Kalau dikatakan tentang bahasa jawa pasti kesan yang tertangkap adalah bahasa keraton yang identik dengan haluuus, lemah lembuuut, bertata krama dan sopaaan.
Hmm.. tapi tunggu dulu sodara-sodara. Suku jawa yang memakai bahasa jawa itu banyak, Nggak cuma di Jogjakarta, Solo atau Jawa tengah saja, Jawa Timur juga masih termasuk suku jawa tapi logat bahasanya 'suer deh' gak ada lembut-lembutnya, malah cenderung kasar, blak-blakan dan terdengar sangar. Tengok saja bahasa orang suroboyoan dalam acara berita -pojok kampung- JTV (tivinya orang jawa timur). Ada kata-kata 'mbok ndewor' untuk menyebutkan bahasanya 'janda tua'. Ada juga kata 'matek' untuk menyebutkan bahasanya orang 'meninggal' :D
Sumber Vidio : http://www.youtube.com/watch?v=ylongvLXlZo
Menurut sebagian orang tua-tua yang pernah saya temui mengatakan bahwa makin ke timur mendekati pesisir biasanya bahasa jawanya akan semakin kasar. Penyebabnya (katanya) adalah jaman dulu jarak antar tetangga di daerah pesisir itu berjauhan letaknya sehingga semisal pengen minta garam atau ngutang cabe maka harus teriak kencang-kencang ke tteangganya hehe.. katanya loh^^..
Jadi menurut pengalaman saya, bahasa jawa itu sangat beragam tergantung domisilinya dimana. Bisa dibilang lain tempat lain logat. Saya sangat merasakan warna-warni perbedaan logat itu adalah saat masih di pesantren Langitan Tuban. Mayoritas santrinya adalah anak Jawa timur, jadi antara Jombang, Nganjuk, Kediri, Lamongan, Tuban, Gresik itu logatnya bener-bener nggak sama.
Secara garis besarnya sih sama menggunakan bahasa jawa, namun ada beberapa kata yang beda. Misalnya bahasanya orang Tuban nih, kalau saya yang jombang biasa mengucapkan 'sandalmu', 'Ibukmu' untuk maksud 'sandalnya kamu', 'Ibunya kamu' tapi kalau orang Tuban akan mengatakan 'sandalem', 'Ibukem'.. kemudian nada bahasanya juga terdengar kalem dan manja (mirip-mirip orang sunda).
Lain lagi orang Lamongan yang menurut saya agak beda dalam melafalkan vokal 'O'.
Kemudian orang Gresik yang masih suka menyebut 'aku dan kamu' dengan sebutan 'ingsun lan siro'.
Nah, saya pernah ada kejadian lucu tentang bahasa berbeda-bedanya logat bahasa jawa. Ehm.. tepatnya suami saya sih yang mengalaminya. Saat suami saya mengantar adik untuk melamar calon istri di daerah Lumajang, mereka dijamu dengan hidangan sate. Satenya banyak sekali jumlah tusukannya namun sambelnya ternyata cuman sedikit. Dari balik tembok sang tuan rumah bebincang agak lirih namun masih terdengar oleh suami saya.
"Sambelnya kurang iki" (sambelnya kurang ini) kata seorang laki-laki.
"Lah sampeyan maeng pas tuku gak gelem nyocot, nek aku sing tuku lak nyocot njaluk sambel sing akeh"(lah kamu tadi pas beli gak bilang, kalo aku yang beli kan selalu bilang minta sambel yang banyak) jawab perempuan yang sepertinya istrinya si laki-laki. Terang saja percakapan itu membuat suami saya dan adiknya ingin meledakkan tawa namun ditahan-tahan sekuatnya demi menghormati calon mertua/besan. Apa pasal? karena bahasa 'Nyocot' menurut kebiasaan kami di Jombang adalah bahasa yang sangat kasar dan buruk.
Jadi berdasarkan pengalaman saya meskipun sesama pemakai bahasa jawa tetaplah berbaik sangka dan hati-hati di segala tempat baru yang kebiasaannya belum kita ketahui. Bagaimanapun tamu haruslah yang beradaptasi dengan kebiasaan pemilik rumah, pendatang haruslah yang beradaptasi dengan masyarakat asli. Karena bisa jadi yang di daerah kita biasa-biasa saja bisa bermakna buruk di daerah lain, bisa jadi di daerah kita buruuuk sekali namun di daerah lain maknanya hanya standar.
