Senin, 06 Agustus 2012

Tak ada mudik dan tak ada opor ayam.



Hari raya idul fitri selalu dinanti. Setelah berjibaku dengan puasa selama sebulan penuh tentu saja semua menyambutnya dengan suka cita. Suka cita karena telah berakhir masa berlapar-lapar ataukah merasa diri sudah menjadi pemenang? Entahlah. Meskipun itu adalah dua alasan yang pasti kurang bagus, hanya hati masing-masing lah yang tahu jawaban sejatinya.

Idul fitri juga hampir selalu diramaikan dengan fenomena mudik, ketupat dan opor ayam. Di layar kaca yang sering kulihat selalu diberitakan tentang arus mudik orang kota yang kembali ke desanya masing-masing. Kemacetan dan hiruk pikuk perjuangan para pemudik selalu menjadi bahan berita yang sukses dibidik wartawan penjual berita. Belum lagi tragedi-tragedi kecelakaan yang mengiringinya. Duuuuh, Miris sekali melihatnya.

Namun lain ladang lain belalang. Beda sekali tradisi dan semaraknya idul fitri di kampungku (ala keluarga kecilku). Yang kebetulan aku tidak pernah merasakan yang namanya mudik. Lha hidupnya saja sudah di kampung mau mudik kemana lagi? masa ke hutan.. hehe. Istilah mudik kalau tidak salah artinya adalah orang-orang di kota yang pergi balik ke kampung halamannya. Menuju –udik- atau kampung. Dalam kenyataannya kadang ada juga sih orang yang juga tinggal di kampung tapi bilangnya mudik ke daerah lain yang sama-sama kampung juga. Atau orang yang tinggal di kota tapi mudik ke daerah asalnya yang juga perkotaan. Hmmm...

Kebetulan setelah berumah tangga aku tetap hidup di kampung yang sama tempat aku dulu dilahirkan. Cuma beda RT saja dengan orang tua, sementara rumah mertua juga cuma beda kecamatan yang bisa ditempuh perjalanan kira-kira 15 menit saja.

Sejak kecil bapak selalu mengajarkan untuk rajin silaturrahmi saat lebaran. Bagi yang muda harus datang ke rumah yang tua. Aku bersama adik-adik selalu digiring kerumah paman bibi saudaranya bapak dan ibu. Bahkan juga paman bibinya bapak ibu (memanggilnya Pak yi/mak nyi untuk saudaranya kakek nenek). Kebayang kan banyak banget yang harus kami datangi ketika lebaran. Sudah gitu, kini aku juga berjodoh dengan suami yang juga rajin sekali silaturrahmi pada keluarga besarnya. Maka jadilah lebaran kami selalu diwarnai keliling, keliling dan keliling...

“Silaturrahmi itu bisa memperpanjang umur dan mendatangkan jalan rizki” begitu kata suamiku saat terkadang terbit keluhan capek dari mulutku.

“Nanti kalau bapak sudah tua ganti tugasmu yang menggiring adik-adikmu untuk menunjukkan mana-mana kerabat kita... !” pesan bapakku setiap kali lebaran. Beliau juga kurang suka jika kami mengeluh capek dan menolak diajak bersilaturrahmi. Bahkan ada sebuah tradisi terselubung pada kaluarga besarku di masa lalu. Istilahnya adalah ‘nguripno seduluran sing kepaten obor’ yaitu menghidupkan kekerabatan yang terputus, salah satunya adalah dengan cara perjodohan. Perjodohan antar sepupu jauh yang sudah jarang berkunjung pada akhirnya bisa dekat kembali. Pada akhirnya menghasilkan fakta yang jika ditelusuri bahwa satu kampung ternyata masih dalam garis keturunan yang dekat. Artinya sekampung kalau dihitung-hitung  juga masih saudara.

 Tak dapat dipungkiri bahwa silaturrahmi itu butuh tenaga, modal materi dan yang paling penting adalah modal kemauan. Namun bisa dipastikan bahwa pada akhirnya silaturrami selalu menghasilkan ukhuwah yang indah dan berkah.

