Jumat, 26 Oktober 2012

Kisah guru, dulu dan kini.

Guru adalah profesi yang amat mulia. Layak sekali mendapat gelar sebagai pahlawan tanpa tanda jasa. Jika orang tua biologis adalah yang memberikan mereka makanan agar fisiknya tumbuh berkembang dengan baik,   maka sosok guru juga merupakan orang tua yang memberi makanan bagi rohani seorang anak, bagi otak dan pemikirannya.

Guru juga mempunyai peluang pahala yang berlipat kali lebih benyak dari pada pekerjaan lain. Jika didasarkan hadits Rasul yang menyatakan bahwa amal manusia akan terputus ketika dia meninggal kecuali 3 perkara : Amal jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak sholeh yang mendo'akan orang tuanya. Semua orang bisa beramal jariyah[1], berilmu yang manfaat dan mempunyai anak yang soleh[2] namun hanya guru lah yang paling banyak bisa mengambil pahala ilmu yang manfaat. Karena setiap hari pekerjaannya adalah membagi ilmu kepada anak didiknya. Coba saja dikalikan berapa pahala mengajarkan seorang anak membaca Alfatihah atau mengajarkan do'a-do'a pendek sehari-hari, kemudian suatu saat salah satu anak didiknya itu dewasa kemudian juga menjadi guru dan mengajarkannya lagi pada anak-anak didiknya, kepada anaknya sendiri. Sudah berlipat-lipat kali bukan?


Sebagaimana do'a orang tua, do'a guru pun sangat mujarab. Keridhoan seorang guru adalah kunci utama bagi seorang pencari ilmu. Seringkali keberhasilan seorang anak didik di masa depan sebagaian besar dikerenakan do'a dari guru. Hal ini sering melahirkan berbagai fenomena tradisi di beberapa pesantren.

Tradisi ngabdi adalah seorang santri[3] dengan suka rela menjadi pembantu gurunya (Kyai pengasuh pesantren tempatnya menuntut ilmu), yang perempuan biasanya membantu dalam urusan rumah tangga seperti memasak, menyapu, momong anak dll, kemudian yang laki-laki biasanya membantu di sawah, mencari rumput untuk makan ternak gurunya, nimba air untuk mengisi bak mandi, menjaga toko dsb. Pekerjaan-pekerjaan tersebut normalnya dikerjakan ART atau pegawai yang digaji tapi tidak bagi para santri tersebut. Mereka sama sekali tidak mengharapkan gaji, yang diharapkan adalah mereka bisa dekat dengan guru kemudian diingat dan dido'akan kebaikan dan berkah.

Tak jarang fakta kisah kehidupan di sekeliling saya berbicara bahwa pada akhirnya murid yang nilai akademisnya bagus namun sering membuat gurunya marah dan sakit hati ketika dewasa hidupnya kacau meski dari tampilan luarnya tampak sukses dan baik-baik saja. Kemudian yang nilainya biasa-biasa saja namun sering membantu kesusahan gurunya malah sukses kehidupannya di kemudian hari

Hikayat orang sholeh pada masa lalu banyak yang mengisahkan betapa penghormatan mereka terhadap guru sangatlah tinggi. Kisah yang sangat terkenal adalah kisah raja Harun Arrasyid yang mengirim putranya belajar kepada seorang Syaikh yang alim. Satu hari beliau mendapati Syaikh tersebut sedang wudhu dan anaknya disuruh mengucurkan air dari sebuah wadah ke arah kaki sang syaikh. Kontan raja Harun Arrasyid murka dan mengatakan "Wahai Syaikh, kenapa anda tidak menyuruh anakku untuk mengucurkan air dengan satu tangannya kemudian menggosok kaki anda dengan tangan yang lain?" 

