Senin, 18 Juni 2012

MUTIARA DARI KANGMAS




Pernahkah terpikir dalam lingkup seberkas gerakan hati. Kemana arah kita membelanjakan uang yang sedang bersarang dalam dompet atau kantong saku?? untuk sekedar memenuhi kebutuhan primer, sekunder, tersier atau mungkin ekstra lux dalam laju hidup kita. Membeli pakaian, sekedar menambah koleksi yang sudah ada. Atau beberapa aksesoris yang sebenarnya bukan kebutuhan mendesak, cemilan, makanan untuk memberi setuhan seni pada tuntutan lidah yang ingin menari, apalagi?


Hanya ingin sekedar berbagi kisah tentang lahirnya sebuah pemahaman baru dalam perjalanan kehidupanku.

Dulu, aku paling cerewet kalau membeli dan memilih sesuatu. Jika berbelanja ke pasar. Suka putar-putar keliling dulu untuk mencari yang paling pas dengan selera, yang paling berkwalitas tapi murah (mayoritas insting manusia memang tak mau rugi kan.. hehe). Putar-putar sampe capek pun tak masalah. Asalkan sesuai dengan pilihan hati. Apalagi saat kota kecil kami mulai dipersolek oleh penguasa modal. Dengan menjamurnya mini market yang bersih dan dagangan tertata indah, sungguh nyaman untuk berbelanja. Rasanya biar punya dompet tipis pun tetep semangat buat jalan-jalan belanja. Memanjakan mata meski tak niat beli. Aku jarang mau membeli dagangan yang tinggal sedikit dan tak memberi keleluasaan untuk memilih dan membandingkan. Entahlah...

Dalam alur yang mempertemukan aku dengan teman hidup. Ternyata suamiku adalah seorang pedagang pakaian. Tepatnya adalah sales pakaian yang memasok kemeja dan celana cowok ke pasar-pasar tradisional. Dia punya banyak teman sesama sales dan pedagang pasar. Dan sanak kerabat dari pihak keluarganya mayoritas juga berprofesi sebagai pedagang berbagai kebutuhan masyarakat.
Kesemuanya tiba-tiba membuat perubahan dalam hidupku. Perubahan tentang kebiasaan dan perenungan dalam memandang sebuah perputaran uang.
Yup... zaman terus berlenggang. Tak peduli pada kaki-kaki ringkih yang berlomba mengejar. Di kota kecilku kini telah dibangun sebuah pusat perbelanjaan yang cukup wah bagi orang-orang kampung. KERATON mall...  namanya. Dengan fasilitas eskalator atau tangga berjalan seperti yang sering terlihat di sinetron layar kaca, sungguh memikat konsumen dari penjuru daerah Jombang dan sekitarnya. Berduyun berdesakan orang-orang datang kesana... sungguh keren pokoknya kalau bisa cerita...

“Aku dah pernah ke keraton lho....”
“Baju ini beli di keraton.. suer..”....

Begitupun aku, sempat pengen banget menginjakkan kaki di shoping mall yang baru buka itu. Banyak yang bilang sedang banjir promo karena masih baru dan tempatnya luas, bagus banget. Namun suamiku tak memberikan respon yang antusias seperti diriku. Dia hanya mengangguk tanpa tersenyum namun juga tak melarang kemauanku.

Maka berangkatlah kami ke keraton, melihat betapa ramainya sehingga area parkir seolah muntah ke badan jalan raya. Meluber ke depan beberapa toserba di kanan kirinya. Sempat miris juga melihat pemandangan itu. Seolah berbicara tentang perasaan tergilas oleh kekuatan uang. Ya... toserba-toserba mini mendadak jadi senyap tanpa warna. Dan sengaja aku melempar pandang pada pasar legi (pasar tradisional) yang letaknya tak jauh dari keraton. Dapat terlihat perbedaan mencolok dalam keramaian pengunjungnya seperti mendung yang merindukan cerah. Ah...

Memasuki area pusat perbelanjaan. Mata dimanjakan dengan aneka rupa produk yang tertata indah. Dilantai bawah kebanyakan adalah deretan makanan, cemilan dan wahana permainan anak. Di sela-selanya juga terdapat outlet-outlet mini makanan cepat saji yang bau harum masakannya menyebar menggoda hidung siapa saja.

Kami meneruskan langkah menuju eskalator.
“Duh.... Mas aku naik tangga saja ah...” jujur aku ngaku takut kejepit kalau melompat pertama di eskalator, dari pada kelihatan kampungannya didepan banyak orang hehe... jadilah kami berpisah sebentar karena masalah alat bantu naik ke lantai atas itu. Sampai di lantai dua. Tak hanya mata yang di manja, bahkan telinga dan kulit pun dibelai dengan alunan musik dan hawa sejuk kipas-kipas yang tak lelah berputar. Dengan langkah ringan namun pasti aku mulai putar-putar di arena fashion. Hmmm, banyak model dari kelas ‘wah’ sampai yang paling murahan dengan bandrol harga yang ternyata ga bisa di tawar. Wew, musti tambah jeli nih dalam pilih memilih. Tak begitu peduli pada kangmas yang mengekor langkahku dengan  raut enggan. Aku terus berjalan, mencari yang ini yang itu, semua harus seperti yang kumau hehe.

