Rabu, 30 Maret 2011

PERI NEGERI MATAHARI....

Pertama kalinya lolos menembus media, luar biasa rasanya...



Inilah karya itu...



          Alkisah di sebuah negri peri. Penduduknya dinamakan para peri negri matahari. Mereka adalah para peri yang selalu bersemangat menyambut pagi. Mereka juga selalu tersenyum ceria mengisi hari untuk belajar berbagai ilmu pengetahuan. Maka tak heran jika seluruh penduduk dari negri matahari terkenal pintar dan selalu punya kelebihan yang mengagumkan

         Tetapi hari itu ada seorang peri kecil yang sedang menangis di tepi danau biru. Dia terlihat sangat sedih. Dan karena tidak ada seorang pun di sekelilingnya, maka dia menceritakan keluh kesahnya pada air danau dan ikan-ikan yang sedang berenang di dalamnya.

RUMAH BUAT ADI

Seperti biasa, ketika Mama sedang sibuk mengetik di depan laptop Adi selalu ikut bergelayut di punggung Mama. Kadang-kadang juga menunggui disamping Mama dan terus melihat Mama mengetik. Namun yang lebih sering adalah meminta main game ikan frending frenzy.

“Aduh Adi... punggung Mama sakit sayang, duduk disini saja disamping Mama...” ucap Mama, Adi pun menurut karena melihat wajah Mamanya menahan sakit dipunggungnya.

“Adi, mau nggak Mama buatkan rumah disini...?” tanya Mama sambil menunjukkan jarinya ke arah layar laptop. Adi mengerutkan kening tak mengerti.

“Adi sudah bisa menulis kan sayang, kan sudah kelas lima...?” Adi mengangguk mantap.

“Nah, disini bisa membuat rumah untuk Adi. Nanti Adi bisa menulis apa saja disana. Bermain kerumah teman, atau mengundang teman bermain ke rumah Adi..” cerita Mama.

“Disana itu dimana sih Ma?” tanya Adi masih kurang mengerti.

“Dunia maya sayang, disana bisa terhubung dengan banyak teman lewat internet.” Mama terus menjelaskan. Adi mulai faham sedikit demi sedikit.

“Apakah seperti fesbuk yang sering dibicarakan teman-teman itu ya..?”

“Iya hampir seperti itu, tapi rumah maya yang mama maksudkan ini bernama blog atau multiply. Tidak seperti facebook, disana bisa membentuk rumah kita lebih cantik dengan gambar atau animasi yang kita suka,” Adi mengangguk mendengar penjelasan Mama.

“Bagaimana..? Adi mau dibuatkan rumah?” tanya Mama lagi.

“Mauuuu..” jawab Adi riang.

“Tapi nanti Adi menulis apa?” tanya Adi.

“Menulis apa saja... tentang apa yang Adi alami hari ini, pantun-pantun kesukaan Adi, atau hobi Adi tebak-tebakan semua boleh ditulis.” jawab Mama sambil tersenyum.

“Wah... berarti Adi nanti boleh ya menjadi penulis cerita seperti Mama?” tanya Adi lagi.

“Tentu saja boleh sayang, banyaklah membaca dan latihan menulis... pasti Adi bisa.” Ucap mama sembari jari-jarinya terus menari diatas keyboard. Sementara Adi terus menatap pada layar yang berubah-ubah bentuk dan warnanya.
Beberapa waktu kemudian...

“Nah ini rumahnya Adi sudah jadi... Adi boleh masuk dan menulis sekarang!” segera setelah itu Mama dan Adi bertukar tempat.
Adi sangat gembira melihat ‘rumah’ buatan Mamanya. Dengan gambar spiderman yang sedang melompat di bagian atas dan jaring laba-laba di bagian bawah dan pinggirnya.

“Ayo sekarang mama ajarkan cara-cara memasukkan tulisan ya..!” ucap Mama. Setelah itu mereka terlihat asyik mungutak atik keyboard. Jari-jari Adi mulai lincah menari-nari mengikuti gerakan Mama.
Sejak saat itu Adi menjadi lebih sering bermain dan menulis di rumah buatan Mamanya. Sudah jarang bermain game lagi, Mama pun senang melihatnya.
Dan pada suatu sore, saat Mama menengok rumah Adi. Mendapati beberapa baris kata yang ditulis Adi.