Kemudian kisah Sahabat Ali bin Abi Thalib RA yang juga sangat terkenal. Beliau pernah dijuluki pintu  dari gudang ilmunya Nabi Muhammad SAW. Namun beliau pernah mengatakan  “Saya menjadi hamba sahaya orang yang telah mengajari saya satu huruf. Terserah padanya, saya mau dijual, dimerdekakan ataupun tetap menjadi hambanya.”.

Penghormatan terhadap guru juga melahirkan fenomena tradisi lain yang terjadi di pesantren. Yaitu  perlakuan istimewa terhadap putra putri guru atau pengasuh pesantren. Terkadang ada panggilan khusus buat mereka yaitu 'gus' dan 'neng'. Meskipun mereka menempuh pelajaran di pesantren lain yang bukan diasuh orang tuanya tetap saja mereka diperlakukan dan dipanggil istimewa jika diketahui bahwa mereka benar-benar dzurriyah[4] dari seorang guru alim. 


Dikisahkan tentang seorang Imam besar di Bukhoro sedang asyik menerangkan sebuah ilmu di dalam suatu majlis. Tiba-tiba beliau berdiri, tak lama kemudian duduk kembali. Setelah ditanyakan kenapa beliau melakukan hal tersebut beliau menjawab bahwa tadi anak dari gurunya yang masih kecil lewat bermain-main bersama teman-temannya. Beliau berdiri menghormati anak kecil tersebut sebagai penghormatan untuk gurunya. Seorang Syaikh yang alim melakukan penghormatan kepada anak kecil karena tahu bahwa itu adalah anak gurunya.


Sungguh banyak sekali tauladan kisah di masa lalu tentang keistimewaan seorang guru dan penghormatan yang luar biasa dari murid-muridnya sekaligus wali murid. Kesemuanya ada di masa lalu, dan bagaimanakah di masa ini? izinkan saya mencoba mengulas sejenak berdasarkan pengamatan saya yang terbatas... 


Pada masa kini kebanyakan guru tidak bisa lagi dikatakan pahlawan tanpa tanda saja. Karena sudah ada program sertifikasi jaminan dari pemerintah yang mulai memperhatikan nasib para pendidik. Jasa mereka terbayar dengan baik dengan bukti nyata bahwa profesi guru sekarang lebih banyak yang terlihat makmur. Selang beberapa tahun sudah bisa merenovasi rumah menjadi lebih mentereng, membeli mobil dan lain-lain. Beda sekali dengan finansial guru pada masa lalu. Senang sekali melihatnya, berarti dengan begitu mereka lebih bersemangat dalam mencerdaskan anak bangsa, kualitas mendidiknya semakin baik (karena dijadikan syarat memperoleh sertifikasi). 


Pahlawan tanpa tanda jasa mungkin masih bisa disematkan pada guru honorer yang belum dapat sertifikasi tapi masih kontinyu mengajar tanpa menggerutu, relawan-relawan yang mau meluangkan waktu mengajar anak-anak gelandangan, anak-anak pengungsian  tanpa dibayar dan guru-guru pesantren yang niatnya khidmah[5], bisyaroh[6]nya terkadang lebih kecil daripada guru honorer. 

Prosentase tertinggi peluang mencari pahala 'berilmu manfaat' tetap bisa dipegang oleh guru masa kini. Dengan syarat mutlak keikhlasan. Dan masalah ikhlas itu adalah urusan hati, hanya Allah dan dirinya sendiri yang tahu. Terkadang seolah-olah guru masa kini hanya menjadikan kegiatan mengajar sebagai 'pekerjaan' untuk mendapatkan uang. Sekolah-sekolah hanya berlomba memperbaiki mutu untuk mendapatkan predikat sekolah favorit kemudian bisa menjaring sebanyak-banyaknya siswa baru. Namun siapa yang tahu isi hati masing-masing personalnya? Mari kita mendo'akan semoga masih banyak guru-guru yang ikhlas yang mendidik dengan sepenuh hati dan selalu mendo'akan kebaikan untuk anak-anak generasi penerus kita. 

