Awal-awal menikah dulu, suami pernah mengajak saya ke rumah temannya. Seorang tukang pijat langganannya yang katanya berijazah, saking cocok dan seringnya dia pijat disana sampai lumayan akrab dan menganggap tukang pijat itu sebagai teman dekat.
'Pijat urat berijazah'
Begitu tertera pada papan nama di depan rumah mereka. Hmm.. waktu itu saya sama sekali belum mengerti bahwa memijat itu ternyata ada sekolahnya juga, pake ijazah segala hehe..
Suami saya sebelumnya sudah bercerita kalau Pak Hamid (nama tukang pijat, teman suami saya) itu istrinya juga bisa memijat. Jadi mereka itu sepasang tukang pijat, yang sama-sama berijazah dan sama-sama buta. Kalau pak Hamid masih punya 25% pengelihatannya. Jadi yang suaminya itu masih bisa melihat cahaya meskipun samar dan tak sempurna, sedangkan istrinya buta total semenjak lahir.
Pak Hamid memijat khusus pasien laki-laki, sedangkan istrinya khusus pasien perempuan. Masing-masing disediakan kamar khusus di dalam rumah kontrakan mereka yang mungil.
Perasaan saya campur aduk melihat mereka. Antara kasihan, salut, kagum dan terheran-heran. Pasangan tuna netra itu sudah mempunyai dua anak perempuan usia sekolah SD, yang subhanallah.. mereka sangat cantik-cantik, kulitnya sama putih bersih dan senyum-senyumnya riang dan manis. Ditambah lagi mereka sempurna panca indranya. Ditambah lagi, anak-anak kecil itu menenteng hape keren yang ternyata adalah alat komunikasi milik orang tua mereka (waktu itu saya masih punya 1 hape buat berdua bersama suami)
Tibalah waktunya saya dipijat. Ibu Hamid mempersilahkan dengan ramah. Dia selalu mengajak bicara sembari memijat. Rupanya perempuan itu tipe orang yang supel dan suka bicara. Terbukti dalam interaksi kami itu ibaratnya saya bersuara satu kata dijawab olehnya dengan satu hingga dua paragaraf hehe..
"Baru menikah ya mbak?" tanyanya.
"Iya, bu.." jawab saya malu-malu. Bisa saja dia menebak kalu kami pengantin baru. Ah pasti suami saya sih yang cerita ke pak Hamid.
"Dulu mbak sekolahnya dimana?" Tanya Bu Hamid lagi. Setelah saya ceritakan bahwa saya sebelum menikah belajarnya di pesantren, Bu Hamid merespon dengan antusias. Dia menceritakan bahwa dia juga pernah tinggal di pesantren di daerah Malang, Membaca Qur'an brailee, diajari sholawat nabi dan lain sebagianya. Dan meluncur berbagai cerita tentang perjalanan pendidikannya sehingga mendapatkan prestasi bagus di bidang sekolah pijat urat. Dia sering diundang untuk semacam seminar bagi para pemijat. Bu Hamid sudah menjadi setingkat pemateri handal di kalangan mereka. Keren sekali bukan? selama percakapan saya tak sekalipun mendengarkan ucapnya yang bernada keluhan dan mengasihani diri sendiri yang berada dalam keterbatasan fisik.
Sikapnya yang akrab membuat saya tak segan bertanya tentang bagimana ia bisa memasak, mengenali uang, menggunakan hape dan lain-lainnya. Dan dia menjawabnya dengan riang dan tak pelit membagi cerita dan informasi secara lengkap sembari diimbuhi cerita-cerita yang panjang dan mengesankan.
Pernahkah anda mendengar informasi seperti ini : 'ketika satu panca indra sudah diambil manfaatnya, maka indera yang lain akan dilebihkan fungsinya'?...
