Masih hangat beritanya.. Djenar maesa ayu telah meluncurkan buku baru berjudul T(w)itit. Sebenarnya judul itu biasa-biasa saja seandainya huruf 'w' nya tidak dimasukkan dalam kurung. Dengan kata lain secara sengaja deretan huruf itu di dekatkan pada sensasi kata yang terbentuk seandainya huruf dalam kurung itu tidak ada. Hmm.. padahal buku T(w)itit itu adalah kumpulan cerita yang ide awalnya berasal dari twit-twitnya di jejaring sosial twiter. Twit-twit itu dikembangkan menjadi cerita pendek yang saya sendiri tidak tahu isinya seperti apa. Tapi jujur, ketika disuguhkan dengan judulnya saja pikiran dan rasa perut saya sudah mual dan kacau. Yah, sukses sekali judul itu 'memancing'... hmm.
Saya sedang tidak ingin menghujat atau mencela penulis yang membuat judul itu. Seteleh menelusuri lebih jauh siapa sosok itu. Dari bincang-bincang dengan teman dan tak lupa meng-gugle... Artis yang cukup beken, sekaligus penulis yang sudah terkenal punya ciri khas menulis genre sastra wangi (namun tak jarang ada yang menyebutnya sastra kelamin). Intip sejenak judul-judul karyanya : jangan main-main (dengan kelaminmu), menyusu ayah dll. Artinya emang yang ditulis sukanya membahas dan mengeksplorasi dunia sekitar selangkangan. So what?... berdasarkan pengalaman ketika bergaul dalam komunitas sastra yang global, semua itu sah-sah saja. Mereka punya segmen pembaca sendiri, tak sedikit yang mengidolakannya. Mereka mengatakan bahwa : karya-karya perempuan Indonesia yang melukiskan seksualitas secara jujur sebagai ‘Sastra pembebasan’ atau ‘sastra emansipasi’. (Sumber: Media Indonesia, Minggu, 02 September 2007). Menurutnya, itulah istilah yang tepat pada para generasi penulis baru seperti Ayu Utami, Djenar Maesa Ayu, Dinar Rahayu, Noriyu, Fira Basuki, dan lainnya. Sastra wangi pengharum progresivitas sastra baru Indonesia. Penulis-penulis muda dengan palu penghancur! Mereka ialah saksi, memberikan kesaksian terhadap hiruk pikuk zaman kita, dan menggambarkan tokoh-tokohnya tanpa belas kasihan ke hadapan kita.
raungan dan hantaman telak terhadap dunia! Perlawanan atau pembebasan terhadap dunia yang menistakan manusia dan kehidupan, menistakan perempuan, demikian individual sifatnya. Generasi sastrawati baru ini merupakan bagian dari perlawanan individu yang menolak dibendakan, diobjektivikasi, didominasi konstruksi sosial di manapun di muka bumi. Siapa yang mesti menghakimi ekspresi mereka? Hanya pembaca serta waktu yang akan menghukum atau mengapresiasi karya sastra mereka. (yang digaris miring itu mengutip dari blog ini)
Tapi saya hanya sedang berpikir. Bahwa tulisan itu bisa abadi. Ketika kita sudah menulis kemudian diterbitkan menjadi buku, majalah atau hanya edar di web-web dunia maya, sungguh jika sudah terbaca maka sedikit atau banyak akan menginspirasi pembacanya. Dan apa inspirasi didapat dari buku-buku semacam itu? ujung-ujungnya juga memancing nafsu biologis manusia dewasa. Bagaimana pula jadinya jika yang membaca dan mengambil inspirasi adalah anak dibawah umur? toh jika sudah dilempar ke pasaran maka tak ada yang bisa membatasi siapa-siapa yang boleh membaca buku-buku tersebut. Jika di note facebook atau blog kita masih bisa menghapus postingannya. Namun ketika sudah terbit dan edar di masyarakat maka akan sangat tidak mungkin menghapusnya ketika pada saat jeda disapa penyesalan.
Saya juga berpikir tentang pertanggung jawaban. Buku catatan amal itu bisa menjadi sebuah daftar siklus bisnis MLM. Jika kebaikan yang dilakukan bisa sambung menyambung hingga banyak orang maka perintis pertama akan terus dialiri pahalanya. Catatan itu ditulis malaikat lho, so pasti lebih teliti kalkulasinya dibanding manusia. Dan bagaimana jika perintis inspirasi pertama itu menebar selain kebaikan? cukup anda bayangkan saja sendiri...
Tidak mungkin mencegah hal-hal semacam itu hanya dengan menghujat atau mencela. Orang bijak menyarankan agar melawan karya dengan karya. Sebagaimana yang dilakukan aktor dan sutradara kawakan Dedi mizwar, beberapa kali sukses menerbitkan tayangan TV yang menginspirasi kebaikan. Sebuah upaya mengimbangi tayangan yang menerjang norma dan membahayakan akidah hanya demi rating dan rupiah.
Lawan kerja dengan kerja, lawan gerakan dengan gerakan. Gelontorkan karya-karya pencerah yang sebisa mungkin lebih dikemas menggemaskan dan bermutu. Kemudian luaskan penyampaian karya-karya tersebut dengan istiqomah dan tak kenal lelah.
Ah, padahal saya penulis yang masih payah. Ingin saja tetap memegang mimpi dalam koridor yang (menurut saya ) indah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Komentar kamu adalah penyambung silaturrahmi kita, maka jangan ragu meninggalkan jejak :)