Kami pulang dengan membawa lelah. Bersama sekantong belanjaan yang ternyata membengkak dari daftar kebutuhan yang terjadwal sebelumnya. Akibat lapar mata yang seolah menuntut dengan kuat untuk dipuaskan.

“Oh Robby..” aku memandang dengan lelah dan secuil sesal. Ternyata banyak barang sebenarnya belum terlalu dibutuhkan. Hanya karena tergoda diskon dan hadiah-hadiah kecil bisa menguras kantong begitu rupa. Kangmas memandangku tanpa ekspresi. Aduh..

“Kita mencari rejeki dengan berdagang dek, aku seneng banget jika banyak orang yang membeli karena itulah pintu rejeki kita...” kangmas diam, apa maksudnya sih...?

“Kalau kita mau membeli dagangan dari teman atau kerabat kita sendiri paling tidak kita sudah membantu datangnya rejeki mereka. Bahkan mereka selalu memberi harga murah untuk persahabatan dan persaudaraan...” glekk.. nyindir nih, aku cemberut. Kangmas meninggalkan tempatku duduk dan menghentikan pembicaraan. Dia memilih bermain dengan anak-anak.

Fyuh... aku jadi teringat pada novel ‘ayat-ayat cinta’ karya kang abik yang pernah kubaca. Pada salah satu halaman diceritakan Fahri yang membeli 2 buah boneka karena sang penjual menghiba ingin dagangannya laku. Fahri teringat pada masa kecilnya yang berjualan tape bersama sang ayah, betapa bahagia rasa hati saat barang dagangan ada yang membeli. Hingga 2 boneka itu yang mengantarnya pada benang merah dengan Aisya. Sweet, hikmah yang terselip dengan manis.

Hiks, rasanya memang ada yang perlu dibenahi. Memposisikan diri menjadi pihak yang memang butuh pembeli. Bukankah keinginan belanja di tempat-tempat yang ‘wah’ dan keren sama halnya membuat pemilik modal besar tambah makmur dan pemilik modal kecil perlahan tergusur. Jika kita membeli pada teman atau saudara sendiri (yang kebanyakan adalah pedagang dengan modal kecil), maka bisa jadi kita menjadi jalan masuk rejeki mereka. Kalkulasi yang masuk akal kan?

Dan tentang rejeki seperti yang dibicarakan suamiku, kita memang tak punya wewenang untuk sok ngebantu malaikat mikail membagi rizki pada semesta. Tapi apa salahnya..? dipikir secara logika tetap lebih banyak benarnya. Ah rasanya ada pelangi yang tiba-tiba mewarnai ruang hati. Betapa beruntung aku punya ‘lelaki’ itu. Aku tersenyum memandangnya dari jauh. Ada raut kelegaan melihat rona cemberutku yang masam sudah hilang dari peredaran hehe,

Sejak itu aku berusaha tak lagi cerewet dalam memilih dan membeli sesuatu. Tentang pakaian, jadi lebih sering beli pada teman-teman suami sambil silaturrahmi ke rumah mereka. Dan ternyata membawa point positif aku jadi bertambah teman baru, istri-istri dari teman suami. Berikut cerita-cerita baru tentang berbagai warna hidup manusia. Bahkan kami sering dapat harga murah dengan tanpa menawar berbelit-belit.

Terkadang aku mendapati suamiku yang membeli sesuatu yang sebenarnya tidak dia inginkan, hanya karena penjualnya adalah nenek tua yang membawa dagangannya sambil berjalan dari rumah ke rumah.

Inilah sekolah kehidupan, dengan guru paling dekat di sampingku. Layaknya mutiara yang dihadiahkan kepadaku. Indah dan cerah menerangi ruang jiwa yang kadang sering kusut dan kusam. Rasanya aku tak akan menuntut di belikan mutiara asli yang mahal. Hmmm, tapi kalau dibelikan sih gak nolak wkwkw.. cukuplah aku menjaga yang ini, dalam dekapan waktu.

$%#$%#





4 komentar:

  1. yg namanya belanja memang selalu menggoda mbak.. Hehe..

    BalasHapus
  2. Ia belanja itu sangat menggoda, sering lapar mata jadinya >.<
    Ahh suami mbak keren, tidak melarang dan menegur dengan keras, tapi malah membuat kita sadar sendiri :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. hehe.. sering lapar mata. Kalau diingetin keras2 perempuan kayak tulang bengkok jd ngambekan hehehe

      Hapus

Komentar kamu adalah penyambung silaturrahmi kita, maka jangan ragu meninggalkan jejak :)

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...