Maka jadwal kami pada lebaran hari pertama adalah 3 kali putaran keliling. Pada tetangga di lingkunganku, kemudian tetangga orang tuaku, dan selanjutnya adalah tetangga orang tua suamiku. Sembari menggiring anak-anak kami dan mengajarkan sesuatu yang telah diajarkan orang tua kami. Kemudian pada hari kedua barulah memulai pelesir ke rumah kerabat-kerabat yang berpencar tempat tinggal di berbagai sudut tempat. Asal masih bisa ditempuh sepeda motor dan kuat maka kami akan mendatangi dengan semangat. Beruntung sekali punya suami yang bukan pegawai yang dibatasi masa cuti jadi bisa leluasa mengisi lebaran dengan  libur sesuka hati.

Gambar mengambil dari SINI.

O iya... ada lagi fenomena lebaran yang tidak kalah semarak dibicarakan. Ketupat dan opor ayam sering kali disebut-sebut sebagai makanan special pada hari lebaran. Kalau di kampungku tidak ada ditemukan ketupat atau lontong pada hari pertama hingga ke enam (kecuali di kios penjual rujak sih hehe..). Baru pada hari ketujuh seusai jama’ah shubuh, orang-orang akan beramai-ramai membawa ketupat, lepet (terbuat dari ketan yang dibungkus janur dan direbus bareng ketupat), lontong dan sayur ke musholla atau masjid terdekat. Lebaran ketupat namanya, diambil dari kata kaffatain yang maknanya sempurna dua kali. Sempurna puasa ramadhannya dan sempurna tambahan 6 hari puasa syawal (bagi yang puasa).

 Sayur yang menjadi teman makan ketupat juga bukan opor ayam melainkan lodeh nangka muda/kacang panjang/rebung dan sambel goreng kentang wortel yang ditambah cecek (kulit kambing atau sapi). Murah meriah namun tetap menggoyang lidah untuk berkata ‘yummi..’.

Setelah ‘pesta’ ketupatnya usai ada lagi kegiatan unik yang juga menjadi semacam tradisi. Yaitu menerbangkan balon udara. Balon besar yang dibuat dari plastik kresek atau kertas layang-layang kemudian dialiri asap pembakaran hingga penuh dan bisa naik mengudara mewarnai langit. Meriah sekali momen-momen tersebut. Banyak yang menonton proses menerbangkan balon besar itu. Proses yang tidak mudah karena acapkali ada juga insiden gagal terbang bahkan malah kertas atau plastiknya terbakar.
Senang sekali dengan suasana pagi dengan mendongak memandang langit. Melihat balon-balon yang beterbangan, semakin ke atas semakin mengecil sembari menebak-nebak akan jatuh dimana balon-balon tersebut. Dan siapa gerangan penemu bingkisan ketupat yang biasanya digelantungkan dibawah balon.
Taqabbalallahu minna waminkum taqabbal ya karim. Kami selalu berharap penuh pada hari ketujuh syawal tersebut kami termasuk menjadi orang-orang beruntung seperti bayi yang baru dilahirkan, yang diterima penyucian dosa pada Khaliq selama ramadhan, juga penyucian dosa pada sesama makhluk selama bermaaf-maafan dalam syawal.
 Gambar berasal dari SINI.

Tidak ada mudik dan opor ayam dalam lebaran kami. Namun tetap saja suasana lebaran adalah kegembiraan yang selalu dinanti.
***

Dedikasi untuk kampungku tersayang, 
Kedawong, Diwek Jombang.




16 komentar:

  1. uwaaaaaaaaaaa,aku mudik ke jombang mbk hari jum'at....g sabar,dah kangen rumahhhhhhhhhhhhh huhuhuhu

    BalasHapus
  2. Aku mudik ke yogya... opor ayam, krecek, rendang Insya Allah ada. Makan opornya ditaburi bubuk kedelai... hmmm... makin nikmat...

    BalasHapus
  3. Untung mudikku deket..
    moga sukses ya, mba binta

    BalasHapus
  4. ga dimana2 lebaran identik dg opor&mudik:P

    BalasHapus
    Balasan
    1. pengecualian di tempatku kan mbak.. nggak identik hehe

      Hapus
  5. kl yg hari ketujuh itu yg biasanya suka ada istilah lebaran ketupat bukan sih?

    BalasHapus
    Balasan
    1. iya bener mbak.. lebaran ketupat itu hari ke7 :)

      Hapus
  6. tahun ini mudik ke wonogiri nih mbak :)

    BalasHapus

Komentar kamu adalah penyambung silaturrahmi kita, maka jangan ragu meninggalkan jejak :)

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...