Yang memprihatinkan pada masa kini adalah semakin berkurangnya penghormatan terhadap sosok guru. Dimanapun tempat pendidikannya, meski bukan pesantren bukankah sama kedudukan seorang guru dalam hal memberikan ilmu pada anak didiknya?


Sering ditayangkan dalam cerita remaja baik dalam sinetron, film, sekadar iklan, novel atau cerpen dalam sebuah majalah. Murid yang jahil mengempeskan ban sepeda gurunya, mengolok-ngolok gurunya dengan sebutan yang jelek, misalnya ibu judes, pak gendut, pak botak, Mister sadis dll. Bahkan ada yang tak segan 'ngerjain' gurunya hanya sebagai seru-seruan. Miris sekali melihatnya, ketika dalam tayangan dan tulisan yang banyak dikonsumsi anak remaja sekarang banyak digambarkan sosok guru yang kurang berwibawa. gampang dikerjain muridnya. Seolah yang ditakuti di sekolah adalah mendapatkan nilai jelek, tidak naik kelas atau tidak lulus. Sama sekali tak khawatir dengan ridho atau tidaknya seorang guru atas tingkah laku anak didiknya.


Belum lagi dari wali murid. Pada zaman sekarang sudah jauh sekali jika dibandingkan dengan perlakuan Raja Harun Arrasyid terhadapa guru dari anaknya. 


Kebanyakan sekarang sekolah diibaratkan 'membeli' ilmu dengan SPP, syahriah, uang gedung dan rupa-rupa lain biaya pendidikan yang dibebankan pada murid dan walimurid. Jual beli dunia dagang teorinya dimana-mana seragam. Orang jawa bilang ono rego ono rupo artinya adalah ; kalau ingin mendapatkan barang berkualitas maka harus mau membayar mahal. Semakin mahal biaya sekolah maka pelayanan pendidikannya semakin baik. Jadi ketika transaksi sudah sudah dipenuhi maka murid dan walimurid bisa berbuat sekehendak hati. Komplen ketika anaknya dijatuhi hukuman dalam rangka tarbiyah sering kali terjadi. Biasanya adalah dari anak-anak orang tua yang kaya atau berkuasa. 


Entah siapa yang memulai lebih dulu, instansi sekolahan yang dikarenakan ketatnya persaingan kemudian memposisikan diri sebagai 'penjual jasa pendidikan'. Atau para orang tua murid yang mengganggap menyekolahkan sebagai membeli ilmu dikarenakan banyaknya warna-warna biaya yang harus dikeluarkan? 


Padahal sejatinya sekolahan, pesantren, kampus dan lain-lain adalah tempat para guru berkesempatan membagi ilmu yang dimilikinya. Akadnya lebih tinggi derajatnya dibanding sekedar 'jual beli'.


Bagaimana dapat diharapkan do'a guru yang manjur yang ikhlas mendo'akan anak didiknya sukses dunia akhirat jika sistem belajar mengajar sudah diibaratkan jual beli?


Marilah kita benahi masing-masing dari kita. Jika kebetulan berposisi sebagai guru pengajar, selain semakin meningkatkan kualitas metode-metode pengajaran yang lebih kreatif dan mengena, mari kembali perbaiki niat dalam mengajar dan membagi ilmu. 


Kemudian yang berposisi sebagai murid harus lebih menghormati guru, membaca-baca kisah uswah orang-orang sholeh pada masa lalu, jangan malu menerapkan prilaku yang dianggap aneh pada zaman sekarang padahal sebenarnya baik. Jangan meniru tayangan dan bacaan yang berisi contoh-contoh negatif.


Dan yang terakhir, yang berposisi sebagai wali murid dan masyarakat umum. Marilah kita mengembalikan guru pada posisinya yang terhormat bagaimanapun keadaanya. Jika ada hal yang salah dalam tindak laku guru atau sistem sekolahan maka kritik dan ingatkan dengan cara santun dan bijak. 


