Hari raya idul fitri
selalu dinanti. Setelah berjibaku dengan puasa selama sebulan penuh tentu saja
semua menyambutnya dengan suka cita. Suka cita karena telah berakhir masa
berlapar-lapar ataukah merasa diri sudah menjadi pemenang? Entahlah. Meskipun
itu adalah dua alasan yang pasti kurang bagus, hanya hati masing-masing lah
yang tahu jawaban sejatinya.
Idul fitri juga hampir selalu diramaikan dengan fenomena mudik, ketupat dan opor ayam. Di layar kaca yang
sering kulihat selalu diberitakan tentang arus mudik orang kota yang kembali ke
desanya masing-masing. Kemacetan dan hiruk pikuk perjuangan para pemudik selalu
menjadi bahan berita yang sukses dibidik wartawan penjual berita. Belum lagi
tragedi-tragedi kecelakaan yang mengiringinya. Duuuuh, Miris sekali melihatnya.
Namun lain ladang lain
belalang. Beda sekali tradisi dan semaraknya idul fitri di kampungku (ala keluarga kecilku). Yang
kebetulan aku tidak pernah merasakan yang namanya mudik. Lha hidupnya saja
sudah di kampung mau mudik kemana lagi? masa ke hutan.. hehe. Istilah mudik kalau
tidak salah artinya adalah orang-orang di kota yang pergi balik ke kampung
halamannya. Menuju –udik- atau kampung. Dalam kenyataannya kadang ada juga sih
orang yang juga tinggal di kampung tapi bilangnya mudik ke daerah lain yang
sama-sama kampung juga. Atau orang yang tinggal di kota tapi mudik ke daerah
asalnya yang juga perkotaan. Hmmm...
Kebetulan setelah
berumah tangga aku tetap hidup di kampung yang sama tempat aku dulu dilahirkan.
Cuma beda RT saja dengan orang tua, sementara rumah mertua juga cuma beda kecamatan
yang bisa ditempuh perjalanan kira-kira 15 menit saja.
Sejak kecil bapak
selalu mengajarkan untuk rajin silaturrahmi saat lebaran. Bagi yang muda harus
datang ke rumah yang tua. Aku bersama adik-adik selalu digiring kerumah paman
bibi saudaranya bapak dan ibu. Bahkan juga paman bibinya bapak ibu (memanggilnya
Pak yi/mak nyi untuk saudaranya kakek nenek). Kebayang kan banyak banget yang
harus kami datangi ketika lebaran. Sudah gitu, kini aku juga berjodoh dengan suami
yang juga rajin sekali silaturrahmi pada keluarga besarnya. Maka jadilah lebaran kami
selalu diwarnai keliling, keliling dan keliling...
“Silaturrahmi itu bisa
memperpanjang umur dan mendatangkan jalan rizki” begitu kata suamiku saat
terkadang terbit keluhan capek dari mulutku.
“Nanti kalau bapak sudah
tua ganti tugasmu yang menggiring adik-adikmu untuk menunjukkan mana-mana
kerabat kita... !” pesan bapakku setiap kali lebaran. Beliau juga kurang suka
jika kami mengeluh capek dan menolak diajak bersilaturrahmi. Bahkan ada sebuah
tradisi terselubung pada kaluarga besarku di masa lalu. Istilahnya adalah ‘nguripno
seduluran sing kepaten obor’ yaitu menghidupkan kekerabatan yang terputus,
salah satunya adalah dengan cara perjodohan. Perjodohan antar sepupu jauh yang
sudah jarang berkunjung pada akhirnya bisa dekat kembali. Pada akhirnya
menghasilkan fakta yang jika ditelusuri bahwa satu kampung ternyata masih dalam
garis keturunan yang dekat. Artinya sekampung kalau dihitung-hitung juga masih saudara.
Tak dapat dipungkiri
bahwa silaturrahmi itu butuh tenaga, modal materi dan yang paling penting
adalah modal kemauan. Namun bisa dipastikan bahwa pada akhirnya silaturrami
selalu menghasilkan ukhuwah yang indah dan berkah.
