Selasa, 07 September 2010

Sekar melati, tansah wangi sak njering ati




               Berbicara tentang tulusnya hati, bersihnya jiwa, jua murninya tujuan yang tersimpul dalam niat dan tekad. Siapa yang sanggup melihatnya..? dan alat secanggih apa yang mampu mengukurnya....?
Semua berada dalam lingkaran abstrak, kasat mata. Dan mungkin hanya indra jiwa yang sanggup membacanya...
Beragam profesi tersaji dalam hamparan muka bumi ini. Dalam logikanya, semua orang pasti punya kesempatan untuk memilih. Namun dalam kenyataannya, kadang pilihan-pilihan yang berjajar tidak pernah memberikan peluang.
Profesi menjadi guru. Sudah banyak yang menjalaninya. Entah bagaimana rancangan taqdir dan motif sebelumnya hingga menjadikan mereka terdampar dalam profesi itu. Profesi yang tak menjanjikan finansial yang membuaikan.
Guru... bagiku laksana melati. Selalu menebar harum saat ia kuncup, mekar, maupun kering dan pasi.
Sebagaimana sebuah episode dalam perjalanan alur yang panjang. Alur apalagi jika bukan alur kehidupan. Layak kita dapati manusia-manusia pilihan yang dapat kita sematkan satu predikat indah sebagai guru atau pendidik generasi bangsa. Orang jawa mengatakan.... guru adalah sosok yang bisa digugu dan ditiru. Yaitu harus bisa di percaya kata-katanya dan ditauladani segala tingkah lakunya.
Dalam kenangan yang terdekap.....
Bu Min, begitu beliau biasa dipanggil. Nama lengkapnya adalah Siti Aminah. Hingga saat ini beliau masih selau menyapa ramah dan halus saat kami bertemu. Masih seperti bahas guru taman kanak-kanak pada murid-murid kecilnya. Meski sekarang aku sudah menjadi ibu dari dua balita.
“Wah.. mbak Riris...putranya dah besar-besar...”.....
“Iya Bu Min... “ jawabku penuh haru. Seolah kembali mengecap masa manis menjadi murid kecil beliau di masa lampau.
Beliau Bu Min adalah guru yang sabar namun cekatan. Yang aku pandang hebat karena sebuah peristiwa kecil namun kuanggap sebagai peristiwa luar biasa. Saat beliau dengan tanpa jijik membersihkan ingus leleran pilek anak-anak yang bukan lahir dari kandungan beliau. Dan entah kenapa bagaikan sebuah ‘magic’ banyak anak-anak yang lebih mendengar kata-kata anjuran atau larangan dari Bu Min daripada guru-guru yang lain.... entahlah.
Terbitnya kekaguman tak berhenti kala aku menjadi murid kecilnya saja. Seiring waktu yang terus berjalan pelan namun pasti. Berkurangnya usia satu hari per satu hari.... saat sebuah nestapa menjadi kabar petir di siang hari.
“Putrinya Bu Min mendapat musibah....” aku terkejut.
“Ada apa dengan putri beliau...?”..
“Dia diperkosa.... “ oh Tuhan... kenapa ?, putri Bu min itu masih seusiaku waktu menjadi murid kecil beliau. Tega sekali orang itu....
“Cobaan orang baik... bu min sungguh sabar menghadapi semua ini.....aku tak tahu harus bilang apa... kalau sudah terjadi mau bagaimana...?” jawab pembawa kabar itu padaku. Aku tesedu meski tak bisa mengekspresikan dengan tangis pilu.
Mengapa...? kekaguman tak berhenti di ujung waktu. Saat ada semilir lain yang membawa kisah padaku.
“Saat Bu Min  mengandung putrinya yang terakhir beliau menghadapi cobaan yang sangat berat,.. sungguh..”...
“Cobaan apa... tolong ceritakan padaku..!!”... pintaku.
“Bu Min digunjingkan banyak orang karena hamil.... ya hamilnya Bu Min saat suaminya menderita gangguan jiwa. Sering tertawa sendiri dan berbicara sendiri entah ... mungkin tekanan hidup atau rahasia taqdir yang membuat suami Bu Min seperti itu...”...
“Kenapa harus digunjingkan...?” tanyaku tak faham...
“Ya... kenapa Bu Min bisa hamil sementara suaminya seperti itu... apa mungkin hamil oleh orang lain... begitu gunjingan yang ramai terdengar....”...
“Ooo... kejamnya...” kembali aku tesedu dan tak mampu menagis pilu... oh Tuhan.
“Padahal Bu min yang baru saja diangkat sebagai PNS setelah berpuluh tahun mengajar sekarang menjadi tulang punggung keluarga. Beliau masih menghormati dan mencintai suaminya meski dalam keadaan seperti itu....”....
“Meski getir beliau menghadapi gunjingan itu dengan bijak... dan waktu yang membuktikan kesucian beliau... “...