Saya bukan hendak mengatakan bahwa Pesantren adalah tempat pendidikan terbaik, semua instansi pendidikan itu baik ketika dipegang dan dijalankan oleh orang yang ikhlas bertujuan mencerdaskan dan memperbaiki moral generasi penerus bangsa. Namun alangkah baiknya jika tradisi baik tentang memuliakan guru itu bisa ditiru oleh semua pencari ilmu yang bertujuan sukses dan berkah dunia akhirat.


***



Gambar berasal dari SINI.
Gambar berasal dari SINI.

Keterangan gambar : Yang atas adalah KH Muhaimin Syuhadi (almarhum), pengasuh Ponpes Al-Anwar sekaligus ketua yayasan MTS-MA Al-Anwar Pacul Gowang Diwek Jombang. Yang bawah adalah KH Abdullah Faqih (alhmarhum), pengasuh Ponpes Langitan Widang Tuban. Keduanya adalah pengasuh yayasan pendidikan tempat saya mencari ilmu. Dua diantara banyak sekali guru saya yang tidak mungkin semuanya disebutkan disini. Dengan postingan ini saya menghaturkan terimakasih yang mendalam atas segala ilmu yang telah diberikan kepada saya. Semoga Rahmat Allah selalu dilimpahkan kepada mereka semua Amiiin..

**

Footnote :
[1] Berapapun nilainya amal jariyah jika masih dapat memberikan manfaat maka pahalanya akan terus mengalir tanpa putus.
[2] Bisa mempunyai anak adalah atas izin Allah, jikapun ketentuan Allah tidak punya anak secara biologis seseorang bisa mempunya anak angkat yang dididik secara baik hingga dia pun mau mendo'akan orang tua angkatnya saat meninggal.
[3] Santri adalah sebutan dari anak didik di dalam pesantren.
[4] Dzurriyah : keturunan.
[5] Khidmah : membantu
[5] Bisyaroh : bayaran/gaji.

Refrensi :
1. Terjemah kitab Ta'lim muta'aalim karangan Syaikh Burhanuddin Az zanurji. Kitab tersebut terdapat versi kitab kuning maupun terjemah bahasa indonesianya. Bisa juga diakses melalui website http://salafytobat.wordpress.com/2012/05/09/terjemahan-kitab-talim-mutaallim-pelita-penuntut-ilmu/


*


Tulisan ini diikutkan dalam  even Lomba Blog Gerakan Indonesia Berkibar


"Guruku Pahlawanku". Sumber infonyahttp://indonesiaberkibar.org/term-and-condition.html


5 komentar:

  1. Semoga sekolah kembali menjadi institusi yang murni mendidik, tanpa kesan menjual pendidikan.
    Gudlak ngontesnya ya... :)

    BalasHapus
  2. ilmu yang bermanfaat ituh termasuk satu dari tiga amalan yang ngga pernah putus meskipun kita udah ngga ada ya mba, jadi sebisa mungkin meskipun profesi kita bukan guru, tularkan lah ilmu kepada orang lain, dan sebagai blogger pun bisa lo sebenarnya.. :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. iya mbak.. bisa banget. namun logisnya kan yang paling banyak waktunya untuk membagi ilmu adalah yang berprofesi guru..
      :)

      yup sebagai ibu seyogyanya kita mengajar sendiri semacam alfatihah, mengenal huruf-huruf alqur'an, dan do'a2 pendek dan kisah2 anbiya', sahabat, dan orang2 sholeh.. biar pahalanya ga diborong semua oleh gurunya kelak hehe
      selagi kita bisa. iya kan :)

      Hapus
  3. Alfatihah untuk Romo Yai Muhaimin Syuhadi. Teringat sholat hajat berjamaah bersama di ndalem beliau dipimipin langsung oleh beliau. Selepas sholat kami (santri) selalu diberikan kudapan.

    BalasHapus

Komentar kamu adalah penyambung silaturrahmi kita, maka jangan ragu meninggalkan jejak :)

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...