Pernahkah terpikir
dalam lingkup seberkas gerakan hati. Kemana arah kita membelanjakan uang yang
sedang bersarang dalam dompet atau kantong saku?? untuk sekedar memenuhi
kebutuhan primer, sekunder, tersier atau mungkin ekstra lux dalam laju hidup
kita. Membeli pakaian, sekedar menambah koleksi yang sudah ada. Atau beberapa
aksesoris yang sebenarnya bukan kebutuhan mendesak, cemilan, makanan untuk
memberi setuhan seni pada tuntutan lidah yang ingin menari, apalagi?
Hanya ingin sekedar
berbagi kisah tentang lahirnya sebuah pemahaman baru dalam perjalanan
kehidupanku.
Dulu, aku
paling cerewet kalau membeli dan memilih sesuatu. Jika berbelanja ke pasar.
Suka putar-putar keliling dulu untuk mencari yang paling pas dengan selera,
yang paling berkwalitas tapi murah (mayoritas insting manusia memang tak mau
rugi kan.. hehe). Putar-putar sampe capek pun tak masalah. Asalkan sesuai
dengan pilihan hati. Apalagi saat kota kecil kami mulai dipersolek oleh
penguasa modal. Dengan menjamurnya mini market yang bersih dan dagangan tertata
indah, sungguh nyaman untuk berbelanja. Rasanya biar punya dompet tipis pun
tetep semangat buat jalan-jalan belanja. Memanjakan mata meski tak niat beli. Aku
jarang mau membeli dagangan yang tinggal sedikit dan tak memberi keleluasaan
untuk memilih dan membandingkan. Entahlah...
Dalam alur yang
mempertemukan aku dengan teman hidup. Ternyata suamiku adalah seorang pedagang
pakaian. Tepatnya adalah sales pakaian yang memasok kemeja dan celana cowok ke
pasar-pasar tradisional. Dia punya banyak teman sesama sales dan pedagang
pasar. Dan sanak kerabat dari pihak keluarganya mayoritas juga berprofesi
sebagai pedagang berbagai kebutuhan masyarakat.
Kesemuanya
tiba-tiba membuat perubahan dalam hidupku. Perubahan tentang kebiasaan dan
perenungan dalam memandang sebuah perputaran uang.
Yup... zaman
terus berlenggang. Tak peduli pada kaki-kaki ringkih yang berlomba mengejar. Di
kota kecilku kini telah dibangun sebuah pusat perbelanjaan yang cukup wah bagi
orang-orang kampung. KERATON mall... namanya. Dengan fasilitas eskalator atau
tangga berjalan seperti yang sering terlihat di sinetron layar kaca, sungguh
memikat konsumen dari penjuru daerah Jombang dan sekitarnya. Berduyun
berdesakan orang-orang datang kesana... sungguh keren pokoknya kalau bisa
cerita...
“Aku dah pernah
ke keraton lho....”
“Baju ini beli
di keraton.. suer..”....
Begitupun aku,
sempat pengen banget menginjakkan kaki di shoping mall yang baru buka itu.
Banyak yang bilang sedang banjir promo karena masih baru dan tempatnya luas, bagus
banget. Namun suamiku tak memberikan respon yang antusias seperti diriku. Dia
hanya mengangguk tanpa tersenyum namun juga tak melarang kemauanku.
Maka berangkatlah
kami ke keraton, melihat betapa ramainya sehingga area parkir seolah muntah ke
badan jalan raya. Meluber ke depan beberapa toserba di kanan kirinya. Sempat
miris juga melihat pemandangan itu. Seolah berbicara tentang perasaan tergilas
oleh kekuatan uang. Ya... toserba-toserba mini mendadak jadi senyap tanpa
warna. Dan sengaja aku melempar pandang pada pasar legi (pasar tradisional)
yang letaknya tak jauh dari keraton. Dapat terlihat perbedaan mencolok dalam
keramaian pengunjungnya seperti mendung yang merindukan cerah. Ah...
Memasuki area
pusat perbelanjaan. Mata dimanjakan dengan aneka rupa produk yang tertata
indah. Dilantai bawah kebanyakan adalah deretan makanan, cemilan dan wahana
permainan anak. Di sela-selanya juga terdapat outlet-outlet mini makanan cepat
saji yang bau harum masakannya menyebar menggoda hidung siapa saja.
Kami meneruskan
langkah menuju eskalator.
“Duh.... Mas
aku naik tangga saja ah...” jujur aku ngaku takut kejepit kalau melompat
pertama di eskalator, dari pada kelihatan kampungannya didepan banyak orang
hehe... jadilah kami berpisah sebentar karena masalah alat bantu naik ke
lantai atas itu. Sampai di lantai dua. Tak hanya mata yang di manja, bahkan
telinga dan kulit pun dibelai dengan alunan musik dan hawa sejuk kipas-kipas
yang tak lelah berputar. Dengan langkah ringan namun pasti aku mulai putar-putar
di arena fashion. Hmmm, banyak model dari kelas ‘wah’ sampai yang paling
murahan dengan bandrol harga yang ternyata ga bisa di tawar. Wew, musti tambah
jeli nih dalam pilih memilih. Tak begitu peduli pada kangmas yang mengekor
langkahku dengan raut enggan. Aku terus
berjalan, mencari yang ini yang itu, semua harus seperti yang kumau hehe.