 Bu Min yang berwajah damai dan tak pernah sekalipun terlukis kesedihan dalam pengelihatan kanak-kanakku seolah tetap seperti itu dalam mata dewasaku. Ternyata penuh badai dalam kehidupannya. Aku harus banyak belajar untuk mempunyai jiwa baja seperti Bu Min. Beliau masih menjadi Bu Min berwajah damai di usia senjanya. Tetap berjalan kaki saat pagi berangkat ke gedung taman kanak-kanak tua, satu-satunya di kampung kami.
Guru oh guru.... pengajar segala ilmu kehidupan. Tak hanya terpaku pada orang yang lebih tua dari usiaku sebagai pencari ilmu.
Kadang kudapati kalimat hikmah juga terlahir dari seorang anak kecil dengan mata beningnya. Dengan bahasa apa adanya, jujur tanpa rekayasa....
Saat aku meniti hari di sebuah pondok pesantren salaf. Pernah kudapati kenyataan akan sebuah tradisi yang membuatku jengkel dan menggerutu. Yaitu tradisi antri... antri mandi, mencuci, sekedar lewat bancik (pijakan kaki berjajar membentuk lintasan jalan yang menghubungkan gedung satu dan yang lain di area pesantren...), bahkan seperti meminjam barang-barang pribadi seperti sisir, sendok dan piring. Semua tak luput dari antrian. Dan untuk antrian pinjam inilah yang mebuatku menahan sabar berkali-kali... ya satu yang minjam buntutnya bisa panjang sekali. Di pinjam yang lain lagi, berpindah tangan ... dipinjam yang lain...  begitulah antri yang sebenarnya bisa dinamakan fenomena goshop dengan dalil ‘ullimaa ridhouhu (diketahui pasti keridhoan pemiliknya...) terlanjur membudaya.
Dari antri pinjam yang panjang terlalu sering barang-barangku akhirnya hilang tanpa tahu pengantri nomer berapa yang bisa dimintai pertanggung jawaban... aduh jengkelnya...
Dengan muka kusut kusandarkan punggung di teras kamar.
“Mbak kenapa ?... bete banget sepertinya...” sapa santri kecil tetangga kamarku, Imas Nasibah.
“Bete banget dek.. banyak barang ilang... musti beli lagi dan beli lagi... padahal mbak udah berusaha primpen tapi tetep aja banyak yang ilang... gara-gara antrian... huhh..” curhatku kesal...
“Santai aja Mbak.. segitu aja..” hiburnya ringan. ‘Ah dia masih bocah kecil mana ngerti kalo ortu dirumah kerja banting tulang agar bisa kirim uang sangu anaknya di pesantren’ kilah hatiku
“Anak santri mah semua serba antri... kalo di pondok lum ada barang yang hilang atau kena gatalan... ilmunya lum bisa mantap mbak..hehehe... belajar sabar dan memaafkan biar jadi santri sejati....” apa...?? enak benar dia berkalam. Tapi apa tadi.... belajar sabar dan memaafkan biar jadi santri sejati... wow kata yang bijak sekali. Rasanya tertohok hati ini mendengarnya. Aku memang terlalu memanjakan emosi dan susah bersabar dan memaafkan.
Meskipun dari bibir mungil santri yang lebih junior. Tapi kata-katanya patut kujadikan pijakan berpikir dalam menyikapi arus antrian yang selalu kuanggap menjengkelkan. Terimakasih Dek Imas, andai dapat bertemu dirimu lagi kini....
Begitu banyak yang kukagumi tentang segala yang mengajarkan serpihan ilmu memaknai kehidupan. Tak hanya sosok ragawi bernama manusia. Pun semua makhluk tuhan yang terhampar di muka bumi ini juga bisa kita jadikan guru. Tentu saja dengan pencermatan indra jiwa yang sederhana.
Meski aku jarang bisa melihat pelangi dengan spektrum mejikuhibiniu-nya. Aku tau bahwa ia terbit selepas hujan dan mendung bahkan mungkin guntur dan juga badai. Ya... kenapa Tuhan menyembunyikan matahari dibalik awan kelabu....., mengapa Awan pecah menjadi hujan dan badai, tak peduli pada bumi yang merindu matahari. Sungguh jawabnya merekah saat hujan usai. Saat garis-garis indah mengarsir langit dengan lengkung cantiknya... dia pelangi yang mengabarkan pada udara akan jawaban segala pertanyaan...
Mengapa Tuhan meyembunyikan kebahagiaan, kemenangan, kesuksesan dan semacamnya tapi malah menghadirkan kegagalan, kekalahan, bahkan keterpurukan. Sungguh jika kita terus bertahan mengahadapinya dengan tegar. Pelangi keberhasilan akan datang menyapa pada akhirnya... begitu nasehat guru pelangi yang kusematkan dalam imaji hati.
