Rabu, 13 Juni 2012

Mengajarkan anak pada bahasa tanah kelahirannya.







Suatu hari aku pernah kedatangan tamu seorang teman yang mana anaknya dibiasakan berbahasa indonesia. Maklum sekali karena dia dan istrinya beda suku jadi mengajari anaknya bahasa nasional. Ketika berbincang dan bermain-main dengan anakku yang sehari-hari kami biasakan berbahasa jawa, agaknya mereka kurang nyambung. Dan yang namanya anak-anak memang biasa terjadi pertengkaran kecil yang ujung-ujungnya gampang sekali untuk rukun kembali.
“Maaf.. mungkin karena nggak nyambung bahasanya ya, jadi rame.. Fahri kami ajarkan bahasa jawa saja.”
“Lho emangnya kita ini orang indonesia apa orang jawa??” tiba-tiba temanku itu menanggapi dengan serius dan berapi-api. Sepertinya menganggapku tidak nasionalis, fanatis kedaerahan atau bagaimana, aku juga kurang faham. ‘Lho?’.....
“Iya orang indonesia dan jawa juga sih... hehe.” jawabku dengan nada canda namun ternyata terasa garing.
Sedikit cuplikan kejadian itu membuatku berpikir. Belakangan di kampungku yang notabene-nya bahasa untuk berinteraksi sehari-hari yang digunakan adalah pyur bahasa jawa. Ternyata ada beberapa pasangan muda yang mulai mengajarkan bahasa indonesia sejak dini pada anak-anaknya. Bahasa sehari-hari di rumah tak pernah menggunakan bahasa jawa. Sehingga hasilnya sang anak kurang mengerti bahasa jawa, bahasa daerahnya sendiri. Mirisnya lagi, adakalanya anak-anak itu bisa berbahasa jawa namun tidak bisa ber-kromo inggil pada orang yang lebih tua. Sehingga dinilai kesopanannya kurang.
Dalam bahasa jawa sangat kompleks sekali tata caranya. Beda ucapan ketika beda orang yang di ajak bicara. Menurutku itu bukan peng-kotak-kotakan manusia karena derajat atau kastanya. Namun pada dasarnya perbedaan bahasa dengan melihat orang yang diajak bicara tersebut lebih mengacu pada ilmu sopan santun dan etika ramah tamah yang dijunjung tinggi oleh masyarakat jawa dan bangsa indonesia pada umumnya.
Rasulullah saja menyarankan agar jangan memanggil cuma nama saja pada bapaknya. Dapat diartikan bahwa harus menggunakan bahasa yang sopan dalam memanggil dan berbicara kepada bapak/orang tua. Sama halnya menyebut ‘kamu’ saja pada orang tua rasanya juga kurang sopan. ‘Kamu’ yang dalam bahasa jawa bisa menjadi 3 macam sebutan. Kowe, jika yang bicara pada yang lebih muda. Sampeyan atau disingkat jadi peyan, jika berbicara pada usia sebaya. Dan panjenengan, jika berbicara pada orang tua.
Makanya aku mempertahankan kebiasaan berbahasa jawa pada anak-anak. Dengan pemikiran bahwa untuk urusan bahasa indonesia nanti di sekolah juga pasti diajarkan. Sejak kecil aku berbahasa jawa tapi nyatanya juga bisa bahasa indonesia meskipun tidak kuliah di jurusan bahasa indonesia. Toh kita hidup di negara indonesia kan... bukan di negara ceko!
Aku membayangkan bagaimana jadinya jika semua anak tak lagi diajak bahasa jawa oleh orang tuanya yang aslinya tulen dari kampung di pelosok jawa. Hanya bisa bahasa indonesia. Apa lama-lama tidak akan hilang bahasa daerah itu? hmmm...
Bahasa jawa menurutku adalah bahasa yang kaya (tanpa bermaksud mengecilkan arti bahasa daerah lain lho ya... semua bahasa daerah punya keunikan masing-masing yang harusnya dilestarikan oleh pemiliknya kan?). Dan juga bukan bermaksud mencela pemikiran para orang tua yang lebih memilih membiasakan anak-anaknya berbahasa indonesia sejak kecil. Semua orang punya pilihan dan alasan masing-masing. Bisa jadi seperti teman yang aku ceritakan di atas. Yaitu karena ayah dan ibu berasal dari dua suku yang tidak sama sehingga akan rancu dan membingungkan jika anak diajak bicara dalam dua bahasa. Alasan lain yang sering terdengar dikemukakan adalah agar anak nantinya tidak kaget dengan pelajaran sekolah zaman sekarang yang semuanya langsung disampaikan dengan bahasa indonesia. Lebih cepat menyerap pelajaran karena sudah menguasai bahasa maka pasti akan lebih pintar.
Namun sekali lagi. Aku hanya menyayangkan para orang tua yang sama-sama dari kampung tanah jawa. Yang tidak ikut berusaha mewariskan bahasa daerah kami pada anak turunnya, sebuah kekayaan budaya asli dari indonesia. Mencintai negeri bukankah berarti juga harus menjaga baik-baik apa yang dimilikinya?
Dalam hal ini aku melihat perkembangan Fahri, anak sulungku yang sekarang menginjak usia 6 tahun. Alhamdulillah meski sehari-hari berbahasa jawa namun lambat laun dia juga faham dengan bahasa indonesia. Dari TV, radio, lirik-lirik musik yang kerap kali mengudara saat ada masyarakat yang hajatan, film kartun dan lain-lain. Tidak dipaksa pun dia sedikit-demi sedikit memahami berbagai percakapan bahasa indonesia.
Bahkan topik translate bahasa dari jawa ke indonesia atau indonesia ke jawa itu menjadi bahan perbincangan kami sewaktu-waktu.
Bu, Suami niku nopo?[1]” tanya Fahri. Maka aku harus mengartikan bahasa jawanya plus menjabarkan keterangan seputar kata ‘suami’. Namanya anak kecil yang selalu ingin tahu apapun yang baru dan mencuri perhatiannya. Dari satu kata saja bisa menjadi pembahasan banyak hal.
Setelah kujelaskan apa itu suami dalam bahasa jawa, Fahri segera mengambil contoh bahwa dia itu suami dari Zahra adik perempuannya. Hah?!! Tentu saja bukan begitu dong sayang.... ketika kujelaskan bahwa Fahri nggak boleh menjadi suami dari adeknya dia kembali bertanya “Lha terus aku mene-mene dadi bojone sinten?[2]” hehehe, akhirnya hanya kujawab ‘wallahu a’lam’ kalau Fahri sudah besar nanti pasti mengerti.


