Sabtu, 16 Maret 2013

Hidayah adalah sesuatu yang berharga.


Saya dilahirkan dan tumbuh besar di dalam lingkungan yang Alhamdulillah kondusif sekali untuk berjilbab dan melakukan syari'at agama dengan taat.

Ya, sejak jenjang pendidikan pertama hingga akhir yang yang pernah saya lalui semua berbasic agama. RA (Raudhotul Athfal) setingkat TK, MI (Madrasah Ibtidaiyyah) setingkat SD, MTs (Madrasah Tsanawiyyah) setingkat SMP, MA (Madrasah Aliyah) setingkat SMA sampai ke pesantren salaf. Kesemuanya adalah lingkup pendidikan yang mewajibkan jilbab sebagai seragam dan tentu saja penyampaian ayat-ayat kewajiban hijab sudah sejak dulu saya dengar, saya baca dan saya ketahui.

Namun bukan berarti lingkungan yang sudah sangat-sangat mendukung tersebut bisa membuat semua penghuninya lantas semuanya patuh berjilbab dan patuh pada syari'at. Tidak, tidak begitu ternyata faktanya. Pada prakteknya sebagian menggunakan jilbab/kerudung hanya ketika ke sekolah, ngaji atau keluar rumah saja. Sementara untuk acara di rumah, main ke tetangga enggan menggunakan jilbab. Ternyata hidayah itu tidak begitu saja diberikan kepada semua orang. Ketika sudah pernah mendengar jilbab itu wajib dan nyata-nyata dalilnya dibacakan tidak membuat orang serta merta patuh menjalaninya. Ada saja alasannya... termasuk saya, saat di MTs, MA yang mana usia sudah balligh saya tetap saja menjadikan jilbab sebagai pakaian seragam sekolah. Pakaian yang dipakai saat ngaji dan pergi-pergi saat sudah mandi hehe.. maksud saya ya berjilbab berarti untuk pakaian resmi sore hari atau pergi-pergi yang butuh tampilan 'resmi'.. entahlah. Saya sendiri lupa dan tak menemukan alasanya kenapa, akhirnya ya jawabannya itu hanya satu, yaitu karena saya belum dapat hidayah.

Hidayah itu terkadang mahal terkadang juga murah. Murah, karena bisa dipetik dimana saja. Katakan saja dari buku, sudah banyak sekali yang mendakwahkannya di sana. Dari pengajian-pengajian, dari sekolah, organisasi keislaman, pesantren dan lain-lain. Mahal? karena terkadang kita harus membayar mahal saat memetiknya. Misalnya usai mendapat bencana atau mengalami kejadian yang luar biasa menyedihkan baru mulai berubah menjadi lebih baik dalam beragama.

Alhamdulillah saya masih dikaruniakan hidayah yang masih dalam kategori 'murah'. Saya terbuka hati untuk berniat istiqomah secara bertahab. Tidak langsung sim salabim berubah seperti ksatria baja hitam saat meneriakkan kata.. 'Brubahhh!!'. Pada awalnya saya merasa suka dan menganggap keren teman atau seseorang yang tergesa-gesa menyambar jilbab saat ada tamu laki-laki mengetuk pintu rumah. Lamat-lamat dalam hati pengen juga seperti dia. Kemudian semaraknya novel-novel islami dan serpen-cerpen di majalah yang menceritakan tentang anak-anak sekolah SMA yang mendapat tantangan untuk berjilbab, ada yang dilarang, dikucilkan dan sebagainya tetapi mereka tekatnya kuat sekali mempertahankan jilbabnya. Wow... yang dilarang saja sebegitu hebatnya mempertahankan diri kenapa saya yang disini sudah disuruh-suruh masih saja enggan? lamat-lamat rasa malu itu itu menyelusup dan membuat saya ingin segera istiqomah. Kemudian status menjadi santri sebuah pesantren juga membuat saya merasa perlu untuk jaim alias jaga image kalau pulang ke rumah. "Wah sudah mondok masa iya mau seenaknya lepas jilbab di rumah?" begitu pikir saya. Niat yang tidak sepenuhnya ikhlas berpadu dengan 2 alasan yang saya sebutkan di atas membuat saya 'memaksa' diri untuk istiqomah berjilbab kapan dan dimana saja ketika ada laki-laki yang bukan muhrim. Memaksakan diri menurut saya perlu sebagai pembiasaan, awalnya boleh jadi terpaksa namun saya selalu berharap agar lambat laun saya bisa menemukan ikhlas berjilbab sebagai usaha patuh kepada perintah Allah dan RasulNya.