Aku melihat matahari
Pada pagi hari,
Siang hari,
Sore hari ketika tidak mendung.
Namun aku melihat Mama
Pada pagi hari,
Siang hari,
Sore hari,
Juga malam hari dengan dongeng indahnya.
Maka aku mencintai Mama
Melebihi matahari...

Mama menangis sambil tersenyum karena terharu membacanya. Dalam hati berdo’a semoga rumah Maya itu bermanfaat buat Adi yang disayanginya.

Kamis, 13 Januari 2011

Bismillahirrohmaanirrohiim...


JANGAN PERNAH BERHENTI BERMIMPI


Dulu, aku sempat mengubur mimpi. Mimpi untuk mencetak diri sebagai penari pena. Mewartakan segala yang pernah kubaca pada semesta.

Tahun pertama berumah tangga. Menyandang gelar baru sebagai Ibu. Aku harus merelakan komputer kesayanganku untuk dijual. Komputer yang baru saja terbeli beberapa bulan sebelum pernikahanku. Demi mempersiapkan masa depan buah hati, kami mencoba peluang usaha dalam peternakan ayam negri. Namun malang nasib, pada masa itu tiba-tiba boming berita nasional tentang wabah virus flu burung yang membuat harga daging ayam jatuh telak. Sehingga imbasnya modal yang kami tanam melayang. Komputerku terbang dan tak tau entah kapan bisa kembali pulang.
Ya.. sudahlah. Ikhtiar demi kepulan asap dapur lebih penting dari pada memikirkan komputer. Sekalian saja aku harus melupakan mimpi-mimpi hari kemarin. Fokus mengurus anak dan keluarga, rumusan akhir yang kubuat untuk menuntaskan kenyataan yang terpajang.

Namun ternyata tak semudah itu. Karena setiap kali aku melihat pena dan secarik kertas, rinduku tak bisa dibendung. Berbagai ide dan kata hati berontak untuk ditumpahkan. Maka dari pada ditahan dan jadi –bisul- maka aku kembali menulis sekedarnya.

Ditambah lagi, beberapa waktu kemudian. Aku dikejutkan oleh kabar baru dari pesantren tempatku dulu menuntut ilmu. Beberapa karya yang dulu pernah kuhibahkan pada redaksi majalah smester-an telah dibukukan dalam antologi santri dan alumni. Buku pertama terbitan intern pesantren dengan target konsumen tak kurang dari 5000 santri. Belum termasuk alumni dan keluarga santri.

Seperti sebuah pemantik yang memaksaku kembali merajut mimpi. Maka dengan menata semangat aku kembali serius menulis. Dengan pena... ya hanya dengan pena. Tanpa komputer dan kesempatan untuk duduk berlama-lama di warnet (Full day menjaga anak tanpa baby sister dan bantuan dari orang tua. nggak mungkin kan ngetik sambil gendong anak.. hehe..). aku menulis dan menyimpannya di lemari. Tak peduli mau dibawa kemana nanti lembaran-lembaran itu.

Dan permintaan dari pesantren untuk antologi ke 2 dan ke 3, semuanya aku kirimkan berupa tulisan tangan. Semuanya terbit laksana minyak yang membuat obor mimpiku semakin menyala terang.

Bahkan antologi pertama dicetak ulang oleh penerbit yang berani mengedarkan di luar gerbang pesantren. bagiku itu sungguh keajaiban...

Akhir tahun 2009 aku berkenalan dengan facebook. Jejaring sosial yang bisa di akses lewat HP. Dari sana banyak sekali kutemukan info lomba dan peluang menulis. Seiring semangatku yang kian terbakar, ada sedih yang menggumpal. Mengejar mimpi lewat jalur ini sungguh butuh modal. Komputer oh komputer.... entah kenapa aku jatuh lagi. merasa diri terkunci dalam gua pengap dan berdebu. Ibu rumah tangga kampung yang pengangguran. Bisa apa coba..??

Beruntung aku punya suami yang baik dan Allah SWT yang maha baik. Arisan kampung yang kami ikuti bertahun-tahun tiba-tiba jatuh pada giliranku. Maka, sebuah lepie mungil beserta modem diberikan padaku sebagai pengganti komputer yang hilang. Sungguh tak terkata lagi apa warna bahagia...

