Sabtu, 15 Desember 2012

Blitz kenangan pada sebuah senja.



Awalnya saya menganggap semua biasa-biasa saja tentang mereka. Hingga ada suatu kejadian yang lumayan menyentil nurani saya untuk merenungkan sesuatu.

Semasa menempuh pendidikan di pesantren dulu (Pondok pesantren langitan Widang Tuban), setelah lulus kelas 6 menuju madrasah Aliyah. Semua jadwal berubah, asalnya sekolah pagi berubah menjadi sore hari, karena gantian ruang dengan anak Tsanawiyah. Begitupun kamar tempat bermukim sehari-hari. Yang asalnya satu kamar berisi acak bermacam daerah, bermacam umur dan tingkatan kelas. Setelah masuk jenjang Aliyah kami harus pindah berkumpul dalam ruang khusus, satu kamar yang letaknya berada di lantai 3 dan berdekatan dengan ‘ndalem’ kediamannya Bu Nyai.

Saya dan teman-teman menyebut tempat baru ini dengan naman Hotel el’aly. Hiyyah, norak banget menamakannya hotel. Karena bangunan baru bentuknya lebih ‘wah’ dari pada yang lain. Meskipun harus berjuang lebih berat untuk mencapainya. Karena persoalan kaki dan tangga.



Disana madrasah bersisian dengan bangunan untuk tempat nasi kos, dan tempat menjemur pakaian di lantai 2 dan 3

Bayangkan saja! Untuk ke kamar harus naik turun 3 lantai, ke sekolah juga naik turun 3 lantai, belum lagi bila ada jadwal mencuci, untuk menjemur cucian juga harus naik turun 3 lantai. Kalau dihitung-hitung, dalam sehari bisa 4 atau 5 kali naik turun. Perlahan tapi harus pasti sepasang kaki kami harus diubah menjadi baja berlapis karet hehe.. harus kuat dan elastis maksudnya.


Menjadi sebuah cerita yang selalu berdengung seperti lebah. Adalah suasana dan suara-suara ketika kami bareng-bareng naik turun tangga. Mengeluh dan mengeluh.

Ada yang menggunakan kalimat klise...
“Duuh capeknya...”

Ada yang menggunakan kiasan ekstrim...

MasyaAllah rasane puklek dengkulku...“[1]

Bahkan ada yang mengeluh dengan mengkhayalkan solusi setinggi galaksi.
“Pokoknya entar kalo aku kaya, punya duit banyak, akan aku bangun komplek pondok ini dengan lift canggih. Tinggal pencet tombol kita sudah bisa nyampe di atas, suer!”  bener-bener hayalan tingkat tinggi bukan? Hmm, setidaknya bagi kami santri putri yang masih imut-imut binti amit-amit. Wheeei!
Biarpun mengkhayal namun kalimat janji yang telanjur diucapkan itu diamini juga oleh teman-teman laksana koor yang menggema.

“Amiiiiinnn.... awas lho kalo ntar kaya beneran kamu lupa! Nih sekarang banyak saksinya lho.”
“Hehehe...” si empunya janji khayalan tingkat tinggi itu hanya bisa meringis tanpa basa-basi.
Hingga begitulah kami melewati hari-hari. Harus bersahabat dengan tangga dan kram otot kaki. Hingga saat itu. Pada sebuah catatan senja yang selalu saya simpan hingga kini.

Hari itu saya sedang padat aktivitas. Mulai dari jadwal mencuci, ngaji rutin, sekolah dan sedang menuju deadline majalah An-nauroh (majalah pon-pes yang terbit tiap semester). Senja sepulang sekolah rasanya badan sudah mencapai klimaks capek. Sehingga sengaja saya pulang paling belakang menunggu tangga agak sepi, biasanya suka ramai desak-desakan sambil ngobrol bercanda dengan teman-teman. Baru tiba di lantai dua rasanya kaki saya sudah kaku dan sakit. Aduh!

”Ya Allah capeeeeeknya bukan main,” saya mengeluh sambil berhenti sebentar. Tak terduga tiba-tiba ada seorang teman di belakang langkah saya.

“Mbak...mbak.. sampeyan kakinya masih normal saja kok masih mengeluh saja.”  Glekkk!
Itu ucapan mbak Farida, Teman sekelas saya, Sebelah kakinya tidak tumbuh dengan sempurna, sehingga harus terseok berjalan dengan bantuan sebuah tongkat. Dan dia memang diberi keistimewaan oleh pengurus untuk tetap tinggal di kamar bawah karena keterbatasan fisik.

Mbak Farida berjalan perlahan meninggalkan saya yang termangu. Dia menuruni anak tangga satu per satu dengan sangat pelan dan hati-hati. Sesuatu yang luput dari pengamatan saya selama ini. Itulah mungkin sebabnya mbak Farida ini selalu memilih pulang paling akhir yaitu untuk menghindari desak-desakan dengan teman lain.

Saya jadi berpikir bagaimana jika dia menaiki tangga jemuran yang lebih sering basah dan agak licin? Kenapa saya tak pernah memerhatikan contoh nyata yang selalu tersaji sebagai pelajaran?

Sejak kejadian di tangga itu pada hari berikutnya saya selalu menyempatkan diri untuk mengamati. Saat di area jemuran. Melihat mbak Farida dengan membawa ember jemurannya. Menaiki satu per satu, dengan tongkat yang erat, pegangan dan langkah pelan yang akurat. Subhanallah… ya semua santri harus mandiri dalam urusan apapun. Teman saya itu bisa dengan keterbatasan fisiknya, pasti karena semangat hebatnya untuk mengejar ilmu. Saya harus malu melihat pemandangan itu

-Episode tangga- itu membuat saya sering mengamati beberapa teman lain. di ponpes ini sangat kompleks penduduknya. Tidak sedikit santri yang cacat secara fisik juga belajar di sini. Dari yang cacat kaki, tidak punya tangan, tuna rungu dan lain-lain. Sungguh potret yang seharusnya membuat iri akan semangat mereka belajar dengan kemandirian  menaklukkan keterbatasan.


Sungguh potret yang seharusnya membuat iri akan semangat mereka belajar dengan kemandirian  menaklukkan keterbatasan.

Sebuah nama yang ingin kucoretkan tanya saat ini. Setelah tahun-tahun terlewati dan zaman berganti.
Membuka lembar buku memori kelas 6 angkatan tahun 2003.

Buku kenangan almamater angkatan tahun 2003.

“Bagaimana kabar Mbak Farida sekarang?” Perpisahan zaman itu tak meninggalkan nomer hape layaknya sekarang. 






[1] MasyaAllah rasanya patah lututku


*


Tulisan ini diikutkan dalam  Lomba Blog “Aku dan Sahabat Disabilitasku”

4 komentar:

  1. subhanallah, kita belajar dr mereka..

    BalasHapus
  2. Waah pelajaran berharga yang ada di depan mata mbak. Tabah sangat mbak Farida itu ya. Sbhanallah, dia pasti sangat tangguh. Jadi pingin kenalan dengannya ...

    BalasHapus

Komentar kamu adalah penyambung silaturrahmi kita, maka jangan ragu meninggalkan jejak :)

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...