Tulisan ini diikutkan pada 8 Minggu Ngeblog bersama Anging Mammiri, minggu keenam dengan tema 'dua sisi''.
Dua hal yang katanya niscaya dalam kehidupan ini adalah dua sisi yang saling berlawanan. Semisal ada siang ada malam, ada laki-laki ada perempuan, ada protagonis ada antagonis, ada pahit ada manis, ada benar ada salah dan lain-lain. Buanyak sekali...
Dan kadang kita terjebak untuk hanya terpaku pada salah satu sisinya. Dan terlampau mengidolakannya.
Saya jadi terkenang pada masa lalu di Pesantren. Murobbi, pengasuh Pesantren Langitan. KH Abdullah Faqih (almarhum, Allahummaghfirlahu warhamhu..). Dalam memandang carut marut berbagai fenomena yang saya lihat di dunia yang saya pijak kini. Dunia yang warna-warni pemikiran bertebaran dan saling bersaing untuk mendapatkan tempat dan follower, saya selalu mengingat dawuh-dawuh beliau semasa masih memberikan tausiyah pada santri-santrinya. Dalam selingan nasehat bijak beliau saya sering menangkap pemikiran beliau tentang keseimbangan, artinya jangan terlalu ngalor[1] dan jangan terlalu ngidul[2]. Jangan terlalu liberalis dan jangan terlalu fundamentalis... dan meskipun beliau adalah salah satu Kyai 'poros langit' yang memberikan restu Gus Dur ( KH Abdurrahman Wachid Almarhum, Allahummaghfirlahu warhamhu...) untuk maju mencalonkan diri menjadi presiden namun dalam tausiyah pada santrinya Kyai Faqih juga acapkali mengkritik Gus Dur. Dalam arti terselubung beliau tidak berkehendak kalau santri-santrinya terlalu mengidolakan Gus Dur tanpa penilaian proposional bahwa manusia juga tetap punya khilaf dan lupa.
Kritik yang saya ingat dan berhubungan dengan keseimbangan berpikir itu adalah, beliau Kyai Faqih pernah ngendikan[3] : "Saat jadi presiden, jangan seperti Gus Dur. Terlalu banyak bicara yang kurang penting dan kontroversi malah menimbulkan masalah seperti statement bahwa 'anggota DPR/MPR seperti anak-anak TK dan jangan pula seperti Megawati saat dibutuhkan menjawab dan bicara penting lebih banyak diamnya (waktu itu populer slogan -the silent is gold-nya Ibu Mega)'. Beliau Kyai Faqih menyampaikan hal tersebut di sela-sela ngaji kitab kuning dan memberikan nasehat-nasehat keislaman.
Ya petuah-petuah dan pemikiran itu tetap menjadi panutan saya dalam berfikir sampai saat ini. Jadi jangan heran meskipun saya mencintai dunia literasi dan mengidolai beberapa penulis inspiratif, saya tak pernah ambil pusing atau berjuang keras mengejar-ngejar sosok seorang penulis untuk minta tanda tangan atau sekedar foto bareng, jika memang sempat ya mau kalau nggak ya sudah nggak merasa itu sangat penting. Ya, yang penting adalah manfaat tulisannya bukan tanda tangan atau foto barengnya bukan?
Terlebih fenomena media yang punya kekuatan besar untuk membolak balik fakta dan juga sosial media yang membuat berbagai pemikiran dengan mudahnya bisa disebarluaskan. Saya harus benar-benar hati-hati dalam memberi porsi komentar sekaligus penilaian. Karena sisi benar atau salah sangat terlihat 'campur sari', semua fihak mengatakan bahwa dirinya lah yang benar. Menyedihkan jika yang terjebak perang argumen antara dua sisi salah vs benar itu adalah sesama orang islam. MasyaAllah miris dan sedih melihatnya, saya hanya bisa berdo'a semoga yang hak dan batil pada akhirnya dijelaskan oleh Allah dengan caraNya. Semoga islam rahmatan lil'alamin bisa menjadi benar benar direalisasikan, bukan rahmatan lil golongan tertentu saja. Nilai-nilai kebaikan islam secara universal bukan hanya diakui diperjuangkan dan didakwahkan golongan tertentu saja. Semoga...
Dalam hal-hal lain pun saya selalu menerapkan pola pikir keseimbangan.. Bahasa kerennya saya namakan 'between area' hehehe.. daerah antara dua sisi.