Kelanjutannya,.. aku semakin fokus menulis, menulis dan menulis. Ikut berbagai lomba dan audisi menulis. Tak terhuitung berapa kali aku gagal dan tidak lolos (karena terlalu seringnya..) Namun nyata akhirnya ada beberapa buku yang akhirnya lahir. Diantaranya adalah : 100 kisah menghangatkan hati, yang diterbitkan oleh perusahaan teh setelah menggelar kompetisi menulis tentang komunikasi suami istri. Antologi festival bulan purnama majapahit (dewan kesenian mojokerto). Antologi hujan sunyi banaspati (dewan kesenian jombang). Antologi charnity for indonesia –hapuslah airmatamu-. Antologi selaksa makna cinta (pustaka puistika-untuk sahabat). Antologi puisi tiga biru segi (hasfa publisher). Antologi puisi munajat sesayat do’a (Forum tinta dakwah FLP riau).

Dan seiring waktu, pak pos mulai hafal dengan alamat rumahku. Karena sering mengantar paketan hadiah-hadiah dari menang lomba menulis. Ada yang berupa buku, paket kosmetik sampai sepeda gunung.

2010 benar-benar tahun yang manis. Mimpi perlahan namun pasti berjalan menuju nyata. Sehingga aku tak ragu lagi untuk bermimpi lebih tinggi dalam target tahun-tahun kedepan. 2011 harus lebih baik, menulis lebih banyak dan lebih bermanfaat.

Menulis tentang pesantren adalah impian yang aku tandai dengan stabilo tebal. Sebagai refleksi cintaku pada sebuah tempat yang telah memberiku bekal indah dalam perjalanan menempuh kehidupan. Disamping harapan untuk berhasil menyelasaikan sebuah novel, buku solo,... dan banyak lagi yang tak bisa disebutkan satu persatu. Semoga...

Sedikit opini,..
Sesungguhnya aku menulis bukan karena ingin abadi dan dikenang oleh makhluk bumi. Simple saja, menulis adalah kebahagiaanku. Hanya berharap bisa menjadi amal yang tak putus sesudah maut menjemput. Dan bagiku menulis itu seperti berbicara. Ada rambu-rambu yang kupasang dan berusaha kupatuhi yaitu... menulis yang manfaat atau diam !!.

Semua berawal dari mimpi. Bermimpi disaat mata terjaga (catat !.. mimpi saat mata terpejam namanya kembang tidur). Mimpi yang mengeksplorasi alam bawah sadar untuk memacu energi, kekuatan fisik dan jiwa. Maka jangan pernah berhenti bermimpi. Sesungguhnya orang yang tak bisa bermimpi sejatinya ia sudah mati.