Ya, seperti itulah logisnya fakta yang ditekankan dalam cerita-cerita Bu hamid kepada saya. Dia memakai insting hafalan bau bahan makanan dan kepekaan kulit ketika memasak. Dia juga mengenali nominal uang dengan meraba teksturnya, nominal seribu dan sepuluh ribu itu tidak sama rasanya ketika diraba secara seksama. Dia juga menggunakan hafalan pendengaran dan ilmu komunikasi yang percaya diri ketika menembus jalan raya, mengantar anak-anaknya sekolah dan setiap tahun mudik ke daerah asalnya di Jember (Jombang-Jember dengan naik kendaraan umum bus kota). Indera pengelihatan digantikan ketajaman indera-indera lain yang masih dipunyainya.
Sembari dipijat saya berulang kali menggumamkan Subhanallah dengan lirih, Sungguh kagum sekali.
Iseng saya juga menanyakan tentang hape kerennya. Bagaimana dia menggunakannya ya?
"Ya bisa lah Mbak, tinggal angkat dan pencet terus bicara saja kok.." Jawabnya sambil tertawa-tawa, sama sekali tak merasa tersinggung. "Kalau saya yang mau menelpon ya minta tolong anak saya buat nyari nama orang yang mau saya telpon, kalau ada sms ya harus nunggu anak saya pulang sekolah buat membacakan.." lanjut Bu Hamid. Saya manggut-manggut mendengarnya.
Bu Hamid juga menceritakan lelucon yang menurutnya super lucu kepada saya. Bahwa ketika lampu mati dan rumah dalam keadaan gelap gulita, dia sering iseng mempermainkan anak-anak dan suaminya. Ketika gelap, sang suami (yang biasanya masih bisa melihat cahaya meski remang-remang) dan anak-anaknya (yang pengelihatannya normal) bertiga mereka langsung memeluk Bu Hamid minta dibimbing ke tempat yang mereka butuhkan. Karena Bu Hamid sudah terbiasa gelap gulita dan sangat hafal suasana rumah, dia malah mengajak anak dan suami yang merangkul dan memeluknya itu berputar-putar sambil tertawa-tawa. Hehe.. bisa saja.
Hampir dua jam saya dipijat sembari mendengar cerita-cerita dari bu Hamid. Saya baru mengerti bedanya tukang pijit biasa dan yang berijazah. Yang biasa hanya bisa asal mengurut pada bagian pegal atau keseleo, terkadang menyisakan rasa agak njarem[1] sesudahnya, namun yang berijazah semacam Bu Hamid ketika memijit tidak menyisakan njarem, seolah-olah dia bisa melihat dimana persambungan urat-urat di bawah kulit, sehingga bisa mengurut pada bagian yang tepat, mmeminimalkan rasa sakit dan menggilangkan penyebab keseleo karena jatuh atau salah urat.
Dan kini, setelah bilangan tahun berjalan. Bu Hamid sudah meninggal kurang lebih 4 tahun yang lalu. Menyusul setahun kemudian Pak Hamid, suaminya juga meninggal. Kabar burung yang saya dengar, mereka meninggal karena sakit, sakit tidak wajar karena disantet oleh tetangganya yang dengki melihat profesi pasangan tukang pijat ini sangat laris dan terkenal dimana-mana. Wallahu a'lam benar atau tidaknya, saya hanya terpikir kepada dua anak Pak Hamid yang kemudian diasuh oleh kerabat mereka. Pasti mereka sudah menjadi gadis remaja yang cantik-cantik.
Pengalaman saya bertemu Pak Hamid dan Bu Hamid itu selalu berkesan di hati saya hingga sekarang. Mereka memang terlahir tak sesempurna orang-orang yang diberikan panca indera secara lengkap. Namun mereka bisa membuktian bahwa mereka ada bukan untuk merepotkan orang lain atau meminta belas kasihan.