Kami pulang
dengan membawa lelah. Bersama sekantong belanjaan yang ternyata membengkak dari
daftar kebutuhan yang terjadwal sebelumnya. Akibat lapar mata yang seolah
menuntut dengan kuat untuk dipuaskan.
“Oh Robby..”
aku memandang dengan lelah dan secuil sesal. Ternyata banyak barang sebenarnya
belum terlalu dibutuhkan. Hanya karena tergoda diskon dan hadiah-hadiah kecil
bisa menguras kantong begitu rupa. Kangmas memandangku tanpa ekspresi. Aduh..
“Kita mencari
rejeki dengan berdagang dek, aku seneng banget jika banyak orang yang membeli
karena itulah pintu rejeki kita...” kangmas diam, apa maksudnya sih...?
“Kalau kita mau
membeli dagangan dari teman atau kerabat kita sendiri paling tidak kita sudah
membantu datangnya rejeki mereka. Bahkan mereka selalu memberi harga murah
untuk persahabatan dan persaudaraan...” glekk.. nyindir nih, aku
cemberut. Kangmas meninggalkan tempatku duduk dan menghentikan pembicaraan. Dia
memilih bermain dengan anak-anak.
Fyuh... aku
jadi teringat pada novel ‘ayat-ayat cinta’ karya kang abik yang pernah kubaca. Pada salah satu halaman diceritakan Fahri yang membeli 2 buah boneka
karena sang penjual menghiba ingin dagangannya laku. Fahri teringat pada masa
kecilnya yang berjualan tape bersama sang ayah, betapa bahagia rasa hati saat
barang dagangan ada yang membeli. Hingga 2 boneka itu yang mengantarnya pada
benang merah dengan Aisya. Sweet, hikmah yang terselip dengan manis.
Hiks, rasanya
memang ada yang perlu dibenahi. Memposisikan diri menjadi pihak yang memang
butuh pembeli. Bukankah keinginan belanja di tempat-tempat yang ‘wah’ dan keren
sama halnya membuat pemilik modal besar tambah makmur dan pemilik modal kecil
perlahan tergusur. Jika kita membeli pada teman atau saudara sendiri (yang
kebanyakan adalah pedagang dengan modal kecil), maka bisa jadi kita menjadi
jalan masuk rejeki mereka. Kalkulasi yang masuk akal kan?
Dan tentang
rejeki seperti yang dibicarakan suamiku, kita memang tak punya wewenang untuk
sok ngebantu malaikat mikail membagi rizki pada semesta. Tapi apa salahnya..?
dipikir secara logika tetap lebih banyak benarnya. Ah rasanya ada pelangi yang
tiba-tiba mewarnai ruang hati. Betapa beruntung aku punya ‘lelaki’ itu. Aku
tersenyum memandangnya dari jauh. Ada raut kelegaan melihat rona cemberutku
yang masam sudah hilang dari peredaran hehe,
Sejak itu aku
berusaha tak lagi cerewet dalam memilih dan membeli sesuatu. Tentang pakaian,
jadi lebih sering beli pada teman-teman suami sambil silaturrahmi ke rumah
mereka. Dan ternyata membawa point positif aku jadi bertambah teman baru,
istri-istri dari teman suami. Berikut cerita-cerita baru tentang berbagai warna
hidup manusia. Bahkan kami sering dapat harga murah dengan tanpa menawar
berbelit-belit.
Terkadang aku
mendapati suamiku yang membeli sesuatu yang sebenarnya tidak dia inginkan,
hanya karena penjualnya adalah nenek tua yang membawa dagangannya sambil
berjalan dari rumah ke rumah.
Inilah sekolah
kehidupan, dengan guru paling dekat di sampingku. Layaknya mutiara yang
dihadiahkan kepadaku. Indah dan cerah menerangi ruang jiwa yang kadang sering
kusut dan kusam. Rasanya aku tak akan menuntut di belikan mutiara asli yang
mahal. Hmmm, tapi kalau dibelikan sih gak nolak wkwkw.. cukuplah aku menjaga
yang ini, dalam dekapan waktu.
$%#$%#
yg namanya belanja memang selalu menggoda mbak.. Hehe..
BalasHapushehe.. banget mbak ;)
HapusIa belanja itu sangat menggoda, sering lapar mata jadinya >.<
BalasHapusAhh suami mbak keren, tidak melarang dan menegur dengan keras, tapi malah membuat kita sadar sendiri :)
hehe.. sering lapar mata. Kalau diingetin keras2 perempuan kayak tulang bengkok jd ngambekan hehehe
Hapus