*** *** ***


Bint@ alMamBa
9 januari 2011

Jumat, 03 Desember 2010

KISS 2 : PASWORD

Ada fenomena menarik dan unik. Namun mungkin bagi sebagian kalangan adalah pemandangan yang ‘eneQ’.
Sebenarnya hanya cerita biasa. Namun aku menganggapnya agak luar biasa. Saat peristiwa-peristiwa itu sudah terlewatkan tiba-tiba saja menjadi moment indah yang rindu untuk mengulang kembali.
Santri di belahan pondok manapun. Tentulah hidup jauh dari orang tua dan sanak saudara. Mau tak mau segala sesuatu harus dilakukan sendiri. Untuk memenuhi semua kebutuhannya. Meniti hari-hari dengan rangkaian keluarga baru yaitu teman senasib, selorong dan seperjuangan yang berasal dari daerah yang berbeda-beda. Bersama sepikul sebeban dalam satu atap. Lalu lalang hilir mudik beraktivitas. Kesemuanya berporos pada satu titik... Ta’allum ulumuddiin.
Setelah hari kian bertambah. Ada ras rindu yang singgah.
“Mbak Sumi.. disambang Ibunya...!” pucuk dicita sambangan pun tiba. Hatipun berbunga.
Untuk buah hati, apapun jadi. Ibunya Sumini yang dari kampung pelosok, sejak jam tiga pagi sudah bangun untuk mempersipkan segala sesuatunya. Dari menanak nasi lebih banyak dari porsi biasanya sampai membuat lauk istimewa yang jarang-jarang pula mereka memakannya. Semua dibungkus, dimasukkan kardus, diikat rapat dengan ravia, ditenteng dengan hati gembira dan naik bus hingga sampai ketempat tujuan.
“Oalah Nduk... kok tambah lemu aee...” sang Ibu mencubit gemas pipi Sumini. Sumini nyengir sambil mengucek matanya.
“Piye sekolahe Nduk..?” bla...bla...bla... formalitas dua kerinduan yang dipertemukan.
.........................
“Belajar sing tenanan yo Nduk...” pesan dan harapan semua orang tua yang memondokkan anaknya. Sumi mengangguk. Ia mencium punggung tangan Ibunya dengan takdhim. Hatinya sumringah memandang kardus yang dibawakan Ibunya.
Setelah mengantar Ibu sampai ke gerbang. Bergegas Sumi mebuka bawaan Ibunya. Beberapa bungkus nasi dengan lauk ayam lodeh kesukaannya, setandan pisang dan beberapa bungkus mie instan. Dan dengan bungkus paten daun pisang, Sumi menata nasi dan lauknya membantuk bundaran datar dengan aroma menggugah selera.
Rezeki tak pernah direncanakan. Datang tanpa diduga. Semua santri yang ada di kamar itu tinggal menunggu kata kunci.
“Mbaaaak...!! monggo sedanten....!!” ucap keras Sumi. Wow... suasana yang asalnya tenang dan teratur langsung berubah drastis.
Bagi anda pembaca yang sudah pernah merasakan menjadi santri pasti sudah bisa membayangkan. Tapi bagi anda yang belum pernah punya pengalaman menjadi santri.... coba anda lihatlah sekumpulan ayam yang tiba-tiba disuguhi segenggam jagung... yaa, kurang lebih seperti itulah pemandangannya... he he.
Satu mulut untuk mendapatkan satu suapan harus berdesakan dorong-mendorong, tarik menarik dengan penuh perjuangan.
“Mbak Sumi... matur suwuuun....”
“Mbak yang ngasih...suwuuun”.....
“Iyo mbak sepurane ra ono lawuhe....” basa basi tulus mengakhiri adegan itu.
“Mbak.... monggo sedanten...!!!” terdengar pasword lagi dari arah pojok. Kaki yang sedianya akan melangkah pergi berbalik cepat menuju asal suara...tapi....
Tak ada apa-apa di pojokan. Cuma ada Sulis si santri jail yang sedang menggaruk kepalanya.
“Hehehe... monggo sedanten bancakan tumo-ku.... hehehe...”
“Huuuuu...” semua kecelee dan menggerutu. sulis tertawa puas. Ide usilnya sukses.
Ada-ada saja,
Aku jadi teringat dawuhnya Yai.. -lauknya orang makan itu Cuma ada 3 : badan sehat, perut lapar dan pikiran tenang- kiranya jika aku boleh menambah. Akan ada satu lagi yang menambah nikmat yaitu... -makan keroyokan-....

Bint@ al-MamBa
Di depan komplek E2
Rumah Lantany

KISS **kisah indah seputar santri**



                                                KISS
                            Kisah Indah Seputar Santri


Banyak yang bilang masa SMA adalah masa yang paling manis, kisah-kisah paling indah, hiasan masa remaja yang paling berkesan dan sejarah yang akan di bingkai dalam kenangan.
Namun jauh disini, disalah sudut bumi yang juga merasakan pembagian adil sorot hangat mentari pagi. Sudut yang jarang dilihat orang. Di dalam gerbang yang laksana benteng kokoh, dimana gembok besinya terlihat seperti belenggu kebebasan, dimana banyak orang menganggapnya penjara suci.
‘PESANTREN’.....pun disana menyimpan berjuta kisah yang indah, pun disana juga ada ukiran kenangan manis, unik dan tak terlalu picisan untuk digubah dalam karya pena.
Aku hanya ingin bercerita tentang apa yang pernah kurasa, betapa pernak-pernik perjalanan di arena pesantren terlalu sayang untuk hanya dikenang.
Aku ingin mendokumentasikan, gambaran irama pesantren tak seperti asumsi sebagian besar masyarakat luar. Banyak petikan hikmah dan pelajaran kehidupan yang dapat diambil. Ada banyak sekali. 
Akhirnya, ada baiknya kukatakan sebagai awal tutur cerita. Bahwa  “menjadi santri itu bukanlah pilihan yang mendatangkan penyesalan .................”. Barokah, tak pernah dapat dihitung dengan teori dan kalkulasi, yang dapat merasakan adalah hati.
                                            