Hmmm, intinya dari perbincangan-perbincangan itu meski dalam suasana santai namun juga pembelajaran tiada henti bagi kami. Bagi Fahri setaiap hari sedapatnya dia menabung kosa kata baru bahasa indonesia tanpa mengurangi kemampuannya berbahasa jawa. Bahkan mempelajari tiga tingkatan bahasa dari ngoko (kasar), kromo (medium), kromo inggil (halus) sesungguhnya juga tidak mudah. Perlu waktu dan kontinyu melakukannya. Kemudian bagiku juga pembelajaran secara otodidak tentang sebuah cara menjelaskan, menjabarkan arti suatu kata dalam pemahaman sederhana seorang anak (dalam bahasa jawa tentunya). Kesemuanya lebih sering harus secara spontan karena pertanyaan-pertanyaan anak tidak pernah dapat diprediksi besok atau lusa akan bertanya apa. Fahri juga sering tak puas dengan sekedar translate bahasanya namun  juga penjelasan lanjutan tentang apa-apa yang berhubungan dengan satu kata yang ingin dia ketahui.
Yup, mungkin setiap orang tua keadaannya berbeda denganku. Dan tentu saja semua punya ideologi masing-masing tentang mengarahkan dan mewarnai anak-anaknya kemana dan bagaimana. Namun inilah pilihanku. Sebagai salah satu cara mencintai indonesiaku. Senang sekali jika melihat orang batak, betawi, sunda yang tetap percaya diri dan bangga menggunakan bahasanya di ranah media layar kaca. Maka, bukan hal yang aneh kan jika aku ingin kelak anak-anakku tidak tumbuh menjadi seseorang yang dikenal berasal dari daerah jawa namun sama sekali tak bisa berbahasa jawa.
Ini pilihanku. Bagaimana dengan anda? :)
***


[1] Bu, suami itu apa?
[2] Terus aku besok-besok jadi suaminya siapa?


