dekatnya. Dia menutup telinga rapat-rapat
persis seperti yang kulakukan dulu saat mendengar ledakan mercon. Dia takut
sekali dan menangis sejadi-jadinya.
Bagaimanakah lagi aku bisa membantunya? Aku sudah membawa Noni ke rumah sakit jiwa terbaik
di Jakarta berharap ia sembuh dan mengingatku. Tapi setahun sudah dia masih
saja seperti itu, tak ada perubahan yang berarti. Dokter menyarankan agar aku memantik ingatannya dengan apa
yang biasanya dia sukai di masa kecil.
Ah,
aku tidak mungkin membawakannya mercon. Yang kutahu kesukaannya di masa kecil
adalah mercon, dan kini suara benda itu hanya bisa membuatnya menangis.
Aku coba
membawakannya kembang api pada jelang tahun baru 2014 ini. Hanya mencoba-coba saja dan berharap keajaiban saat mengunjunginya kali ini, bersama emak.
“Yaya...
! ini kembang api, dia hanya akan bercahaya tanpa mengganggu telinga... “ aku
mencoba memanggil dengan nama aslinya.
“Lihatlah
Yaya!”
“Yaya....?”
tiba-tiba dia bersuara merespon kata-kataku, raut wajahnya seolah berusaha keras mengingat sesuatu. Bisa jadi ia ingat orang tuanya.
Hanya mereka yang memaggil dengan nama itu. Kami memandang bersama-sama kembang
api yang kunyalakan dan kupegang dengan tanganku. Aku dan Emak memandang takjub kepada
gadis yang tak punya siapa-siapa lagi itu. Semoga ini awal yang baik.
‘Noni,
Cahaya... aku tak menjanjikan apa-apa kepadamu. Namun aku ingin berjanji pada
diri sendiri untuk menolongmu. Suatu saat ingin membuktikan bahwa aku laki-laki
sejati yang menghormatimu, menjagamu selalu hingga nanti saat aku benar-benar
yakin mencintaimu dan memlihmu, aku akan menawarkan pernikahan kepadamu’
Janji
itu hanya ibuku yang tahu.. dan perempuan yang membersamai masa kecilku dengan
Noni turut mendoakan kebaikan untuk kami meskipun orang-orang kampungku
memandang semua yang kulakukan untuk Noni dengan tatapan tak mengerti(*).
[1]
Busung : sebutan petasan yang gagal racikan atau bubuknya kurang kering
sehingga tidak bisa meledak meskipun
sudah disulut api.
[2]
Le kependekan dari Thole adalah panggilan sayang untuk anak laki-laki jawa, di
Jombang lebih sering disingkat hanya menjadi ‘le’.
*Fiksi yang berdasarkan setting nyata sebuah desa yang penduduknya banyak menjual petasan. sengaja nama desa tidak saya sebut karena kurang etis, Kejadian ledakan rumah juga pernah terjadi menurut cerita orang-orang di tempat tinggal saya. Namun jalinan alur ceritanya hanyalah fiksi belaka
**Tulisan ini diikutkan dalam even #NulisKilat Bentang Pustaka
waduh... panjang banget... izin bokmark yah belum sempet baca semuya....
BalasHapus