                                                                                 Bint@ el-MamBa
                                                                                  LANGITAN

                       KISS 1 : UNTAIAN NADHOM PUJANGGA SHILIHIN


Dulu.........pernah terbesit rasa ngeri ketakutan yang dirasakan hampir semua anak yang ditawari pilihan untuk menempuh pendidikan salaf.
“Takut mbak, hafalannya itu lho iiihhh syeremm..... “
“Mana setiap hari disuruh menghafal terus.......trussssss. boleh nonton TV duuh ngebayangin aja aku sudah pusing........” beberapa asumsi senada banyak yang terdengar nyaring apa iyaaa......... ?
Awalnya aku juga merasakan ketakutan itu sekarang setelah aku menyelam sendiri, berat hanya dipermulaan, Semua kalah oleh niat, saat keraguan berbaur dengan tekat. Bayangkan saja menapaki anak tangga satu demi satu. Bayangkan saja seperti mengupas kelapa menyobek serat demi serat.
Apabila niat sudah terpatri seluruh anggota fisik tinggal mematuhi apa kata hati, Seiring berjalannya asa dengan istiqomah dan tawakkal sebutir pun akan jadi segenggam.
Mayoritas pesantren yang menerapkan konsep salafy biasanya menggunakan sistim hafalan nadhom. Kalam-kalam ilmu yang dirangkai dalam bentuk syair. Agar supaya mudah mendendangkan dalam alunan berirama. Dan menyenangkan menghafalkannya.
Ada nadhom tentang Fiqih, Tajwid,Tauhid, Gramatika arab yang terdiri dari Nahwu, Shorof, Balaghoh, I’lal dan lain sebagainya. Adapun pengarangnya adalah pujangga-pujangga hebat yang sulit dicari bandingannya di zaman sekarang. Mereka adalah alim ulama ’yang mencurahkan segenap pikirannya untuk kemaslahatan islam. Untuk menyebarkan ilmu syari’at tanpa memetik keuntungan sepeserpun dari hasil penjualan penggandaan karyanya. Yang mungkin jika diterapkan sistim royalty niscaya anak cucu mereka akan selalu dibanjiri keuntungan. Namun dapt kita saksikan, kitab-kitab karya mereka terus diterbitkan dari zaman ke zaman. Dipelajari, dikaji tak ubahnya lampu yang tak pernah padam.
Semua yang tersebut di atas adalah cerita dari guruku Syaikhina Abdullah Faqih Al-hajj. Cerita yang tidak hanya cerita. Syeh alim ‘allamah yang karya kitab-kitabnya kami kaji setiap hari bukanlah kaya sembarang orang. Tapi karya orang-orang pilihan dengan IQ yang pasti lebih superior dibandingkan enstein sekalipun. Orang-orang pilihan yang tidak mengharap apapun atas jerih payahnya kecuali mengharap ridho Allah SWT.
Kebiasaan di pondok kami adalah mengadakan ‘lalaran nadhoman’ setiap malam selasa ba’da maghrib. Semua santri berkumpul menurut kelasnya masing-masing. Bermacam irama kami coba dengan alat musik seadanya. Dentingan dari sendok, drum dari wadah galon kosong sampai menggebuk bangku pun jadi.
Hmmm.. kalau dibayangkan sih sepertinya norak. Tapi yang kurasakan... apa mungkin dapat kutemukan band seperti ini di tempat lain...? (hehehe...)
Ada rasa bangga, ada rasa puas. Saat seratus nadhom tadi kudendangkan tanpa membuka catatan sedikitpun. Begitu juga pasti yang dirasa semua teman-temanku. Mengingat bagaimana kemarin kami menghafal satu bait demi satu bait.
Aku semakin kagum memandang mereka senior-seniorku, para Ustadz, dan tentu saja Syaikhina pengasuh pondokku. Di dalam kepala mereka pasti sudah tersimpan berjuta beribu-ribu bait lengkap dengan makna dan keterangannya. Mereka sudah menapaki istiqomah muthola’ah dan ikhlas membagi ilmu dalam bilangan tahun yang tidak sedikit.
Dan perlu kukatakan pada semuanya. Manusia-manusia sekaliber mereka hanya dapat ditemui di sini... di penjara suci.