Dan sebagai orang yang terlahir di Jombang tentu saja saya mencintai kampung halaman saya. Ada sisi baik yang patut di banggakan namun pasti juga ada sisi buruk yang mengharuskan kami para penghuninya introspeksi memperbaiki diri. Seperti namanya Jombang, kata orang-orang tua dulu berasal dari kata ijo dan abang, sebuah simbol kebaikan dan keburukan yang membaur dalam satu tempat, jadi di sini anda dapat menemukan sosok baiiik macam MH Ainun Najib yang dikenal dengan sebutan Cak Nun (maksud saya adalah terkenal sisi postifnya), dapat juga menemukan sosok jahaaat macam Ryan sang penjagal (terkenalnya sisi negatif), ada juga sosok kontrovesi kayak Ponari si tabib kecil dengan senjata batu celup.
Jadi jikalau anda adalah turis luar indonesia yang kebetulan sedang mempelajari bahasa jawa ala Jogjakarta (yang emang rumitnya minta ampun mirip dengan tata bahasa arab), maka ketika berkunjung ke Jombang anda harus belajar lagi deh karena biarpun sesama jawa lain tempat lain logat.
Iya, saya katakan rumit karena sepengetahuan saya dalam pelajaran Bahasa Jawa itu akan ada sebutan-sebutan khusus untuk anaknya hewan semisal : Kebo (kerbau) anaknya bernama Gudel, bebek anaknya bernama Meri. Ada juga sebutan tentang anak, kalau 3 bersaudara perempuan dinamakan gotong mayit, 5 bersaudara laki-laki semua dinamakan pandawa, 3 saudara yang tengah laki-laki kemudian sulung bungsunya perempuan dinamakan sendang kapit pancuran. Sebutan-sebutan khusus buat bunga, atau buah yang masih kecil dari satu pohon juga ada. Belum lagi kata-kata yang terbagi menjadi 3 strata ngoko, madyo dan kromo... ckckc silahkan dibayangkan sendiri deh^^. Namun meski begitu rumitnya toh tetep harus saya cintai, pelajari dan terapkan sebagai wujud melestarikan tradisi. Kalau bukan generasi kita siapa lagi?
Dan akhirul postingan,... mari mencintai masing-masing bahasa dan budaya dari kampung halaman kita. Salah satu cara cinta negeri adalah menjaga tradisi, termasuk bahsa daerah.
Wallahu a'lam..
***
Jadi menurut pengalaman saya, bahasa jawa itu sangat beragam tergantung domisilinya dimana. Bisa dibilang lain tempat lain logat. Saya sangat merasakan warna-warni perbedaan logat itu adalah saat masih di pesantren Langitan Tuban. Mayoritas santrinya adalah anak Jawa timur, jadi antara Jombang, Nganjuk, Kediri, Lamongan, Tuban, Gresik itu logatnya bener-bener nggak sama.
Secara garis besarnya sih sama menggunakan bahasa jawa, namun ada beberapa kata yang beda. Misalnya bahasanya orang Tuban nih, kalau saya yang jombang biasa mengucapkan 'sandalmu', 'Ibukmu' untuk maksud 'sandalnya kamu', 'Ibunya kamu' tapi kalau orang Tuban akan mengatakan 'sandalem', 'Ibukem'.. kemudian nada bahasanya juga terdengar kalem dan manja (mirip-mirip orang sunda).
Lain lagi orang Lamongan yang menurut saya agak beda dalam melafalkan vokal 'O'.
Kemudian orang Gresik yang masih suka menyebut 'aku dan kamu' dengan sebutan 'ingsun lan siro'.
Nah, saya pernah ada kejadian lucu tentang bahasa berbeda-bedanya logat bahasa jawa. Ehm.. tepatnya suami saya sih yang mengalaminya. Saat suami saya mengantar adik untuk melamar calon istri di daerah Lumajang, mereka dijamu dengan hidangan sate. Satenya banyak sekali jumlah tusukannya namun sambelnya ternyata cuman sedikit. Dari balik tembok sang tuan rumah bebincang agak lirih namun masih terdengar oleh suami saya.
"Sambelnya kurang iki" (sambelnya kurang ini) kata seorang laki-laki.
"Lah sampeyan maeng pas tuku gak gelem nyocot, nek aku sing tuku lak nyocot njaluk sambel sing akeh"(lah kamu tadi pas beli gak bilang, kalo aku yang beli kan selalu bilang minta sambel yang banyak) jawab perempuan yang sepertinya istrinya si laki-laki. Terang saja percakapan itu membuat suami saya dan adiknya ingin meledakkan tawa namun ditahan-tahan sekuatnya demi menghormati calon mertua/besan. Apa pasal? karena bahasa 'Nyocot' menurut kebiasaan kami di Jombang adalah bahasa yang sangat kasar dan buruk.
Jadi berdasarkan pengalaman saya meskipun sesama pemakai bahasa jawa tetaplah berbaik sangka dan hati-hati di segala tempat baru yang kebiasaannya belum kita ketahui. Bagaimanapun tamu haruslah yang beradaptasi dengan kebiasaan pemilik rumah, pendatang haruslah yang beradaptasi dengan masyarakat asli. Karena bisa jadi yang di daerah kita biasa-biasa saja bisa bermakna buruk di daerah lain, bisa jadi di daerah kita buruuuk sekali namun di daerah lain maknanya hanya standar.