Dan terlalu banyak fakta alam yang layak dinamakan guru. Yang mana mereka tak pernah menggurui namun kujadikan kiasan pelajaran nurani yang kucerna dalam logika imaji sendiri. Biarlah... siapa yang akan protes..??
Seperti saat ku melihat proses metamorfosa kupu-kupu. Yang bersusah payah keluar dari kepompong... perjuangannya merupakan kebutuhan agar bila saatnya ia akan menjadi indah. Ia akan indah... kerena telah dibuktikan dengan eksperimen. Membantu calon kupu-kupu keluar dari kepompong dengan cara menyobeknya malah membuatnya cacat, sayap indahnya tak bisa tumbuh dengan sempurna. Yah perjuangan itu perlu untuk dapat merasakan dan menghargai kesuksesan.
Guru,... kembali lagi pada masa pesantrenku. Seperti sebuah miniatur negri yang penuh uji untuk sebuah nyali dan prestasi. Pun disana banyak sosok guru yang mencuri pucuk-pucuk kekagumanku.
Tak perlu disebutkan satu persatu. Guru-guru di pesantren tempatku berteduh dulu (PONPES LANGITAN WIDANG TUBAN) adalah berasal dari santri-santri yang sudah lama mondok hingga diminta Kyai (pengasuh) untuk membantu mengajar santri-santri junior dan mengamalkan segala ilmu yang telah dipelajari selama ini.
Ketawadhu’an santri pada gurunya adalah alasan kuat mereka-mereka bisa bertahan di ponpes hingga usia yang mungkin tergolong tidak muda lagi. Mereka terus mengabdi, bahkan tak jarang mereka dipertemukan jodohnya dengan sesama santri senior yang juga diminta menjadi guru. Hingga..... untuk ridho guru dan perjuangan dakwah, maka dalam urusan pasangan hidup  pun mereka -sam’an wa tho’atan- kepada Kyainya.
Sungguh tak ada jaminan finansial dalam pilihan menjadi asatidz asatidzah di pesantren. Karena bisyaroh atau gaji yang diberikan hanya rupiah yang nominalnya tidak sampai 3 lembar uang bergambar mawar merah per bulannya. Ya.. nominal itu bukan gaji impian yang indah. Sebuah ilmu ketawadhu’an mengesampingkan urusan dunia yang lain-lain.
Bagi Ustadz yang sudah menikah dan punya tanggungan keluarga dipinjamkan sepetak rumah dilingkungan pesantren. Namun mereka harus putar otak untuk memenuhi kebutuhan hidup. Banyak dari mereka yang memilih berdagang di sekitar lingkungan pesantren. Ada yang berdagang makanan dan kerupuk. Yang punya cukup modal ada yang mendirikan wartel dan warnet. Ada juga yang menjual jasa penyampulan kulit kitab-kitab agar lebih awet, penulisan kaligrafi dan lain sebagainya.
Dan bahkan ada yang susah dijelaskan dengan logika tentang hikmah tersembunyi sikap taat pada guru.... seorang ustadz sering mendapatkan proyek membuat rancangan gambar pola bangunan masjid layaknya arsitek handal. Padahal beliau tidak pernah sekolah atau kuliah jurusan arsitektur. Hanya berbekal diklat tentang arsitektur yang pernah di adakan di pesantren beberapa tahun yang lampau... subhanallah kan..
Guru bagiku adalah melati. Mewangi sedalam imaji dan sepenuh puji dalam do’a-do’a hati. Setitik asaku ingin menjadi seorang guru, tak diijinkan oleh takdirku selain menjadi guru dari anak-anakku.
# #  #  # # #

Sekuntum do’aku untuk beribu melatiku....
Bint@ al-MamBa
20 juni 2010


Footnote: 

Sekar melati, tansah wangi sak njering ati : bunga melati, selalu harum dalam sepenuh hati
Primpen : teliti
Gatalan : hanya sebuah fenomena penyakit kulit yang mudah menular ke seluruh penghuni     pesantren dimasa lalu, pada masa ini semua lebih higinis dengan segala fasilitas yang semakin diperbaiki.
sam’an wa tho’atan : mendengar dan mentaati...





2 komentar:

  1. Assalammu alaikum.. halo, Binta..semoga kita bisa jadi guru untuk diri kita sendiri juga, yaa.. Aku jadi pengikutmu yang pertama, lho hehe.. Ayo intip blogku, bundanidzihai.blogspot.com

    BalasHapus
  2. syukron mbak... huhuhu.. aku belum ngeh cara2 jadi pengikut gimana ?? masih butuh bwanyakkkk belajar.
    belajar bareng zaaa :D

    BalasHapus

Komentar kamu adalah penyambung silaturrahmi kita, maka jangan ragu meninggalkan jejak :)

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...