                                                               Langitan
                                                Catatan kecil di pagi hari

Senin, 29 November 2010

MUTIARA DARI KANGMAS


MUTIARA DARI KANGMAS

Pernahkah terpikir dalam lingkup seberkas gerakan hati. Kemana arah kita membelanjakan uang yang sedang bersarang dalam dompet atau kantong saku..?? untuk sekedar memenuhi kebutuhan primer, sekunder, tersier atau mungkin ekstra lux dalam laju hidup kita... membeli pakaian, sekedar menambah koleksi yang sudah ada. Atau beberapa aksesoris yang sebenarnya bukan kebutuhan mendesak, cemilan, makanan untuk memberi sentuhan seni pada tuntutan lidah yang ingin menari....

Hanya ingin sekedar berbagi kisah tentang -lahirnya sebuah pemahaman baru-

Dulu, aku paling cerewet kalau membeli dan memilih sesuatu. Jika berbelanja ke pasar. Suka putar-putar keliling dulu untuk mencari yang paling pas dengan selera, yang paling berkwalitas tapi murah (mayoritas insting manusia memang ga mau rugi kan.... hehe). Putar-putar sampe capek pun tak masalah. Asalkan sesuai dengan pilihan hati. Apalagi saat kota kecil kami mulai dipersolek oleh penguasa modal. Dengan menjamurnya mini market yang bersih dan dagangan tertata indah, sungguh nyaman untuk berbelanja. rasanya biar punya dompet tipis pun tetep semangat buat jalan-jalan belanja. Memanjakan mata meski tak niat beli wikikiy... :D aku jarang mau membeli dagangan yang tinggal sedikit dan tak memberi keleluasaan untuk memilih dan membandingkan. Entahlah...

Dalam alur yang mempertemukan aku dengan teman hidup. Ternyata suamiku adalah seorang pedagang pakaian. Tepatnya adalah sales pakaian yang memasok kemeja dan celana cowok ke pasar-pasar tradisional. Dia punya banyak teman sesama sales dan pedagang pasar. Dan sanak kerabat dari pihak keluarganya mayoritas juga berprofesi sebagai pedagang berbagai kebutuhan masyarakat.

Kesemuanya tiba-tiba membuat perubahan dalam hidupku. Perubahan tentang kebiasaan dan perenungan dalam memandang sebuah perputaran uang.

Yup... zaman terus berlenggang. Tak peduli pada kaki-kaki ringkih yang berlomba mengejar. Di kota kecilku kini telah dibangun sebuah pusat perbelanjaan yang cukup wah bagi orang-orang kampung. KERATON mall... namanya. Dengan fasilitas eskalator atau tangga berjalan seperti yang sering terlihat di sinetron layar kaca, sungguh memikat konsumen dari penjuru daerah jombang dan sekitarnya. Berduyun berdesakan datang kesana... sungguh keren pokoknya kalau bisa cerita...

“Aku dah pernah ke keraton lho....”
“Baju ini beli di keraton.. suer..”....

Begitupun aku, sempat pengen banget menginjakkan kaki di shoping mall yang baru buka itu. Banyak yang bilang sedang banjir promo karena masih baru dan tempatnya luas, bagus banget... namun suamiku tak memberikan respon yang antusias seperti diriku. Dia hanya mengangguk tanpa tersenyum namun juga tak melarang kemauanku.
Maka berangkatlah kami ke keraton, melihat betapa ramainya sehingga area parkir seolah muntah ke badan jalan raya. Meluber ke depan beberapa toserba di kanan kirinya. Sempat miris juga melihat pemandangan itu. Seolah berbicara tentang perasaan tergilas oleh kekuatan uang. Ya... toserba-toserba mini mendadak jadi senyap tanpa warna. Dan sengaja aku melempar pandang pada pasar legi (pasar tradisional) yang letaknya tak jauh dari keraton. Dapat terlihat perbedaan mencolok dalam keramaian pengunjungnya seperti mendung yang merindukan cerah. Ahh.....

Memasuki area pusat perbelanjaan. Mata dimanjakan dengan aneka rupa produk yang tertata indah. Dilantai bawah kebanyakan adalah deretan makanan, cemilan dan wahana permainan anak. Di sela-selanya juga terdapat outlet-outlet mini makanan cepat saji yang bau harum masakannya menyebar menggoda hidung siapa saja.
Kami meneruskan langkah menuju eskalator.....

