Minggu, 14 Juli 2013

Zuhud di Dunia Pena.

Dunia menulis kalau dikatakan sebagai sebuah profesi dan dihubung-hubungkan dengan penghasilan, maka selalu akan terhubung dengan penerbitan dan kelanjutannya adalah reward berupa royalti atau honor-honor tertentu. 

Kita pasti sudah mendengar betapa mencengangkannya jika karya tulis yang dicetak dan dijual kemudian laris manis. Penulisnya bisa kaya raya melebihi kekayaan seorang Ratu Inggris. JK Rowling.. pasti banyak yang sudah tahu tentang fakta cerita tersebut...

Kemarin sore hari-hari awal puasa, saya mendapati acara menarik di sebuah radio. Radio yang dipancarkan di kota kecil kami. Suara Tebu Ireng... disana sembari diperdengarkan lagu-lagu Nasyid dan sholawat nabi, di sela-selanya diceritakan biografi ulama-ulama yang cemerlang. 

Seri yang saya jumpai sedang menceritakan tentang KH Maksum Ali, seorang Kyai kelahiran kota Gresik yang kemudian menimba ilmu kepada KH Hasyim As'ari tebu Ireng. Selanjutnya beliau diambil menantu oleh KH Hasyim dan dan disarankan berdakwah dan mendirikan pesantren di desa Seblak (Lokasinya tak begitu jauh dari Tebu Ireng sendiri, masih satu kecamatan) 

 Kebanyakan ulama' dan pendakwah masa lampau juga menulis buku. Biasanya adalah kitab-kitab rujukan untuk mempermudah para santri belajar agama.

Subhanallah.. kemana saja saya selama ini? heuu.. saya baru ngeh dan tahu bahwa beliau ini adalah pengarang kitab amtsilatut tashrifiyyah, yang oleh para santri lebih familiar disebut sebagai kitab tashrif. Kitab kecil dan paling mendasar dalam memahami tata bahasa arab. Kitab ini dipakai di hampir semua pesantren salaf atau sekolah-sekolah madrasah di seluruh indonesia bahkan negera-negara islam luar negeri --- untuk pegangan dasar pelajaran Shorof, rincian pengenalan jenis kata dalam bahasa arab berbentuk tabel berderet yang kemudian dihafalkan dengan cara dilagukan... fa'ala-- yaf'ulu-- fa'lan-- wa maf'alan... (huaaa sampai sekarang saya belum bisa ngetik dengan huruf arab..hiks hiks)

Penyiar radio itu dengan lugas menceritakan bahwa memang kitab-kitab karangannya lebih mendunia daripada nama penulisnya sendiri. Dia benar sekali, terbukti saya sendiri sejak kecil sudah diajari tasrifan di madrasah Ibtida', diulang lagi di Madrasah Tsanawy, lanjut ke Aliyah hingga ke ponpes yang pelajaran sekolahnya tahassus 'ulumuddin. Lafal dan irama menadzamkan pada bab awalnya sudah tertancap hafal diluar kepala saya seperti hafalnya surat fatihah (tapi bab-bab selanjutnya sudah gak hafal qiqiqiqi..). Artinya saya sudah merasa kenal dengan kitab mungil nan penuh manfaat itu namun ternyata saya sama sekali tidak ngeh kalau penulisnya, penyusunnya adalah Kyai yang domisili tak jauh dari kampung saya, tetangga kampung yang masih satu kecamatan, Desa Seblak. Subhannallah... jadi malu rasanya kalau ingat saya suka menulis berderet keterangan (seringnya tentang prestasi yang itu-itu saja) tentang diri ini pada kolom biodata sebuah buku. Padahal tulisan saya yang termuat di antologi cuma sedikit, nyempil diantara tulisan kontributor yang lain.

Kemudian saya gugling karena pengen tahu lebih jauh tentang Kyai tersebut, dan mendapatkan website madrasah yang didirikan beliau MISS (Madrasah Salafiyyah Syafi'iyyah) Seblak. http://miss-seblak.blogspot.com/2011/04/kh-m-masum-ali-pengarang.htmlSaya malah menemukan cerita sebagai berikut :

Untuk menghindari sikap sombong di hadapan manusia, menjelang wafat, beliau membakar fotonya. Padahal itu adalah satu-satunya foto yang dimiliki. Hal ini tak lain karena beliau takut identitasnya diketahui oleh banyak orang, yang nantinya akan menimbulkan penyakit hati seperti riya’, ujub, dan sombong.