Karena Allah menciptakan makhluk apapun selalu ada hikmahnya (meskipun hanya seekor lalat yang kecil). Saya menemukan beberapa hikmah dalam pengalaman saya berinteraksi dengan para penyandang disabilitas ini. Diantaranya adalah :
1. Melihat mereka akan membuat kita bersyukur telah diberikan fisik yang lengkap dan berfungsi sempurna. Jika hati kita tidak tersentuh dan tersentil untuk mau bersyukur maka patut dipertanyakan terbuat dari apa hati kita? segumpal daging ataukah seongok batu?
2. Tak jarang fakta bahwa para disable itu banyak juga capable, yakni banyak juga mereka yang kreatif dan mampu menaklukkan keterbatasan dengan mempunyai keahlian yang bisa membuat mereka mandiri secara finansial. Ini juga yang patut menjadi tamparan agar orang yang normal dan sehat harus menjadi malu ketika mereka hanya bisa menganggur atau malah menjadi sampah yang meresahkan masyarakat.
Kalau direnungkan kembali, rasa-rasanya mereka lebih istimewa daripada kita. Bisa jadi dengan amalan ibadah yang sama di dunia ini, derajat mereka lebih tinggi di hadapan Allah SWT. Karena mereka melakukan dalam keterbatasan dan bisa jadi sudah melalui proses pencapaian ikhlas penerimaan jatah takdir yang harus mereka sandang sepanjang hayat dikandung badan.
Mari mengambil pelajaran dari mereka, sembari tak lupa juga berbuat sesuatu untuk membantu jika mereka membutuhkan. Mereka tercipta istimewa, sungguh... jangan memberikan tanda petik terhadap kata-kata itu. Karena itu sudah menjadi makna sebenarnya, bukan kiasan, penghiburan atau sindiran(*).
***
[1] Njarem : Rasa sakit akibat setelah dipijat dan diurut terlalu keras.
*
Tulisan ini diikutkan Lomba Blog 'Aku dan sahabat disabilitasku'.
'Pijat urat berijazah'
Begitu tertera pada papan nama di depan rumah mereka. Hmm.. waktu itu saya sama sekali belum mengerti bahwa memijat itu ternyata ada sekolahnya juga, pake ijazah segala hehe..
Suami saya sebelumnya sudah bercerita kalau Pak Hamid (nama tukang pijat, teman suami saya) itu istrinya juga bisa memijat. Jadi mereka itu sepasang tukang pijat, yang sama-sama berijazah dan sama-sama buta. Kalau pak Hamid masih punya 25% pengelihatannya. Jadi yang suaminya itu masih bisa melihat cahaya meskipun samar dan tak sempurna, sedangkan istrinya buta total semenjak lahir.
Foto hanya ilustrasi, dulu belum punya hape yang ada kameranya, jadi nggak sempat punya foto pasangan keren itu.. jadi saya mengambil gambar dari SINI. |
Perasaan saya campur aduk melihat mereka. Antara kasihan, salut, kagum dan terheran-heran. Pasangan tuna netra itu sudah mempunyai dua anak perempuan usia sekolah SD, yang subhanallah.. mereka sangat cantik-cantik, kulitnya sama putih bersih dan senyum-senyumnya riang dan manis. Ditambah lagi mereka sempurna panca indranya. Ditambah lagi, anak-anak kecil itu menenteng hape keren yang ternyata adalah alat komunikasi milik orang tua mereka (waktu itu saya masih punya 1 hape buat berdua bersama suami)
Tibalah waktunya saya dipijat. Ibu Hamid mempersilahkan dengan ramah. Dia selalu mengajak bicara sembari memijat. Rupanya perempuan itu tipe orang yang supel dan suka bicara. Terbukti dalam interaksi kami itu ibaratnya saya bersuara satu kata dijawab olehnya dengan satu hingga dua paragaraf hehe..
"Baru menikah ya mbak?" tanyanya.
"Iya, bu.." jawab saya malu-malu. Bisa saja dia menebak kalu kami pengantin baru. Ah pasti suami saya sih yang cerita ke pak Hamid.