“Duh.... Mas aku naik tangga saja ah...” dari pada kelihatan kampungannya didepan banyak orang hehe... jadilah kami berpisah sebentar karena masalah alat bantu naik ke lantai atas itu. Sampai di lantai dua. Tak hanya mata yang di manja, bahkan telinga dan kulit pun dibelai dengan alunan musik dan hawa sejuk kipas-kipas yang tak lelah berputar. Dengan langkah ringan namun pasti aku mulai putar-putar di arena fashion...hmmm,, banyak model dari kelas ‘wah’ dan paling murahan dengan bandrol harga yang ternyata ga bisa di tawar... wew, musti tambah jeli nih dalam pilih memilih. Tak begitu peduli pada kangmas yang mengekor langkahku dengan raut enggan. Aku terus berjalan, mencari yang ini yang itu... semua harus seperti yang kumau wehehe..

Kami pulang dengan membawa lelah. Bersama sekantong belanjaan yang ternyata membengkak dari daftar kebutuhan yang terjadwal sebelumnya. Akibat lapar mata yang seolah menuntut dengan kuat untuk dipuaskan.

“Oh Robby....” aku memandang dengan lelah dan secuil sesal. Ternyata banyak barang sebenarnya belum terlalu dibutuhkan. Hanya karena tergoda diskon dan hadiah-hadiah kecil bisa menguras kantong begitu rupa. Kangmas memandangku tanpa ekspresi. Aduh..

“Kita mencari rejeki dengan berdagang dek, aku seneng banget jika banyak orang yang membeli karena itulah pintu rejeki kita............” kangmas diam, apa maksudnya sih...?

“Kalau kita mau membeli dagangan dari teman atau kerabat kita sendiri paling tidak kita sudah membantu datangnya rejeki mereka. Bahkan mereka selalu memberi harga murah untuk persahabatan dan persaudaraan...” glekk.. nyindir nih, aku cemberut. Kangmas meninggalkan tempatku duduk dan menghentikan pembicaraan. Dia memilih bermain dengan anak-anak.

Fyuh... aku jadi teringat pada novel ‘ayat-ayat cinta’ karya kang abik yang kemaren selesai kubaca. Pada salah satu halaman diceritakan Fahri yang membeli 2 buah boneka karena sang penjual menghiba ingin dagangannya laku. Fahri teringat pada masa kecilnya yang berjualan tape bersama sang ayah, betapa bahagia rasa hati saat barang dagangan ada yang membeli.... hingga 2 boneka itu yang mengantarnya pada benang merah dengan Aisya. Sweet, hikmah yang terselip dengan manis.

Hiks, rasanya memang ada yang perlu dibenahi. Memposisikan diri menjadi pihak yang memang butuh pembeli. Bukankah keinginan belanja di tempat-tempat yang ‘wah’ dan keren sama halnya membuat pemilik modal besar tambah makmur dan pemilik modal kecil perlahan tergusur. Logika yang masuk akal kan....

Dan tentang rejeki seperti yang dibicarakan suamiku, kita gak punya wewenang untuk sok ngebantu malaikat mikail membagi rizki pada semesta. Tapi apa salahnya..? dipikir secara logika tetap lebih banyak benarnya. Ah rasanya ada pelangi yang tiba-tiba mewarnai ruang hati. Betapa beruntung aku punya ‘lelaki’ itu. Aku tersenyum memandangnya dari jauh. Ada raut kelegaan melihat rona cemberutku yang masam sudah hilang dari peredaran.. hehehe,

Sejak itu aku berusaha tak lagi cerewet dalam memilih dan membeli sesuatu. Tentang pakaian, jadi lebih sering beli pada teman-teman suami sambil silaturrahmi ke rumah mereka. Dan ternyata membawa point positif aku jadi bertambah teman baru, istri-istri dari teman suamiku. Berikut cerita-cerita baru tentang berbagai warna hidup manusia. Bahkan kami sering dapat harga murah dengan tanpa menawar berbelit-belit.
Terkadang aku mendapati suamiku yang membeli sesuatu yang sebenarnya tidak dia inginkan, hanya karena penjualnya adalah nenek tua yang membawa dagangannya sambil berjalan dari rumah ke rumah.