Sebagaimana pernah saya memposting tentang panorama pagi dan senja (silahkan klik dan mampir melihat jepretan fotografer amatiran disini http://bintaelmamba.blogspot.com/2012/02/antara-pagi-dan-senja-suka-yang-mana.html ^^). Sungguh jika saya disuruh memilih antara rona pagi dan temaram senja, saya tak bisa menjawabnya, sebab saya suka dua-duanya
Footnote :
[1] ngalor : ke utara (bahasa jawa)
[2] ngidul : ke selatan.
[3] ngendikan : berbicara.
Dan kadang kita terjebak untuk hanya terpaku pada salah satu sisinya. Dan terlampau mengidolakannya.
Saya jadi terkenang pada masa lalu di Pesantren. Murobbi, pengasuh Pesantren Langitan. KH Abdullah Faqih (almarhum, Allahummaghfirlahu warhamhu..). Dalam memandang carut marut berbagai fenomena yang saya lihat di dunia yang saya pijak kini. Dunia yang warna-warni pemikiran bertebaran dan saling bersaing untuk mendapatkan tempat dan follower, saya selalu mengingat dawuh-dawuh beliau semasa masih memberikan tausiyah pada santri-santrinya. Dalam selingan nasehat bijak beliau saya sering menangkap pemikiran beliau tentang keseimbangan, artinya jangan terlalu ngalor[1] dan jangan terlalu ngidul[2]. Jangan terlalu liberalis dan jangan terlalu fundamentalis... dan meskipun beliau adalah salah satu Kyai 'poros langit' yang memberikan restu Gus Dur ( KH Abdurrahman Wachid Almarhum, Allahummaghfirlahu warhamhu...) untuk maju mencalonkan diri menjadi presiden namun dalam tausiyah pada santrinya Kyai Faqih juga acapkali mengkritik Gus Dur. Dalam arti terselubung beliau tidak berkehendak kalau santri-santrinya terlalu mengidolakan Gus Dur tanpa penilaian proposional bahwa manusia juga tetap punya khilaf dan lupa.
Kritik yang saya ingat dan berhubungan dengan keseimbangan berpikir itu adalah, beliau Kyai Faqih pernah ngendikan[3] : "Saat jadi presiden, jangan seperti Gus Dur. Terlalu banyak bicara yang kurang penting dan kontroversi malah menimbulkan masalah seperti statement bahwa 'anggota DPR/MPR seperti anak-anak TK dan jangan pula seperti Megawati saat dibutuhkan menjawab dan bicara penting lebih banyak diamnya (waktu itu populer slogan -the silent is gold-nya Ibu Mega)'. Beliau Kyai Faqih menyampaikan hal tersebut di sela-sela ngaji kitab kuning dan memberikan nasehat-nasehat keislaman.
Ya petuah-petuah dan pemikiran itu tetap menjadi panutan saya dalam berfikir sampai saat ini. Jadi jangan heran meskipun saya mencintai dunia literasi dan mengidolai beberapa penulis inspiratif, saya tak pernah ambil pusing atau berjuang keras mengejar-ngejar sosok seorang penulis untuk minta tanda tangan atau sekedar foto bareng, jika memang sempat ya mau kalau nggak ya sudah nggak merasa itu sangat penting. Ya, yang penting adalah manfaat tulisannya bukan tanda tangan atau foto barengnya bukan?
Terlebih fenomena media yang punya kekuatan besar untuk membolak balik fakta dan juga sosial media yang membuat berbagai pemikiran dengan mudahnya bisa disebarluaskan. Saya harus benar-benar hati-hati dalam memberi porsi komentar sekaligus penilaian. Karena sisi benar atau salah sangat terlihat 'campur sari', semua fihak mengatakan bahwa dirinya lah yang benar. Menyedihkan jika yang terjebak perang argumen antara dua sisi salah vs benar itu adalah sesama orang islam. MasyaAllah miris dan sedih melihatnya, saya hanya bisa berdo'a semoga yang hak dan batil pada akhirnya dijelaskan oleh Allah dengan caraNya. Semoga islam rahmatan lil'alamin bisa menjadi benar benar direalisasikan, bukan rahmatan lil golongan tertentu saja. Nilai-nilai kebaikan islam secara universal bukan hanya diakui diperjuangkan dan didakwahkan golongan tertentu saja. Semoga...