"Dulu mbak sekolahnya dimana?" Tanya Bu Hamid lagi. Setelah saya ceritakan bahwa saya sebelum menikah belajarnya di pesantren, Bu Hamid merespon dengan antusias. Dia menceritakan bahwa dia juga pernah tinggal di pesantren di daerah Malang, Membaca Qur'an brailee, diajari sholawat nabi dan lain sebagianya. Dan meluncur berbagai cerita tentang perjalanan pendidikannya sehingga mendapatkan prestasi bagus di bidang sekolah pijat urat. Dia sering diundang untuk semacam seminar bagi para pemijat. Bu Hamid sudah menjadi setingkat pemateri handal di kalangan mereka. Keren sekali bukan? selama percakapan saya tak sekalipun mendengarkan ucapnya yang bernada keluhan dan mengasihani diri sendiri yang berada dalam keterbatasan fisik.
Sikapnya yang akrab membuat saya tak segan bertanya tentang bagimana ia bisa memasak, mengenali uang, menggunakan hape dan lain-lainnya. Dan dia menjawabnya dengan riang dan tak pelit membagi cerita dan informasi secara lengkap sembari diimbuhi cerita-cerita yang panjang dan mengesankan.
Pernahkah anda mendengar informasi seperti ini : 'ketika satu panca indra sudah diambil manfaatnya, maka indera yang lain akan dilebihkan fungsinya'?...
Ya, seperti itulah logisnya fakta yang ditekankan dalam cerita-cerita Bu hamid kepada saya. Dia memakai insting hafalan bau bahan makanan dan kepekaan kulit ketika memasak. Dia juga mengenali nominal uang dengan meraba teksturnya, nominal seribu dan sepuluh ribu itu tidak sama rasanya ketika diraba secara seksama. Dia juga menggunakan hafalan pendengaran dan ilmu komunikasi yang percaya diri ketika menembus jalan raya, mengantar anak-anaknya sekolah dan setiap tahun mudik ke daerah asalnya di Jember (Jombang-Jember dengan naik kendaraan umum bus kota). Indera pengelihatan digantikan ketajaman indera-indera lain yang masih dipunyainya.
Sembari dipijat saya berulang kali menggumamkan Subhanallah dengan lirih, Sungguh kagum sekali.
Iseng saya juga menanyakan tentang hape kerennya. Bagaimana dia menggunakannya ya?
"Ya bisa lah Mbak, tinggal angkat dan pencet terus bicara saja kok.." Jawabnya sambil tertawa-tawa, sama sekali tak merasa tersinggung. "Kalau saya yang mau menelpon ya minta tolong anak saya buat nyari nama orang yang mau saya telpon, kalau ada sms ya harus nunggu anak saya pulang sekolah buat membacakan.." lanjut Bu Hamid. Saya manggut-manggut mendengarnya.
Bu Hamid juga menceritakan lelucon yang menurutnya super lucu kepada saya. Bahwa ketika lampu mati dan rumah dalam keadaan gelap gulita, dia sering iseng mempermainkan anak-anak dan suaminya. Ketika gelap, sang suami (yang biasanya masih bisa melihat cahaya meski remang-remang) dan anak-anaknya (yang pengelihatannya normal) bertiga mereka langsung memeluk Bu Hamid minta dibimbing ke tempat yang mereka butuhkan. Karena Bu Hamid sudah terbiasa gelap gulita dan sangat hafal suasana rumah, dia malah mengajak anak dan suami yang merangkul dan memeluknya itu berputar-putar sambil tertawa-tawa. Hehe.. bisa saja.
