Jika mendengar kata batik, bagi saya yang tinggal di kampung maka yang akan tergambar dalam ruang otak adalah tentang
daster. Pakaian wanita yang terbuat dari bahan katun yang menyerap keringat sehingga nyaman dipakai beraktifitas sehari-hari di rumah. Jarang sekali pakaian khas Ibu rumah tangga itu dipakai untuk acara resmi atau piknik nyantai keluar rumah.
Namun menoleh sejenak ke masa lalu. Ketika kecil saya sudah mengenal batik sebagai kain
sewek (jarik) yang dipakai nenek atau mbah-mbah tua di masa itu. Yang jika berjalan harus dengan langkah
thimik-thimik kalau orang jawa bilang. Artinya berjalan dengan langkah pendek-pendek dan pelan. Kemudian jika duduk harus
tempo (menyilang samping) yang bisa membuat kaki kesemutan jika dalam 5 menit saja tidak berganti posisi. Masih dalam ingatan dan pemikiran masa kecil, kain jarik juga identik sebagai penutup mayat ketika jenazah sudah dimandikan dan dikafani. Karena seringnya melihat orang mati pada masa itu ditutup dengan kain jarik daripada dengan selimut. Selain itu kain jarik batik juga digunakan sebagai hiasan-hiasan panggung ketika ada acara tujuh belasan. Sebagai hiasan ketika acara pernikahan. Apalagi ya?... sebagai selendang untuk menggendong bayi dan lain-lain yang tak berhasil saya ingat.
Bergeser zaman, saya yang semasa kecil sudah merasa antipati terhadap batik yang dalam benak tertanam bahwa batik adalah kain jarik yang membuat orang tidak bisa jalan dan duduk dengan bebas dan enak. Kemudian jelang remaja saya juga tetap antipati terhadap batik yang berganti penilaian lagi bahwa batik itu adalah daster yang pasti pemakainya akan terkesan seperti ibu-ibu yang sudah sibuk merawat anak, selain terkesan seperti ibu-ibu pemikiran masa remaja kala itu adalah memakai batik nanti juga akan terlihat seperti orang tua, nggak trendy dan nggak keren. Hmm.... biarpun banyak teman seumuran saya yang juga antipati, ternyata
batik indonesia tetap ada dimana-mana. Kebanyakan pemakainya orang-orang tua.