Berjibaku dengan isi rumah yang rutinitasnya jelas hampir sama setiap harinya. Sebagai Ibu rumah tangga sepenuh waktu, sesungguhnya bohong banget kalau aku tidak merasa bosan, jenuh dan sesekali dirudung sesal. Perasaan itu (meski tidak setiap hari) acapkali mampir dan mengganggu pikiranku
Apalagi mendengar cerita teman-teman sekolah sekarang, Kabar mereka saat ini ada yang sudah diangkat jadi PNS. Kerja disana-sini yang mencerminkan bukti kesuksesan setelah menggenggam gelar sarjana.
Kenapa sesal??
Ya, kalau flashback ke masa lalu. Kenapa dulu aku tidak berjuang lebih keras lagi meminta pada orang tuaku untuk kuliah. Padahal secara ekonomi keluarga kami mampu. Kenapa aku terlalu menurut untuk masuk ke pesantren seperti keinginan Ibuku. Hingga jalan hidupku jadinya 'hanya' seperti ini. Keluar dari pesantren kemudian menikah dan beruntun punya anak-anak.
Hingga pun pada saat ini beberapa orang masih suka usil bertanya kepadaku, Kenapa orang tuaku dulu tidak mengkuliahkan aku padahal mampu? kenapa orang tuaku tak menjadikan anak-anaknya dokter, pegawai, atau apa gitu yang menjamin kemakmuran hidup. Duh, pertanyaan yang dulu sempat kuanggap sangat memojokkan.
Hmm... sekarang adalah sekarang. Yang merupakan takdir Pilihan Tuhan, sungguh menyakitkan jika terus merutuki nasib dan menyalahkan pilihan yang sudah dipilih. Ketika perasaan-perasaan buruk itu datang menghampiri, cepat-cepat aku suruh pergi. Simpel saja kalau rasa-rasa itu dibiarkan kerasan menginap di hati maka aku sendiri yang sakit dan rugi. Rugi waktu dan energi yang mustinya bisa dipakai untuk melakukan hal lain yang lebih bermanfaat.
Bahkan seharusnya aku bersyukur bahwa dulu Ibuku mengarahkanku ke pesantren. Karena dari sana banyak mengetahui ikhwal agama yang kuyakini, apa-apa yang sesuai dan tidak sesuai dengan ajaran Nabi, yang tak sekedar teori saja. Meski cuma 4 tahun di pesantren, aku pernah berkumpul dengan orang-orang alim yang cara pengajarannya dicontohkan langsung dalam keseharian mereka. Dan mungkin karena guru-guru itu mengajari dengan contoh nyata amal keseharian dan selalu mendoakan pada kami santri-santri, hingga sampai sekarang pun ajaran mereka seolah tetap melekat di hati.
Tentang tidak berkesempatan kuliah dan mengejar gelar serjana, lambat laun aku menemukan pemahaman bahwa pengalaman kuliah dan gelar sarjana bukan suatu hal yang niscaya menjadi jalan seseorang untuk meraih cita-cita. Sebab ternyata tanpa menjadi sarjana pun aku bisa meraih sesuatu yang kucita-citakan sejak dulu. Menjadi penulis sungguh tak perlu harus kuliah dan menjadi sarjana. Dengan dukungan suami yang membelikan netbook, modem dan pulsa unlimited yang tak pernah telat aku selalu bisa update informasi dan ikut-ikut lomba menulis, nyoba-nyoba kirim ke majalan atau koran, kemudian ikut juga audisi-audisi hingga memberanikan diri mengetuk pintu penerbit untuk menawarkan naskah. Alhamdulillah meski bertabur kisah kegagalan namun ada beberapa juga yang sukses berakhir menjadi transferan rupiah, nembus majalah, terbitan buku antologi dan beberapa paket hadiah yang diantar pak pos. Dan insyaAllah segera terbit juga buku kumpulan kisah indahku selama di pesantren yang telah lolos di penerbit dzikrul hakim dengan penyunting teh Pipiet senja (semoga segera terbit dan nangkring manis di tobuk-tobuk seluruh indonesia hehe..) Sungguh aku menikmati segala proses dan berani bilang kalau perjalanan pena itu menakjubkan. Tak sekedar tentang hasil rupiah, namun aku punya kisah yang layak dibagi dan sungguh merupakan kepuasan tersendiri melihat buku-buku yang didalamnya terdapat tulisanku itu nanti menjadi warisan untuk anak-anakku kelak.
Apalagi yang kurang?
Aku kadang tertawa sendiri mengingat rasa-rasa sesalku karena tak sempat kuliah dan mengejar gelar sarjana. Faktanya sekarang sarjana juga banyak yang nganggur kan!. Dan sekarang jika ada yang masih bertanya yang seolah-olah menyalahkan orang tuaku karena mereka lebih memilih pesantren untuk pendidikan putri-putrinya aku hanya membalas dengan senyum manis tanpa menggubris.
Ini sudah lebih dari cukup. Kebahagiaan itu adalah menikmati proses mendamaikan hati dengan takdir.
Iya, apalagi yang kurang. Sebuah teori dari al-Qur'an : ketika kamu bersyukur maka akan kutambah nikmatmu. Sungguh benar adanya.
Wallahu a'lam
***
Tulisan ini diikutkan dalam Even Catatan Hati 10 Maret 2012 – @yankmira #1 Giveaway”
Apalagi mendengar cerita teman-teman sekolah sekarang, Kabar mereka saat ini ada yang sudah diangkat jadi PNS. Kerja disana-sini yang mencerminkan bukti kesuksesan setelah menggenggam gelar sarjana.