Faktanya lagi, mereka (penulis-penulis yang juga ulama') sama sekali tak ada royaltinya. Kitab-kitab kuning yang terus dicetak ulang itu seumpama ada royaltinya itu saya yakin akan lebih besar dari royalti JK Rowling. Dan ini bukan rahasia baru sih.. sudah sejak dulu saya diberikan info oleh Masayikh saya pas masih belajar di Pasantren Langitan. Bahwa para ulama' itu menulis tanpa royalti, murni untuk mentasarrufkan ilmu. Kalau saja mereka dapat royalti pasti jejak tanda-tanda kekayaan seperti itu akan terlihat pada keluarga anak cucu Kyai Ali Maksum pengarang kitab Tashrifan yang mendunia itu.  

Namun ketika di'segar'kan lagi tentang cerita-cerita semacam itu, tak urung saya berkali-kali bertasbih namun kemudian juga beristighfar. Karena nama --penulis- adalah sebutan keren yang berusaha saya sematkan pada diri sendiri. Karena merasa 'pernah' menulis buku, saya ingin dikenal orang sebagai penulis. Dan sungguh, taraf kezuhudan saya masih sejentik ujung jari saja. Belum bisa meneladani ulama' ulama' keren itu. Saya masih menagih-nagih dengan penasaran ketika honor belum juga diberikan usai tulisan saya dimuat di media cetak. Saya juga masih suka keblinger dengan hadiah-hadiah yang ditawarkan lomba blog padahal tema tulisan yang ditawarkan tak begitu bermanfaat untuk orang banyak (manfaatnya biasanya hanya pada produk sponsor yang mengadakan even demi mempromokan dagangannya). Aduuuh.. 

Pertanyaannya sekarang, mungkin nggak sih jaman sekarang penulis bisa zuhud, menauladani ulama-ulama tersebut?

Meskipun perbandingan kualitas kezuhudan kita dan mereka jauuuh.. ya setidaknya saya ingin berniat menauladani mereka sedikit-sedikit. Berdo'a semoga niat dan tekat untuk itu selalu di-update oleh Allah SWT melalui sentilan peringatan-peringatan dari teman yang baik atau dari mana saja... karena kelemahan saya adalah kadang suka naik turun terpengaruh keadaan. Lupa niat awal dan yaaa.. entahlah... Hiks...

Zuhud bukanlah hidup tanpa harta... tapi tidak meletakkan harta di hatinya, tidak meletakkan harta sebagai destinasi segala perbuatannya, meski emas dan dunia dalam genggamannya. Semoga kita bisa menuju ke arah sana ya temans.. di dunia pena atau di sisi dunia lain yang mana saja.. amiiiin
*** 








6 komentar:

  1. Waw..subhanallah sampe bakar photo :-) ckckck

    BalasHapus
  2. Astaghfirullah, sebuah renungan yang dalam mbak Binta. Kadang kita merasa perlu beraktualisasi diri, namun kita jadi kebablasan dengan yang namanya penghargaan. Sekalipun tidak selalu berwujud materi, tapi pujian. Keikhlasan kemudian dipertanyakan. Sejauh mana kita sudah berserah diri?
    Berzuhud adalah bentuk kita ikhlas pada apapun yang kita kerjakan dan kita peroleh.

    Nice share mbak. Trima kasih.

    BalasHapus
  3. bangun ceria, mbak niken.. makasih sudah mampir. smoga manfaat berbagi renungan ini. amiin :)

    BalasHapus
  4. GAjah mati meninggalkan gading, harimau mati meninggalkan belang maka kelak manusia jika sdh tiada sebaiknya meninggalkan karya yang bermanfaat. Sejak masa keemasan Islam di Andalusia banyak sekali penulis2 Islam yang sangat handal dan diperhitungkan. Menuliskan mulai dari ilmu agama, sciene, ilmu kedokteran, matematika dsb, sampai skrg dikenang. Belum lagi ulama2 dunia seperti Al Ghozali, Ibnu taymiyah, Ibnu Qayim ssamapi pda Yusuf Al Ghardawi semua mempunyai karya2 yang spektakuler dan bermanfaat bagi umat Islam utk mempermudah beragama dan berdakwah...

    Renungannya mengena banget mbak

    BalasHapus
  5. iya betul mb binta, para ulama memang zuhud. aku pernah nulis status klo jd penulis itu jgn hanya krn uang, dan aku dibully habis2an sama penulis baru yg sampe skrg blm jg nerbitin buku apa2, krn dia mau nuis utk uang.

    BalasHapus
  6. pak insan robbani : matur suwun sdh mampir dan meninggakn jejal apresiasinya ya :)
    mbak leyla : ya mbak yang penting qt usaha menauladani kezuhudan itu.. susah tp hrs diniatkan dicoba :)

    BalasHapus

Komentar kamu adalah penyambung silaturrahmi kita, maka jangan ragu meninggalkan jejak :)

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...