Dalam hal-hal lain pun saya selalu menerapkan pola pikir keseimbangan.. Bahasa kerennya saya namakan 'between area' hehehe.. daerah antara dua sisi.
Sebagaimana pernah saya memposting tentang panorama pagi dan senja (silahkan klik dan mampir melihat jepretan fotografer amatiran disini http://bintaelmamba.blogspot.com/2012/02/antara-pagi-dan-senja-suka-yang-mana.html ^^). Sungguh jika saya disuruh memilih antara rona pagi dan temaram senja, saya tak bisa menjawabnya, sebab saya suka dua-duanya
Footnote :
[1] ngalor : ke utara (bahasa jawa)
[2] ngidul : ke selatan.
[3] ngendikan : berbicara.
Betul, kalau Binta pernah belajar ilmu hadits, ada istilah jarh wa ta'dil. Bisa juga dijadikan sbg kaidah dalam menerima atau menolak suatu kabar, meski tentu dalam penerapan yang lebih moderat.
BalasHapusIntinya, kita memang sebaiknya berpikir moderat terhadap segala sesuatu :-D
moderat tapi tetap juga mengambil apa yang baik dari yang kuno dan mengambil yang bermanfaat dari moderenisasi masa kini.
Hapusal mukhafadlotu alal qodimis sholeh wal akhdu biljadidil ashlah adalah slogan yang selalu digunakan oleh masayayikh di langitan :)
makasih sudah mampir mbak
Pagi dan senja itu beda tapi sama2 indahnya ya mbak, jadi semua suka :)
BalasHapusyup betul mbak :)
HapusMbake, inilah curhatan kita yg kau jadikan inspirasi. Lebih baik, berjuang dalam kebersamaan dan persamaan iman. daripada hanya berkutat pada perbedaan teknis. Ya, kan mbak Lin? Eh Mbak Bint *hek hek hek
BalasHapusbener mbakk.. *peluuk akhwat seiman.. bener seiman dan seperjuangan ya :) jangan lihat perbedaannya ^^
Hapussiippooo, psstt, selain akhwat, agaknya kita mesti sering pake kata ummahat... biar selalu ingat kalau udah ada buntutnya :D
HapusUmmahat seiman dan seperjuangan ^^
beneer.. pede banget mengaku akhwat.. udah emak2 juga hehehe
HapusNice post.. Salam kenal..
BalasHapussalam kenal juga :)
HapusSalah satu hal yang saya senangi dari blogwalking adalah mendapat ilmu seperti ini dari teman-teman blogger:)
BalasHapusPengetahuan saya jadi bertambah nih, postingan yang menarik.
makasih kunjungannya mbak indah Juli.. smoga manfaat :)
HapusSUbhanallah ... suka dengan pendapat beliau: beliau tidak berkehendak kalau santri-santrinya terlalu mengidolakan Gus Dur tanpa penilaian proposional bahwa manusia juga tetap punya khilaf dan lupa.
BalasHapusKan biasanya - maaf ni ya ... saya menangkap bahwa banyak dari kalangan NU yang begitu fanatik sama Gus Dur. Rupanya ada juga kiyai-nya yang berpendapat seperti kiyai Abdullah Faqih ini ya.
Terimakasih mbak, perlu ada tulisan2 begini sebagai penyeimbang kesan2 yang timbul di luar kalangan NU seperti saya ini :)
aslinya banyak juga kok Kyai2 semacam guru saya itu mbak.. tapi ya entah kenapa yang terekspos bukan yang semacam ini..
Hapusbanyak sekali emang kesan dan berita yang saya sayangkan -selalu disematkan kepada orang NU-.. padahal mungkin itu cuma beberapa oknum yang diekspos ke permukaan.. orang menilai kebanyakan cuma instan tak tahu bagaimana di dalamnya.
makasih sdh mampir mbak, smoga ukhuwah kita tetap terjalin dimanapun karena menulis.. amiin :)
iya mak, saya juga gak terlalu pusing dg ttd penulis. Duluuuu,, waktu masih 'norak' sih sampai kirim2 surat ke idola di luar negeri. Syukurlah skrg udah insyaf hihihi
BalasHapushehehe.. ya emang kenapa harus pusing ya mbak?
Hapus