Hampir dua jam saya dipijat sembari mendengar cerita-cerita dari bu Hamid. Saya baru mengerti bedanya tukang pijit biasa dan yang berijazah. Yang biasa hanya bisa asal mengurut pada bagian pegal atau keseleo, terkadang menyisakan rasa agak njarem[1] sesudahnya, namun yang berijazah semacam Bu Hamid ketika memijit tidak menyisakan njarem, seolah-olah dia bisa melihat dimana persambungan urat-urat di bawah kulit, sehingga bisa mengurut pada bagian yang tepat, mmeminimalkan rasa sakit dan menggilangkan penyebab keseleo karena jatuh atau salah urat.
Dan kini, setelah bilangan tahun berjalan. Bu Hamid sudah meninggal kurang lebih 4 tahun yang lalu. Menyusul setahun kemudian Pak Hamid, suaminya juga meninggal. Kabar burung yang saya dengar, mereka meninggal karena sakit, sakit tidak wajar karena disantet oleh tetangganya yang dengki melihat profesi pasangan tukang pijat ini sangat laris dan terkenal dimana-mana. Wallahu a'lam benar atau tidaknya, saya hanya terpikir kepada dua anak Pak Hamid yang kemudian diasuh oleh kerabat mereka. Pasti mereka sudah menjadi gadis remaja yang cantik-cantik.
Pengalaman saya bertemu Pak Hamid dan Bu Hamid itu selalu berkesan di hati saya hingga sekarang. Mereka memang terlahir tak sesempurna orang-orang yang diberikan panca indera secara lengkap. Namun mereka bisa membuktian bahwa mereka ada bukan untuk merepotkan orang lain atau meminta belas kasihan.
Karena Allah menciptakan makhluk apapun selalu ada hikmahnya (meskipun hanya seekor lalat yang kecil). Saya menemukan beberapa hikmah dalam pengalaman saya berinteraksi dengan para penyandang disabilitas ini. Diantaranya adalah :
1. Melihat mereka akan membuat kita bersyukur telah diberikan fisik yang lengkap dan berfungsi sempurna. Jika hati kita tidak tersentuh dan tersentil untuk mau bersyukur maka patut dipertanyakan terbuat dari apa hati kita? segumpal daging ataukah seongok batu?
2. Tak jarang fakta bahwa para disable itu banyak juga capable, yakni banyak juga mereka yang kreatif dan mampu menaklukkan keterbatasan dengan mempunyai keahlian yang bisa membuat mereka mandiri secara finansial. Ini juga yang patut menjadi tamparan agar orang yang normal dan sehat harus menjadi malu ketika mereka hanya bisa menganggur atau malah menjadi sampah yang meresahkan masyarakat.
Kalau direnungkan kembali, rasa-rasanya mereka lebih istimewa daripada kita. Bisa jadi dengan amalan ibadah yang sama di dunia ini, derajat mereka lebih tinggi di hadapan Allah SWT. Karena mereka melakukan dalam keterbatasan dan bisa jadi sudah melalui proses pencapaian ikhlas penerimaan jatah takdir yang harus mereka sandang sepanjang hayat dikandung badan.
Mari mengambil pelajaran dari mereka, sembari tak lupa juga berbuat sesuatu untuk membantu jika mereka membutuhkan. Mereka tercipta istimewa, sungguh... jangan memberikan tanda petik terhadap kata-kata itu. Karena itu sudah menjadi makna sebenarnya, bukan kiasan, penghiburan atau sindiran(*).
***
[1] Njarem : Rasa sakit akibat setelah dipijat dan diurut terlalu keras.
*
Tulisan ini diikutkan Lomba Blog 'Aku dan sahabat disabilitasku'.
memang benar, Allah menciptakan manusia tidak pernah sama.
BalasHapusselalu ada kekurangan dan kelebihan pada setiap hambanya.
kekurangan dan kelebihan dipaduka hingga menjadi sesuatu yang normal,.. salam kenal mba,.. fllw back yah
BalasHapusAllah selalu melengkapi setiap kekurangan dengan kelebihan yang tidak selalu mudah dipahami oleh ummatnya :)
BalasHapus