Dan sebagai orang yang terlahir di Jombang tentu saja saya mencintai kampung halaman saya. Ada sisi baik yang patut di banggakan namun pasti juga ada sisi buruk yang mengharuskan kami para penghuninya introspeksi memperbaiki diri. Seperti namanya Jombang, kata orang-orang tua dulu berasal dari kata ijo dan abang, sebuah simbol kebaikan dan keburukan yang membaur dalam satu tempat, jadi di sini anda dapat menemukan sosok baiiik macam MH Ainun Najib yang dikenal dengan sebutan Cak Nun (maksud saya adalah terkenal sisi postifnya), dapat juga menemukan sosok jahaaat macam Ryan sang penjagal (terkenalnya sisi negatif), ada juga sosok kontrovesi kayak Ponari si tabib kecil dengan senjata batu celup.
Ringin Conthong, salah satu bangunan yang menjadi ikon kota Jombang. terlatak di tengah-tengah kota. Gambar berasal dari SINI.. |
Jadi jikalau anda adalah turis luar indonesia yang kebetulan sedang mempelajari bahasa jawa ala Jogjakarta (yang emang rumitnya minta ampun mirip dengan tata bahasa arab), maka ketika berkunjung ke Jombang anda harus belajar lagi deh karena biarpun sesama jawa lain tempat lain logat.
Iya, saya katakan rumit karena sepengetahuan saya dalam pelajaran Bahasa Jawa itu akan ada sebutan-sebutan khusus untuk anaknya hewan semisal : Kebo (kerbau) anaknya bernama Gudel, bebek anaknya bernama Meri. Ada juga sebutan tentang anak, kalau 3 bersaudara perempuan dinamakan gotong mayit, 5 bersaudara laki-laki semua dinamakan pandawa, 3 saudara yang tengah laki-laki kemudian sulung bungsunya perempuan dinamakan sendang kapit pancuran. Sebutan-sebutan khusus buat bunga, atau buah yang masih kecil dari satu pohon juga ada. Belum lagi kata-kata yang terbagi menjadi 3 strata ngoko, madyo dan kromo... ckckc silahkan dibayangkan sendiri deh^^. Namun meski begitu rumitnya toh tetep harus saya cintai, pelajari dan terapkan sebagai wujud melestarikan tradisi. Kalau bukan generasi kita siapa lagi?
Dan akhirul postingan,... mari mencintai masing-masing bahasa dan budaya dari kampung halaman kita. Salah satu cara cinta negeri adalah menjaga tradisi, termasuk bahsa daerah.
Wallahu a'lam..
***
Postingan ini diikutsertakan di Aku Cinta Bahasa Daerah Giveaway
Hihi iyaaa, tiap kota emang bedaa :)
BalasHapushampir sama nih pembahasannya denganku :p
http://argalitha.blogspot.com/2013/03/bahasa-jawa-ternyata-banyak-macamnya.html
hihi
makasih sdh mampir mbak :)
Hapusslamat berjuang haha komen back y
BalasHapusmakasih :)
HapusTulisan bahasa Jawa, kalau dibacanya 'o' nulisnya tetap pakai 'a'. Misalnya kulo tresno boso daerah. Penulisannya tetap: 'kula tresna basa daerah.' Kadosipun mekaten. Nuwun :-)
BalasHapusinggeh mbak.. secara penulisan macam di jayabaya emang gt.. disini blogger biasanya nls suka2 lgsg ditulis kayak di ucapan :)
Hapusmatur suwun sdh mampir
aku kalo kromo ga bisa, mba binta. hehe :D *ngaku*
BalasHapusnek wong jowo kudu belajar :D
HapusSaya juga suka ketawa mbak kalau liat pojok kampungnya JTV, bahasanya kalau menurut daerah saya kasar banget :)
BalasHapusSukses buat GA nya mbak :)
iya agak kasar tapi ya itulah bahasanya emang.. :)
Hapusgood luck , bund..
BalasHapusmakasih :)
Hapuseh... dulu jaman aku kecil ada artis namanya joni gudel... aku baru tahu ternyata gudel itu sebutan untuk anak kerbau ya... jadi senyum sendiri, karena si joni gudel ini emang orangnya gendut perutnya buncit badannya pendek sih... ih, aku asli baru tahu.
BalasHapustapi bahasa jawa itu sama gak sih dengan bahasanya lagu2 campur sari??
iya mbak.. campur sari emang bahasa jawa.. tp ya kayak yg logat jawa tengah.. jawa timur beda banget
HapusMbok ndewor kui artinya nopo...
BalasHapusPenasaran ak
I will remember when I am successful that I have studied on this web, thank you warm greetings
BalasHapus