Jaman dulu jilbab yang ada adalah segi empat yang dilipat dan dipakaikan peniti sedemikian rupa. Asik-asik saja saat saya belum menikah. Namun pernah menjadi sangat riweh saat saya sudah menikah dan mempunyai anak balita, sedikit saja ditarik si bayi maka akan menyot kesana-sini menjadi rusak dan tidak rapi. Saya sempat menjadi merasa berat berjilbab kala itu. Namun alhamdulillah ternyata perkembangan zaman dijawab oleh kreatifitas muslimah yang menyemarakkan mode dengan jilbab instan, langsung masukkan kepala dan langsung rapi, ditarik-tarik bayi dalam gendongan tak khawatir rusak. Senang sekali saya, sampai-sampai saking enaknya sering berjilbab instan hingga lupa caranya berjilbab segiempat dengan peniti hehe..

Berjilbab terkadang sering dihubungkan dengan akhlak, terkadang orang melihat perempuan berjilbab tapi akhlaknya tidak baik sering membuat perempuan lain enggan menerima hidayah. Pemikiran 'lebih baik menjilbabi hati dahulu daripada berjilbab tapi ma'siyat' sering sekali menjadi alasan tak segera berjilbab. Sayang sekali harus menampik hidayah dengan alasan tersebut. Kalau menunggu baik tanpa cacat maka waktu itu tak akan pernah kunjung datang. Kita manusia biasa bukan rasul yang maksum yang suci dari perbuatan tercela. Wajar saja manusia melakukan dosa namun lekas-lekas melakukan taubat karena Allah tak pernah menutup pintu taubat selagi nafas belum sampai ke tenggorokan. Sungguh sayang sekali kalau ingin berjilbab harus menunggu diri menjadi baik, namun belum terlaksana malah keburu ajal yang lebih dahulu datang bertandang. Hiks.. na'udzubillah... 

Berjilbab terkadang menjadikan diri tersapa rasa ujub di dalam hati. Merasa diri lebih alim, lebih baik daripada yang belum berjilbab atau berjilbab yang asal-asalan (asal slampir atau jilbab yang sangat pendek). Astaghfirullah.. perasaan semacam itu terkadang juga mampir dalam benak saya. Harus cepat-cepat istighfar dan membuang rasa seperti itu jauh-jauh. Harusnya kita mendoakan agar mereka juga dapat menikmati indahnya hidayah seperti yang telah kita dapatkan. Sudah berjilbab pun masih harus terus berproses untuk menetapi istiqomah dan menyelaraskan akhlak agar sesuai dengan pakaian yang dikenakan. Jadi tidak usah menjaga jarak apalagi meremehkan, marilah tetap membaur dan saling menyemangati untuk berproses ke arah yang lebih baik.

Dan sebagai penutup catatan, saya mengulang kembali kalimat yang menjadi judul diatas. Hidayah itu adalah sesuatu yang berharga. Ketika masih diberikan dengan harga yang 'murah' mari kita memetik dan mendekapnya dengan istiqomah. Jangan sampai menunggu hingga hars diberikan dengan harga ya 'mahal'.

***

Astaghfirullah min qoulin bila 'amalin. Tulisan ini untuk pengingat bagi diri sendiri khususnya dan bagi pembaca umumnya, semoga kita semua tetap istiqomah menggenggam hidayah dan juga terus berproses menuju kebaikan. Amiiin.


[Postingan dicopas dari note facebook saya sendiri]

3 komentar:

  1. Sekarang lebih praktis ya, Mbak, bila memakai jilbab, ada istilahnya jilbab instan, hehe.... Ohya, dulu MI-nya Mbak Mujahidin bukan? Kalo Mujahidin saya sering main deket situ, karena ada teman yang ngekost tidak jauh dari MI Mujahidin.

    BalasHapus
    Balasan
    1. mboten.. sy MI kedawong dulu, anak saya sekarang yang saya sekolahkan di MI Mujahidin.. parimono

      Hapus

Komentar kamu adalah penyambung silaturrahmi kita, maka jangan ragu meninggalkan jejak :)

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...