Maka jadwal kami pada
lebaran hari pertama adalah 3 kali putaran keliling. Pada tetangga di
lingkunganku, kemudian tetangga orang tuaku, dan selanjutnya adalah tetangga
orang tua suamiku. Sembari menggiring anak-anak kami dan mengajarkan sesuatu
yang telah diajarkan orang tua kami. Kemudian pada hari kedua barulah memulai
pelesir ke rumah kerabat-kerabat yang berpencar tempat tinggal di berbagai sudut
tempat. Asal masih bisa ditempuh sepeda motor dan kuat maka kami akan
mendatangi dengan semangat. Beruntung sekali punya suami yang bukan pegawai
yang dibatasi masa cuti jadi bisa leluasa mengisi lebaran dengan libur sesuka hati.
Gambar mengambil dari SINI.
O iya... ada lagi
fenomena lebaran yang tidak kalah semarak dibicarakan. Ketupat dan opor ayam
sering kali disebut-sebut sebagai makanan special pada hari lebaran. Kalau di
kampungku tidak ada ditemukan ketupat atau lontong pada hari pertama hingga ke
enam (kecuali di kios penjual rujak sih hehe..). Baru pada hari ketujuh seusai
jama’ah shubuh, orang-orang akan beramai-ramai membawa ketupat, lepet (terbuat
dari ketan yang dibungkus janur dan direbus bareng ketupat), lontong
dan sayur ke musholla atau masjid terdekat. Lebaran ketupat namanya, diambil
dari kata kaffatain yang maknanya sempurna dua kali. Sempurna puasa
ramadhannya dan sempurna tambahan 6 hari puasa syawal (bagi yang puasa).
Sayur yang menjadi
teman makan ketupat juga bukan opor ayam melainkan lodeh nangka muda/kacang
panjang/rebung dan sambel goreng kentang wortel yang ditambah cecek (kulit
kambing atau sapi). Murah meriah namun tetap menggoyang lidah untuk berkata
‘yummi..’.
Setelah ‘pesta’
ketupatnya usai ada lagi kegiatan unik yang juga menjadi semacam tradisi. Yaitu
menerbangkan balon udara. Balon besar yang dibuat dari plastik kresek atau
kertas layang-layang kemudian dialiri asap pembakaran hingga penuh dan bisa
naik mengudara mewarnai langit. Meriah sekali momen-momen tersebut. Banyak yang
menonton proses menerbangkan balon besar itu. Proses yang tidak mudah karena
acapkali ada juga insiden gagal terbang bahkan malah kertas atau plastiknya
terbakar.
Senang sekali dengan
suasana pagi dengan mendongak memandang langit. Melihat balon-balon yang
beterbangan, semakin ke atas semakin mengecil sembari menebak-nebak akan jatuh
dimana balon-balon tersebut. Dan siapa gerangan penemu bingkisan ketupat yang
biasanya digelantungkan dibawah balon.
Taqabbalallahu minna waminkum
taqabbal ya karim. Kami selalu berharap penuh pada hari
ketujuh syawal tersebut kami termasuk menjadi orang-orang beruntung seperti bayi
yang baru dilahirkan, yang diterima penyucian dosa pada Khaliq selama ramadhan,
juga penyucian dosa pada sesama makhluk selama bermaaf-maafan dalam syawal.
Gambar berasal dari SINI.
Tidak ada mudik dan
opor ayam dalam lebaran kami. Namun tetap saja suasana lebaran adalah
kegembiraan yang selalu dinanti.
***
Dedikasi untuk kampungku tersayang,
Kedawong, Diwek Jombang.
uwaaaaaaaaaaa,aku mudik ke jombang mbk hari jum'at....g sabar,dah kangen rumahhhhhhhhhhhhh huhuhuhu
BalasHapusbr sempat jawab.. silahkan mampir mbak :)
HapusAku mudik ke yogya... opor ayam, krecek, rendang Insya Allah ada. Makan opornya ditaburi bubuk kedelai... hmmm... makin nikmat...
BalasHapusnyam nyam ^^
Hapusjadi pengen mudik.hikss....
BalasHapusmaaaf klo malah bikin sedih ya mbak
HapusUntung mudikku deket..
BalasHapusmoga sukses ya, mba binta
makasih mbak ley :)
Hapusga dimana2 lebaran identik dg opor&mudik:P
BalasHapuspengecualian di tempatku kan mbak.. nggak identik hehe
Hapuskl yg hari ketujuh itu yg biasanya suka ada istilah lebaran ketupat bukan sih?
BalasHapusiya bener mbak.. lebaran ketupat itu hari ke7 :)
HapusMudik jalan kaki aja Mbak...:)
BalasHapus:P
Hapustahun ini mudik ke wonogiri nih mbak :)
BalasHapussmoga lancar pejalanannya ya mbak :)
Hapus