Kenapa sesal??
Ya, kalau flashback ke masa lalu. Kenapa dulu aku tidak berjuang lebih keras lagi meminta pada orang tuaku untuk kuliah. Padahal secara ekonomi keluarga kami mampu. Kenapa aku terlalu menurut untuk masuk ke pesantren seperti keinginan Ibuku. Hingga jalan hidupku jadinya 'hanya' seperti ini. Keluar dari pesantren kemudian menikah dan beruntun punya anak-anak.
Hingga pun pada saat ini beberapa orang masih suka usil bertanya kepadaku, Kenapa orang tuaku dulu tidak mengkuliahkan aku padahal mampu? kenapa orang tuaku tak menjadikan anak-anaknya dokter, pegawai, atau apa gitu yang menjamin kemakmuran hidup. Duh, pertanyaan yang dulu sempat kuanggap sangat memojokkan.
Hmm... sekarang adalah sekarang. Yang merupakan takdir Pilihan Tuhan, sungguh menyakitkan jika terus merutuki nasib dan menyalahkan pilihan yang sudah dipilih. Ketika perasaan-perasaan buruk itu datang menghampiri, cepat-cepat aku suruh pergi. Simpel saja kalau rasa-rasa itu dibiarkan kerasan menginap di hati maka aku sendiri yang sakit dan rugi. Rugi waktu dan energi yang mustinya bisa dipakai untuk melakukan hal lain yang lebih bermanfaat.
Bahkan seharusnya aku bersyukur bahwa dulu Ibuku mengarahkanku ke pesantren. Karena dari sana banyak mengetahui ikhwal agama yang kuyakini, apa-apa yang sesuai dan tidak sesuai dengan ajaran Nabi, yang tak sekedar teori saja. Meski cuma 4 tahun di pesantren, aku pernah berkumpul dengan orang-orang alim yang cara pengajarannya dicontohkan langsung dalam keseharian mereka. Dan mungkin karena guru-guru itu mengajari dengan contoh nyata amal keseharian dan selalu mendoakan pada kami santri-santri, hingga sampai sekarang pun ajaran mereka seolah tetap melekat di hati.
Tentang tidak berkesempatan kuliah dan mengejar gelar serjana, lambat laun aku menemukan pemahaman bahwa pengalaman kuliah dan gelar sarjana bukan suatu hal yang niscaya menjadi jalan seseorang untuk meraih cita-cita. Sebab ternyata tanpa menjadi sarjana pun aku bisa meraih sesuatu yang kucita-citakan sejak dulu. Menjadi penulis sungguh tak perlu harus kuliah dan menjadi sarjana. Dengan dukungan suami yang membelikan netbook, modem dan pulsa unlimited yang tak pernah telat aku selalu bisa update informasi dan ikut-ikut lomba menulis, nyoba-nyoba kirim ke majalan atau koran, kemudian ikut juga audisi-audisi hingga memberanikan diri mengetuk pintu penerbit untuk menawarkan naskah. Alhamdulillah meski bertabur kisah kegagalan namun ada beberapa juga yang sukses berakhir menjadi transferan rupiah, nembus majalah, terbitan buku antologi dan beberapa paket hadiah yang diantar pak pos. Dan insyaAllah segera terbit juga buku kumpulan kisah indahku selama di pesantren yang telah lolos di penerbit dzikrul hakim dengan penyunting teh Pipiet senja (semoga segera terbit dan nangkring manis di tobuk-tobuk seluruh indonesia hehe..) Sungguh aku menikmati segala proses dan berani bilang kalau perjalanan pena itu menakjubkan. Tak sekedar tentang hasil rupiah, namun aku punya kisah yang layak dibagi dan sungguh merupakan kepuasan tersendiri melihat buku-buku yang didalamnya terdapat tulisanku itu nanti menjadi warisan untuk anak-anakku kelak.
Apalagi yang kurang?
Aku kadang tertawa sendiri mengingat rasa-rasa sesalku karena tak sempat kuliah dan mengejar gelar sarjana. Faktanya sekarang sarjana juga banyak yang nganggur kan!. Dan sekarang jika ada yang masih bertanya yang seolah-olah menyalahkan orang tuaku karena mereka lebih memilih pesantren untuk pendidikan putri-putrinya aku hanya membalas dengan senyum manis tanpa menggubris.
Ini sudah lebih dari cukup. Kebahagiaan itu adalah menikmati proses mendamaikan hati dengan takdir.
Iya, apalagi yang kurang. Sebuah teori dari al-Qur'an : ketika kamu bersyukur maka akan kutambah nikmatmu. Sungguh benar adanya.
Wallahu a'lam
***
Tulisan ini diikutkan dalam Even Catatan Hati 10 Maret 2012 – @yankmira #1 Giveaway”
aihhh keren. aku pemesan pertama untuk bukunya nanti yaa. terima kasih atas partisipasinya mak, sudah aku masukkan ke list inspirasiku :)
BalasHapuswah makasih mbak.. semoga segera terbit ya, seneng banget sudah ada yang pesen :D
Hapuswoooww......nice posting! salam kenal ya...keren deh kisahnya...
BalasHapusmaksih sudah mampir mbak rose :)
Hapussukses ya Binta, kereeen.
BalasHapustenkyu mbak naqy :D
Hapus