------------------------------------
Tulisan ini diikutkan lomba blog Paling Indonesia yang diselenggarakan oleh komunitas blogger Anging Mammiri bekerja sama dengan Telkomsel Area Sulampapua (Sulawesi - Maluku - Papua)

14 komentar:

  1. salam kenal mak....setuju, anak2 emang harus dikenalnya bahasa daerah agar bahasa ibu ini tidka hilang tergerus jaman.

    BalasHapus
    Balasan
    1. iya mbak. kalau bukan kita ya siapa lagi? :)
      salam kenal juga :)

      Hapus
  2. aku paling suka denger anak kecil ngomong bahasa jawa, walaupun aku sendiri orang sunda. lucu aga gitu yaaa... alhamdulillah sedikit2 aku juga mengajarkan hal serupa sama anak2. tfs ya mak

    BalasHapus
    Balasan
    1. saya dulu di pesantren jg kumpul sama orang sunda, madura.. unik2 deh mbak.. dan salut dengan mereka yang selalu pede menggunakan bahasa tempat tinggalnya.. :)

      Hapus
  3. saya termasuk org jawa yg ga bs berbahasa jawa,, hee... lahir dan besar di jakarta, orangtua d rumah jg ga pernah berbahasa jawa... ^^ sekarang, dapet suami org jogja, trs punya anak msh bayi, dan kami skrg tinggal d jepang.. nah loh?? bahasa apa nih yg mesti diajarin k anak saya? hehe.... skrg sih d rmh saya berbahasa indonesia sama anak saya, kalau pergi keluar dan bertemu org jepang baru berbahasa jepang... mudah2an anak saya ga mengalami bingung bahasa... :(

    BalasHapus
    Balasan
    1. wah keren dong kecil2 nanti sdh langsung mahir bahasa jepang :D.
      memang belajar bahasa paling enak tuh langsung dari lingkungan ya mbak.. saya menyorot orang yg lingkungannya asli kampung dgn bahasa jawa sehari2 tp mengajari anak mereka dgn bahasa indosia saja.. sayang banget kan. klo mbak ini kan emang di rantau.. paling tdk ntar kalau pulang kampung sedikit2 bisa cerita.. ini lho bahasa leluhur kita, kekayaan kita :)
      makasih sdh mampir ya mbak :)

      Hapus
  4. heheh.. sebetulnya saya agak "lucu" ketika temennya mbak ty "kita ini org Jawa atau Indonesia?"

    Kl mnrt sy memang gak ada salahnya kalo kita berbahasa Indonesia, krn biar gimana kita kan org Indonesia yang akan bertemu dg berbagai macam suku bangsa

    Tp kl ada yg fasih juga dg bahasa daerahnya masing malah lebih plus lagi nilainya :)

    BalasHapus
  5. Wah, langkah yang bagus mbak Binta. Anak-anak sekarang banyak yang tidak tahu lagi bahasa daerah. kalau kita tidak melestarikannya dari sekarang, bisa-bisa akan punah di waktu mendatang. aku juga mengajarkan anakku berbahasa daerah. Kutulis dalam artikel untuk lomba ini juga
    <\Makasih udah sharing mbak :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. yup.. smoga tulisan kita (meski gak menang.. tapi ngarepnya menang yaaa :D) bisa membantu pelestarian budaya ya seenggaknya :)

      Hapus
  6. aku pemakai mbak.hehe...pemakai bahasa indonesia dan jawa di rumah.meski suami orang mandailing.justru beliau jarang pake bahasa mandailing karena aku sama sekali gak tau.hanya akhir2 ini aja aku belajar dikit.kalo disuruh ngomong bahasa mandailing tetep gak bs.cuma bisa "modom jolo" karena itu hoby saya.artinya tidur dulu.xixixi...Ola malah sering sedikit terucap bahasa jawa karena mamanya suka keceplos bahasa jawa.dan mamanya gak malu kok meski masih medok ngomong jawanya.

    BalasHapus
  7. Almarhumah ibuku dulu pernah berkata,"kowe arep tekan inggris, amirika, opo ngendi wae...ojo lali karo boso jowo." Sekarang aku bisa lebih dalam memahami maknanya bahwa kita harus tetap ingat dari mana kita berasal walau kita sudah berada jauh dr tanah kelahiran.
    Semoga sukses kontesnya yaaa...

    BalasHapus
    Balasan
    1. amiin makasih ya mbak niken. lov indonesia ya :)

      Hapus

Komentar kamu adalah penyambung silaturrahmi kita, maka jangan ragu meninggalkan jejak :)

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...