Inilah sekolah kehidupan, dengan guru paling dekat di sampingku. Layaknya mutiara yang dihadiahkan kepadaku. Indah dan cerah menerangi ruang jiwa yang kadang sering kusut dan kusam. Rasanya aku tak akan menuntut di belikan mutiara asli yang mahal. Hmmm tapi kalau dibelikan sih gak nolak weheheh.. cukuplah aku menjaga yang ini, dalam dekapan waktu.
$%#$%#

Bint@alMamba

Sabtu, 06 November 2010

rumpi hati, sepenggal warta tentang dolly


Suguhan layar kaca.
Saat bertubi-tubi warta tentang bencana. Ada satu berita mengusik indraku.

....demonstrasi para penghuni wisma dan masyarakat gang dolly. Mereka menuntut rencana pemerintah surabaya untuk menutup gang dolly. Karena akan membunuh perekonomian mereka...

Gang dolly. Siapa yang gak kenal ?
Sebenarnya hanya sebuah gang kecil ditengah perkampungan kota surabaya. Mengapa menjadi sangat fenomenal ? tak lain adalah sebuah bisnis prostitusi yang sudah mendapatkan lebel ‘terbesar se-asia tenggara’ haduuh *ngelap kringet nulisnya*
Puluhan wisma ‘siap saji’ berjajar dengan pekerja-pekerja profesional. Banyak pelanggan berdatangan. Masyarakat sekitar kecipratan rejeki dengan menjual rokok, minuman, makanan dan lain-lain.
Terlahir semacam simbiosis mutualisma antara pekerja non formal ini dengan masyarakat sekitar sehingga menjadi seperti pagar besi yang memebrikan sekat perlindungan untuk mereka. Membiarkan tetap ada atas nama perekonomian.
Pemerintah mengupayakan berantas kemungkaran ?
Hohoho gak semudah itu lah Gus Ipul.
Bisa saja Dolly di tutup menjadi malah jadi bumerang seperti pribahasa ‘mati satu tumbuh sepuluh’ 
Berikut petikan beberapa wawancara :
Wawancara dengan PSK dengan wajah dan nama disamarkan. **sayang ya. padahal biasanya orang masuk TV jadi narsis banget tingkahnya hehe**
“Kalau Dolly ditutup kami bisa jatuh melarat. Malah keliaran di pinggir jalan. Kalo dikasih kerjaan lain yang layak pasti mau ganti kerjaan. Lah pemerintah bisa kasih nggak... janji janji saja gak pernah ada kenyataannya..” **nah tuh.. **
Wawancara dengan pemilik wisma.
“Kalau dolly ditutup bakal ada banyak pengangguran yang pasti bedampak buruk bagi kampung kami...”
Wawancara dengan ketua RT.
“Sebenanarnya saya juga setuju dengan rencana ditutupnya bisnis prostitusi ini tapi kan ya kasiyan orang-orang. pasti akan kacau kalau tidak dibarengai jalan keluar yang benar-benar tepat..” **hmmm...**
Wawancara dengan Gus Ipul (wagup jatim, tangan kanan pakde karwo tentunya)
“ Kami sudah siapkan program pelatihan ketrampilan dan menyebar yang nantinya akan dicarikan lapangan kerja di kota-kota wilayah jatim. InsyaAllah “

Kenapa..? ini adalah tanyaku. Tak bisa menyumbang jalan keluar apa-apa. Karena mungkin aku bukan penduduk Dolly yang bisa merasakan beratnya bayangan masa depan mereka tanpa bisnis ‘esek-esek’ itu. Jika aku meneriakkan idealisme menurut opiniku. Rasanya tak mampu.
Kenapa..? ini tetap menjadi tanyaku...
Padahal Allah itu ada. Beserta para malaikatnya yang tak pernah mengantuk apalagi tidur tetap membagi rizki pada semua hambanya. Maaf jika aku sok tau, menyatakan betapa piciknya pemikiran dengan meninggalkan dolly dan segala ekosistem saling keterkaitan ekonomi beregam profesi penduduknya dari bisnis haram. Akan membuat mereka putus dari rizki. Bukankan hidup adalah berjuang ? berjuang bertahan hidup adalah kamus pasti semua orang.
Yang mungkin terlupa dicarikan jalan keluar adalah. Kemana nanti para hidung belang berkantong tebal jika mau ‘pipis sembarangan’ hehehe..
Maaf temans, ini sekedar rumpi hati...

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...